Rachel merasa dunia memukulnya keras. Kali ini keras sekali. Ia tahu bahwa ada harga yang harus dibayar ketika manusia mulai dewasa. Sakit hati akan berkali lipat, sama dengan tuntutan untuk lebih sabar dan bijaksana. Namun, tetap saja, ketika akhirnya hari itu datang, Rachel tidak dapat menduganya. Mungkin inilah ujian pertama di depan gerbang kedewasaan itu.
Rachel menahan genangan air mata yang mengambang di pelupuk. Ia rindu Vivian. Gadis cantik yang problematik itu kadang membuatnya bingung, meski sama sayangnya. Ia tak memiliki saudara kandung, apalagi saudari perempuan. Sedangkan Vivian tak memiliki hubungan yang baik dan dekat dengan cecenya. Dulu ia menganggap mereka seperti saudara di kehidupan sebelumnya yang terpaksa ditemukan di dunia ini dengan orang tua yang berbeda.
Hilangnya Vivian memang mengkhawatirkan. Maka, Rachel memandangi post Vivian di media sosial, entah untuk apa. Mungkin memuaskan rasa rindu, atau mencari informasi apapun yang mungkin mengenai sahabatnya itu.
Sekonyong-konyong Rachel merasakan kepalanya puyeng ketika melihat salah satu post yang sebelumnya tak benar ia perhatikan. Satu gambar sebelum post modelnya yang terbaru. Di foto itu, Vivian yang seperti biasa terlihat cantik, sedang berada di tepian sungai tengah kota Amsterdam. Foto selfie itu awalnya biasa saja. Senyum mengembang Vivian membuatnya cantik tiada tara. Di latar belakangnya, selain sungai, ada beberapa orang lalu-lalu yang ikut terekam. Pandangan Rachel menumbuk pada satu sosok yang tidak mungkin tidak dikenalnya.
Rachel mengutuk dirinya sendiri mengapa baru memperhatikannya sekarang. Ia tak mungkin salah. Ia tahu persis dan hapal, serta paham benar seperti apa sosok itu. Ia bisa mengenalinya dari segala sudut.
Ada sosok laki-laki, mengenakan beanie merah menghadap ke samping, tidak jauh dari Vivian. Gambar sosok itu Ter-capture secara candid. Tidak terlalu jelas, tetapi Rachel berani bersumpah bahwa sosok yang ia lihat di dalam post Instagram itu adalah Mr. Milo. Figur luar biasa yang membuatnya tergila-gila selama ini, bahkan sampai jiwanya merasa kosong.
Rachel merasa lumpuh, ingin jatuh dan bersimpuh.
Ia mulai dapat menghubungkan semua garis yang sepertinya tidak berhubungan. Ia ingat sekali bahwa Vivian juga menyukai Mr. Milo dulu, termasuk Dwi. Akan tetapi, Vivian terus-menerus menunjukkan bahwa ia masih memiliki kesukaan itu kepada Mr. Milo. Rachel ingat bahwa Vivian mengatakan kepadanya bahwa ia akan mengambil kesempatan yang ada untuk memiliki Mr. Milo, bia Rachel tidak menjadi kekasih sang guru. Dulu Rachel berpikir Vivian hanya bercanda.
Itulah sebabnya Vivian mendadak hilang tanpa kabar sama sekali. Jelas karena ia sekarang bersama Mr. Milo dan tidak ingin siapapun tahu dan mengganggunya.
Rachel mematikan hapenya, kemudian melemparkannya ke tempat tidur apartemennya begitu saja. Ia kali ini sungguh tak bisa menerimanya.
Mungkin, mungkin, mungkin masih banyak kemungkinan lain. Tapi insting Rachel berkata sebaliknya. Dunia serasa remuk redam, sama seperti jiwanya.
Hari itu juga, Rachel membeli hape dan kartu telepon baru yang digunakan hanya untuk memesan tiket pesawat dan berurusan dengan imigrasi. Ia menunggu di bandara Changi, menunggu keberangkatan. Ini pelarian pertamanya dari dunia. Ia hanya ingin pergi jauh. Mungkin ia hendak berpikir, mungkin ia hanya kesal dan marah, mungkin ia benar-benar ingin menjauh dari semuanya: dari Dwi, Sophia, terutama Vivian. Bila Vivian bisa menghilang, kenapa ia tidak? Ia akan melupakan kuliahnya untuk sementara waktu. Kenapa tidak? Selama ini ia adalah anak gadis yang baik, rajin, meski tidak pintar-pintar amat, ia bukan murid atau mahasiswi yang bodoh.
