Chance

3 2 0
                                    

Belum-belum Rachel sudah merasa hampa. Tahun ini sudah akan selesai dalam dua bulan. Kemudian, grade 12 hanya akan masih bersekolah sampai bulan April. Sebelum April, ia harus sudah memutuskan untuk melanjutkan kuliah kemana untuk mengurus persiapan University. Pada bulan-bulan itu, ia juga sudah akan disibukkan dengan beragam ujian Cambridge, AS & A Level. Setelah itu, bye bye Uni-National, bye bye Mr. Milo, bye bye cintaku selamanya, pikir Rachel.

Ada ratusan jarum yang mulai menusuk-nusuk rongga dadanya dari dalam.

"Lumayan deh, 4 jam di angkasa, lo mesra-mesraan sama Mr. Milo," sindir Vivian. Gadis itu sedang berbaring di ranjang Rachel. Beberapa hari setelah sepulangnya dari Hong Kong, Vivian kembali menginap di rumah Rachel. Papa dan mamanya kembali berkonflik karena rebutan hak asuh atas dirinya, meski di pengadilan keduanya sepakat untuk mengurus Vivian bersama. Pada praktiknya, mamanya yang sudah mengandeng suami baru, yang lebih kaya dari papanya, merasa memiliki kekuatan lebih untuk lebih banyak mendapatkan waktu dengan Vivian. Padahal toh, tetap saja sang mama tidak benar-benar ingin mengurusnya, hanya sebagai sarana unjuk kekuasaan saja.

Cecenya, yang kini sudah memiliki seorang anak, sungguh-sungguh memutuskan untuk melepaskan hubungan apapun dengan keluarganya itu tak ambil pusing. Sang cece juga enggan berhubungan dengan adiknya, Vivian. Padahal keduanya tidak memiliki masalah apa-apa. Mereka jarang bertengkar sedari kecil. Mungkin kesalahan kedua orang tua mereka yang membuat keduanya merasa jauh dan asing. Bedanya sang cece memiliki keinginan kuat untuk meninggalkan keluarga sedangkan Vivian masih terjebak di dalamnya. Vivian yang sejatinya berwatak keras itu sementara harus mengikuti permainan, meski setelah kedua orang tuanya bercerai, sifat dan wataknya itu mulai mendapatkan tempat untuk tumbuh subur.

Untungnya Rachel dan keluarganya setia menjadi penampung, menjadi keluarga cadangan Vivian. Rachel hanya mendengarkan keluh kesah Vivian, tetapi tidak pernah menghakimi atau sok-sok-an memberi nasehat. Meskipun ia adalah anggota tertua dari geng tersebut, cukup Sophia yang menjadi sosok pemberi solusi yang luar biasa cerewet. Ia memberikan tahta sosok tetua itu kepada Sophia. Ia cukup menjadi saudari.

Rachel memeluk gulingnya erat. Pandangannya menerawang entah kemana. "Gue malah sekarang berharap beneran, Vi."

"Maksud lo, Rach?

"Dulu awalnya gue mikir mau ikut perasaan gue aja. Gue bilang sama Sofi buat beri gue kesempatan menikmati rasa cinta kayak perasaan dia ke Jordan. Masalah apakah nanti bakal dibalas atau nggak sama Mr. Milo, itu nggak jadi soal buat gue. But now, I feel that I have to get more. Gue beneran suka Mr. Milo, Vi. Gue pengen ma dia terus. Gue nggak bisa bayangkan kalau beberapa bulan lagi gue nggak bakal lihat dia di koridor sekolah, kantin, faculty room, kelas, atau taman di deket salon Mama."

Vivian menatap langit-langit kamar Rachel yang kadang ia anggap sebagai kamarnya sendiri. Ia mendesah. "Gue mau bilang apa, ya, Rach? Gue udah bilang kalo gua iri ma lo, 'kan, Rach? Lo dapat cinta dari keluarga, punya rumah yang hangat gini, dan lo juga bisa dapat perhatian dari orang yang lo sukai. Ya meskipun lo nya juga parah, sih. Yang lo sukai guru. Padahal gue juga suka Mr. Milo, eh, elo yang dapat beanie-nya."

"Apaan sih, Vi?" protes Rachel sembari mencubit pinggang Vivian. Sahabatnya itu mengaduh. "Gue dipinjemin, tauk. Udah gue balikin pas sampai di Changi."

"Sori, sori ..., ampun, Rach. Iya, maksudnya gue paham maksud lo. Lo tetap harus lihat dari sisi positif, deh. Gue sahabat baik lo. Sedikit banyak gue juga merhatiin. Lo sadar nggak, Mr. Milo kayaknya nyaman kalo berada di samping lo? Beda sama Talulah yang kelihatan banget kayak guru murid. Talulahnya aja yang agak kegenitan. Terus sama Silvia, kelihatan banget Mr. Milo risih. Tapi sama lo, dia nyaman-nyaman aja, tuh. Syukurnya semua orang nggak melihat ada sesuatu diantara kalian. Jadi, alami aja gitu. Kayak ... kayak yang lo bilang ... kayak udah jodoh. "

Rachel melirik Vivian. "Jangan berusaha bikin seneng gue, Vi. Emang sifat Mr. Milo aja yang menyenangkan dari sananya. Lagian, kalau pun dia nyaman, gue belum tahu perasaan dia yang sesungguhnya. Apa dia bisa sampai suka ke gue sama seperti gue suka ke dia? Gue sekarang demanding banget Vi. Gue nggak Cuma pengen dia merasa nyaman, gue pengen dia merasakan kupu-kupu yang terbang di dalam perut, atau jarum yang nusuk-nusuk dada dari dalam. Gue pengen dia ngerasain apa yang gue rasain."

"Dan lo terus merasa cukup kalau ternyata, diam-diam, Mr. Milo juga merasakan hal yang sama? Lo bakal minta lagi yang lebih 'kan? Pacaran sama Mr. Milo?"

"Iya. Udah pasti, Vi. Gue maunya dia jadi pacar gue. Dan ... mungkin emang gue kegeeran ya, Vi. Seperti yang lo bilang tadi, mungkin, just maybe, deep inside, I know that he feels the same. Gue ngerasa dia punya rasa juga ma gue. Cuma, ya, bener juga kata Sofi atau Mr. Milo sendiri kalau hubungan guru dan murid itu mustahal bin mustahil, Vi."

"Nah, disitu letaknya sikap positif lo. Berarti, you have a chance, Rach. Lo 'kan bisa buat Mr. Milo makin suka nanti misalnya setelah lulus sekolah. Mau LDR kek, apa kek, yang penting nanti kalian punya hubungan yang jelas."

"Ih, ngomong sih enak, Vi. Gue mau lanjut kuliah ke Singapore. Berarti gue bakal jauh dari Mr. Milo yang juga belum jelas perasaan ke gue gimana. Bayangin dia punya perasaan yang sama aja bakal bikin gue serasa mampus. Nggak tahu girangnya kayak gimana. Tapi, dengan waktu terbatas kayak gini malah bikin gue galau setengah mati, Vi. Tahu nggak, sejak di Hong Kong, gue pengin Mr. Milo jadi pacar gue, sekarang. Bukan nanti. I don't want a chance, I want a must. Serius!"

"Ya udah, sih. Digoda aja kayak cara Silvia. Mana tahu manjur. Terus tembak aja langsung, mana tahu berhasil," tukas Vivian. "Pakai baju yang mini-mini. Rok lo pendekin kayak Talulah. Kasih kerlingan maut. Entar gue ajarin deh."

Rachel melirik ke arah Vivian yang berbaring di sampingnya. Gadis itu mengenakan pakaian tidur yang minim, menunjukkan sepasang kaki jenjangnya, lengan rampingnya, kulitnya yang putih mulus dan tubuhnya yang terbentuk indah sempurna. "Kalau gue secantik elo, seseksi elo, mungkin gue bakal menggoda Mr. Milo tauk. Gue vulgar-vulgarin lah gaya gue."

"Hmm ... bener juga ya, Rach. Apa gue aja yang coba ya? Mana tahu berhasil," ujar Vivian.

"Kurang ajar! Shut the hell up, Vi! Jangan coba-coba gangguin cinta gue ya."

"Eh, eh ... emang udah jadian gitu kalian? Masih bebas dong, Mr. Milo," tantang Vivian.

Rachel mendesah. Kini ia yang menatap langit-langit. "Ya, udah. Ambil aja kalau dia mau."

"Yee ... si anak monyet ngambek. Nggak bakal gue nekat gitu, Rach. Dia juga nyaman sama lo. Ya ... kecuali elo yang bener-bener nyerah. Baru gue mau coba juga."

Rachel menerkam Vivi dan mencubit, menggigitnya tampa ampun. Vivian terpaksa harus berguling-guling menghindari serangan-serangan Rachel yang menderu-deru bagai angin puyuh itu.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang