Move On

5 2 0
                                    

Waktu berjalan tanpa bisa ditahan, tanpa mampu dikekang. Waktu adalah satu-satunya sisi dunia yang jujur sekaligus jahat di saat yang sama. Ia tak peduli dengan apapun, siapapun. Tahu-tahu saja Rachel sudah menginjakkan kaki di tanah Singapura kembali. Ia sudah ke tempat ini berkali-kali, entah untuk liburan, atau kadang berurusan dengan tugas sang Papa. Namun, kali ini, ia harus betah berlama-lama di tempat itu. Ia harus menyelesaikan kuliahnya. Ia harus tinggal di negara itu untuk waktu tertentu, berjibaku dengan kebiasaan barunya di kampus, menentukan sendiri cara belajar, serta harus sudah bijak mengurus keuangan dan tempat tinggalnya.

Singapura adalah sebuah kota yang sesungguhnya terlalu akrab baginya. Bukan karena ia sering bolak-balik ke tempat itu, tetapi memang letaknya yang berada di area tropis, tidak membedakannya dengan kota yang keluarganya tinggali, kecuali Singapura lebih panas dan gedung-gedung pencakar langit yang tumbuh bagai pepohonan di hutan saja. Bukannya hutan tropis yang ia temukan, melainkan gedung-gedungnya lah yang tumbuh subur.

Rachel menghela nafas panjang. Mau tidak mau ia harus siap. Wajar jika ia merasa patah hati dan kosong. Ia baru beranjak dewasa, belum lama berusia tujuh belas tahun. Maklum bila ia juga baru merasakan bagaimana kehilangan sosok yang ia sangat ia sukai. Tidak heran ia merasa kosong dan seperti ingin selalu sedih, terutama bila sendirian seperti ini. Ia mungkin tak lagi menangis, tak perlu rasanya, tetapi hatinya seakan yang merintih.

Anggap saja ia baru putus, pikirnya. Ini untuk memudahkan mendefinisikan perasaan. Padahal, pacaran saja belum pernah selama hidupnya yang masih seumur jagung itu. Hubungannya dengan sosok Mr. Milo pun juga adalah hubungan antara guru dan murid yang normal-normal saja. Ia saja yang selalu bermimpi bahwasanya Mr. Milo entah bagaimana akan membalas cintanya.

Dalam beberapa bulan, mungkin tahun lagi, mungkin sekali Mr. Milo sudah mendapatkan kekasih. Sosok itu jelas banyak yang suka. Ia tak akan heran bila Mr. Milo jadian dengan Laoshi Stephanie, atau malah dengan mantan-mantan muridnya dahulu. Talulah, mungkin. Bisa juga diluar sana, yang Rachel tak tau banyak, sudah ada gadis beruntung yang siap menjadi pasangan Mr. Milo.

Alasan-alasan inilah yang membuat Rachel semakin mantap untuk move on, melanjutkan kehidupan yang baru dimulainya sebagai remaja yang berajak dewasa. Ia tak bisa egois dengan tak memberikan kesempatan bagi masa depan dirinya yang masih muda itu. Entah apa yang akan ditawarkan oleh waktu di masa depan. Cinta dan cita-cita? Lalu mengapa ia harus murung? Pikir Rachel.

Rachel membuka senyumnya lebar-lebar dan melenggang menjemput kehidupan.

Di lengkung dunia yang berbeda, Mr. Milo menatap kursi kosong yang biasa diduduki Rachel di kelas. Dalam beberapa detik saja ia merasa konyol karena mendadak merasa hampa dan kosong. Ia jatuh cinta pada seorang murid perempuan, yang mana adalah salah dari sisi manapun. Sekarang ia malah merasa merana. Padahal, semua adalah salahnya sendiri. Di usia yang setua ini (padahal ia baru dua puluh lim jalan dua puluh enam tahun), bisa-bisanya ia terjebak pada perasaan yang menyesatkan itu. Ini semua karena ia hanya memiliki satu pengalaman cinta di masa lalu, yang tragis pula. Mungkin hatinya meraung-raung demi setetes cinta, kasih dan perhatian: sosok yang memenuhi relung-relung jiwanya, yang menyita seluruh perhatiannya.

Lalu mengapa harus seorang Rachel Loh?