Ia sungguh tak sanggup berpikir positif mengenai hal ini. Ia hanya ingin menghilang dari muka bumi.
Lini masa ternyata berjalan bukan di garis lurus, melainkan melaui lengkung takdir. Rachel dan Milo tidak saling mengetahui bahwa mereka sempat berpapasan beberapa detik yang lalu. Mungkin rasa sakit Rachel dan harapan membara Milo saling menutupi logika mereka.
Milo, sampai di Changi, bandara yang membawa kenangan itu membuat dirinya menghela kelegaan yang luar biasa. Vivian sudah bercerita panjang lebar bahwa sampai saat ini pun, Rachel belum memiliki kekasih. Gadis itu mengatakan kepada Vivian bahwa ia tidak memiliki niat dan ketertarikan kepada siapapun. Vivian tahu bahwa Rachel masih memiliki rasa kepada Milo.
Milo sendiri masih memikirkan kemungkinan lain. Misalnya, walaupun setahu Vivian Rachel masih sendiri, Milo tidak tahu apa yang sebenarnya. Itu tidak penting lagi buat Milo. Ia harus bertemu langsung dengan Rachel. Sudah tidak ada lagi penghalang. Mereka bukan murid dan guru lagi. Milo harus membuat Rachel tahu bahwa ia memiliki rasa padanya yang bertahan sampai sekarang. Apapun itu nanti, entah bagaimana responnya, Milo tidak peduli. Itu bukan tujuan utamanya. Ia sudah memiliki alamat apartemen Rachel. Ia akan langsung kesana.
Di balik ruang yang lain, Vivian tak bisa menghubungi Rachel. Pesan di Wa, bahkan Instagram tidak dibaca, apalagi direspon. WA callnya hanya calling, tidak menyambung. Cara terakhir yang dilakukannya adalah menghubungi Rachel memalui email.
Apakah Rachel marah padanya?
"Cukup kesalnya sama gue. The problem is now, nggak ada satupun dari kalian juga bisa menghubungi Rachel?" ujar Vivian di group chat video. Ia memang meminta maaf berkali-kali, sampai memohon. Ia juga habis didamprat oleh Dwi dan Sophia karena tidak bisa dihubungi. Namun, ketika semua sadar bahwa sekarang yang menghilang adalah Rachel, sadarlah mereka bahwa ada masalah besar lain yang sedang terjadi.
"Yang kesel sama lo 'kan kita semua, bukan hanya Rachel. Tapi kalau dia sampai menghilang gini, pasti ada masalah lain. Gue nggak tahu itu masalah apa. Apa masih ada hubungannya dengan elo, Vi" ujar Dwi.
"Ya, mana gue tahu. Makanya gue hubungin kalian," jawab Vivian.
"Elo sih pake ngilang gitu," sosor Sophia.
"Lah, kita 'kan nggak bener-bener tahu masalahnya apa. Udah deh. Gue udah tahu gue salah. Udah dibilangin juga, gue sedang krisis mental. Terus sibuk banget. Tapi gue beneran menyesal karena udah memperlakukan kalian seperti ini. Kalian itu keluarga gue. Gue merasa berkhianat dengan kalian. Jadi, tolong, masalahnya bukan gue sekarang. Tapi bagaimana bisa menemukan Rachel," jelas Vivian panjang lebar.
Semua terdiam.
"Apa kita semua harus ke Singapore?" ujar Sophia.
"Guys, kita tunggu aja sebentar. Sehari dua hari. Rachel baru nggak bisa dihubungi seharian ini 'kan? Tuh, Vivi aja sampai berbulan-bulan kita nggak panik, malah kesel," celetuk Dwi.
"Tapi yang kita bicarakan ini Rachel, Sis. Gadis ceria dan positif itu mendadak ngilang gini. Siapa yang nggak panik?"
Kembali semua terdiam.
"Mau bagaimana lagi. Mungkin benar kata Dwi. Kita tunggu sehari dua. Kalau masih belum bisa dihubungi, gue mau coba hubungi papa mamanya. Gue itu ini mungkin salah, takut-takut papa mamanya panik. Tapi, mau gimana lagi, Rachel beneran menghilang dari muka bumi," tutup Vivian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lini Masa
RomanceRachel Loh sepertinya sungguh suka dengan Mr. Milo. Bukan hanya suka, Sophia Chang, sang sahabat, mencurigai bahwa Rachel sedang jatuh cinta pada guru baru mata pelajaran history di sekolah mereka tersebut. Rachel sendiri tidak malu-malu mengakui ba...