Padahal, untuk gadis secantik Rachel (Mr. Milo masih mengakui bahwa sampai saat ini, hanya kecantikan Rachel lah yang benar-benar mampu mengguncangkan dunianya), tidaklah sulit untuk membuat laki-laki terpesona. Kelak ia akan berpacaran dengan teman satu kampusnya, atau mungkin seperti adegan-adegan di drama Korea, bertubrukan dengan seorang oppa di pusat pertokoan Singapura dan saling jatuh cinta.

Mungkin sudah saatnya ia sadar dan move on. Akan tidak adil bagi dirinya dan dunia bila ia terkungkung pada kerangkeng masa lalu. Ia sudah melupakan seorang Graciella Katherine Jessica, maka Rachel memang sungguh harus menghilang dari kehidupannya pula. Ia sudah pernah melakukannya. Maka, ia pun sungguh lega dan bahagia itu sungguh terjadi.

Mr. Milo sedang berjalan ke area parkir motor. Ia sudah hendak pulang kerja hari ini. Tinggal beberapa bulan saja untuk semester terakhir ini usai dan Mr. Milo sudah bisa menikmati liburan.

Telepon yang kebetulan sedang digenggamnya bergetar.

Mr. Milo menatap layar dan melihat nama teman lamanya – tetapi masih lummayan akrabsampai sekarang – terpampang disana.

"Halo, bro Milo. How's life?" suara akrab Dananjaya Wiratama yang melengking itu keluar jelas dari speaker hapenya.

"Hei, Dan, gimana, gimana?"

"Masih sibuk ngajar, Mil?"

"Yah, lumayan. Ini udah hampir selesai semester. What's up, buddy?"

"Oke, bukannya mau ganggu kerjaan kamu. Tapi, aku punya berita mengejutkan. Tinggal kamu menanggapinya sebagai berita positif atau negatif," balas Dananjaya. Suaranya semakin intens. "Masih ingat proposal kita dua tahun lalu ke pemerintah?"

Ingatan Mr. Milo kembali ke masa dua tahun lalu. Ia masih mengajar di sekolah lama, tetapi ia, Dananjaya dan dua orang teman mereka lagi, sama-sama orang yang berkecimpung di bidang sejarah, antropologi, serta sosiologi, mengajukan proposal kepada pemerintah untuk ikut berperan serta di dalam tuntutan kepada negara Belanda untuk mengembalikan artefak dan benda-benda bersejarah Indonesia yang berada di negara tersebut.

"Yes, yes, of course I remember," respon Mr. Milo. Entah mengapa perasaannya juga ikut merasa intens.

"Proposal kita akhirnya diterima setelah dua tahun! Tidak itu saja, kita berhasil masuk ke dalam tim utama Museum Nasional dalam proses pengembalian benda-benda bersejarah yang dimiliki tidak hanya Belanda, tetapi negara-negara Eropa lain. Termasuk Inggris, Portugis, sampai Prancis. Jadi, kita akan ditugaskan ke negara-negara itu, bersama tim mereka, kita akan memastikan proses panjang ini akan berlangsung lancar dan sukses."

Mr. Milo tak bisa menahan mimik wajahnya yang terpana. "You're kidding, right?"

"Not in a chance, bro. Aku serius. Kita lolos. Empat-empatnya. Aku minggu ini mengajukan resign di kantor. Joyce malah sudah resign hari ini. Mark si Indo itu cepat-cepat balik dari Makau. Nah, makanya aku menunggu keputusan kamu. Aku tahu kamu sedang kerja, masih mengajar di sekolah. Setahuku juga belum setahun kamu kerja disana, 'kan? Berita ini bisa positif, bisa negatif bagi kamu. Tapi, yang jelas, ini nyata. Kamu bisa ambil dan kita kerjakan bareng-bareng sesuai keinginan kita dua tahun lalu. Atau kalau kamu memang memutuskan untuk tidak ikutan, aku paham. Aku bisa menerima. Yang lain juga gitu sepertinya."

Mr. Milo menatap kosong tak percaya berita ini. "Berapa lama kita pergi, Dan?"

"Tergantung, Mil. Kontrak pertama dua tahun. Tapi kalau berlanjut ke Prancis atau Portugal, mungkin ditambah jadi empat atau enam tahun."

Mr. Milo menghela nafas panjang. Ia menatap ke belakang, ke bangunan sekolah Uni-National, cukup lama. Dananjaya cukup sabar membiarkan Mr. Milo untuk berpikir, meski ia bisa saja memutuskan sambungan untuk membiarkan Mr. Milo memikirkan sehari dua hari lagi.

Maybe it's the sign for me too move on and chase my own dream. Ujar Mr. Milo di dalam hati.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang