Teman

4 1 0
                                    

"Pak, kalau kapal-kapal nusantara di zaman dahulu sudah membuktikan kehebatan teknologi, terutama di bidang pelayaran, kenapa nggak sampai sekarang? Seharusnya, dengan pengalaman negara ini di bidang perkapalan, kita juga harusnya punya teknologi kapal modern yang lebih bagus juga sekarang," tanya Rita kepada Mr. Milo. Ia serius. "Lagian, negara kita 'kan sampai sekarang memang berbentuk kepulauan. Laut dan perairan dimana-mana. Penggunaan kapal harusnya masih penting dan harusnya juga lebih maju," lanjutnya.

Mr. Milo menatap Rita, tertarik dengan pertanyaannya. Bahkan Talulah sekalipun, yang memiliki ketertarikan dan kemampuan sejarah yang baik, tidak memiliki pertanyaan dan pemikiran sedalam itu. Pertanyaan Rita malah mengingatkannya dengan pertanyaan Rachel dahulu: insightful dan memaksanya untuk berpikir lebih dalam.

Di kelas, Rachel tidak bisa dikatakan sebagai murid yang paling tinggi nilainya untuk mata pelajaran sejarah, walau ini bukan berarti ia tidak pintar. Mungkin sejarah bukan kekuatan utama siswinya itu. Namun, Rita, yang juga kurang lebih kemampuannya dengan Rachel, sebelumnya terlihat sebagai siswi yang paling anti dengan kelasnya. Anak itu tidak menunjukkan ketertarikan sama sekali dengan materi yang ia ajarkan, bahkan menunjukkan ketidaksukaannya dengan kehadirian dirinya di kelas.

Namun, sekarang, baik Rachel maupun Rita, mulai menunjukkan ketertarikan yang lebih dari biasa. Mungkin Rachel lebih kepada pengaruhnya dalam membaca, tetapi toh membaca adalah salah satu skill dasar nan utama dalam pengetahuan. Sejarah tak terkecuali.

Akan tetapi, hal yang paling mengejutkannya adalah seorang Rita Lim. Gadis ini membuatnya menjadi bangga sebagai seorang guru. Ia ingat sekali perilaku Rita terhadap dirinya setiap kali kelasnya dimulai. Padahal, Mr. Milo tahu bahwasanya Rita bukan tipe murid yang malas dan tidak berisi, tetapi sikapnya yang dingin dan menunjukkan ketidaksukaan di kelas bagaimanapun menjadi pikiran bagi Mr. Milo. Maka, kini, ketika seorang Rita berbicara kepadanya dan menanyakan hal yang berhubungan dengan sejarah dengan antusiasme, Mr. Milo tertegun sekaligus bangga.

Ia tersenyum tipis dan memandang ke arah Rita. "Banyak sekali faktornya, Rita. Kalau kamu ingat bahwa Portugis dan Spanyol adalah dua negara besar di masa lalu yang memiliki pengaruh dan wilayah jajahan terbesar di dunia bersama Inggris, maka akan lucu bila mengingat sekarang wilayah mereka tidak lagi sebesar dulu. Pusat kekuatan ekonomi dan militer malah berada di Amerika Serikat yang notabene dulu hanyalah sebuah wilayah dunia baru yang belum menunjukkan eksistensinya."

Rita mengangguk-angguk mulai paham. "Berarti, harusnya bangsa ini banyak belajar dari sejarah, ya, Pak? Biar kita bisa terus berkembang di masa depannya."

"Nah, sekarang kamu tahu mengapa ilmu sejarah itu penting, 'kan? Orang sering bilang bahwa sejarah dipelajari bukan untuk mengenang, tetapi untuk dipelajari sehingga hal-hal buruk di masa lalu bisa dihindari dan dicarikan solusinya, serta hal-hal baik bisa terus dilakukan dan dikembangkan. Namun, tidak semua orang sadar dan paham atas hal ini. Kamu yang tidak sengaja bisa memberikan kesimpulannya hari ini," jelas Mr. Milo. Ia tak bisa menahan senyum lebar penuh kebanggaannya.

Rita mendadak tersipu, ia menundukkan kepala. Wajahnya terasa panas. Ia tak mampu memandang senyum mematikan guru laki-lakinya itu. Dadanya bergemuruh. Rita tak menyangka respon Mr. Milo yang seharusnya wajar-wajar saja sebagai seorang guru itu bisa membuatnya merasa separah ini. ia memang senang sekali dengan Mr. Milo. Tapi apa iya ia sudah sampai pada taraf cinta? Ia hanya seorang gadis secondary, SMA. Tahu apa ia tentang cinta?

Mr. Milo menyenggol Rita dengan bahunya. "Tuh, duckling-nya," ujar Mr. Milo sembari menunjuk ke arah satu sudut dengan dagunya.

Perasaan dan emosi Rita hari ini campur-campur seperti bubur padas dari Sambas. Dari yang tadi ia mendadak tersipu malu dan deg-degan karena cara Mr. Milo menatap dirinya, sampai sekarang mendadak sepasang matanya membeliak lebar melihat model kapal Hong Kong dengan layar merah itu. Model tersebut dua kali lebih besar dibanding model yang ia beli tempo hari.

Tanpa sadar kakinya melangkah mendekat. Sekarang Rita dapat melihat dengan jelas detail-detail kapal tersebut.

Sesungguhnya Rita juga heran, mengapa ia bisa sampai suka sekali, bahkan tergila-gila dengan duckling. Ia memang sudah mengincar model kapal itu sudah lama, tetapi normal saja seperti seseorang yang menginginkan untuk membeli barang tertentu dan setelah sekian lama akhirnya mendapatkannya. Namun, ini cukup berbeda bagi Rita. Ia tidak lagi membahas model duckling, melainkan duckling itu sendiri. Mungkin kapal khas Hong Kong itu lah yang mengingatkannya dengan pertemuannya pertama kali dengan Mr. Milo di luar sekolah dan yang membuat hubungannya dan sang guru menjadi berbeda seperti sekarang ini.

Rasa excitement-nya itu semakin menjadi-jadi ketika Mr. Milo menyusul dan berdiri di sampingnya. Hanya saja, bukannya meledak-ledak, kehadiran Mr. Milo membuat hatinya begitu nyaman. Sungguh, Rita tak bisa mendefinisikan perasaan suka macam apa yang sedang ia rasakan terhadap sang guru.

"Kita akan lihat aslinya di Hong Kong, 'kan Pak?" ujar Rita.

"Ah, you're right. The field trip," seru Mr. Milo. Ia ingat bahwa sudah beberapa hari sejak Rian mengajukan proposal ke sekolah melalui principal alias kepala sekolah mereka. "Hopefully, Monday we'll get the answer. Semoga kalaupun ada revisi, field trip dengan tujuan ke Hong Kong tetap disetujui," ujar Mr. Milo.

Mendadak ia malah menjadi bersemangat dan berharap bahwa field trip ke Hong Kong ini terlaksana. Apalagi Rita yang bayangan tentang kebersamaannya dengan Mr. Milo di luar sekolah dapat kembali terjadi.

Rita tersenyum lebar ke arah Mr. Milo yang membalasnya dengan senyuman yang sama manisnya. Rita kembali tersipu. Hanya saja, kali ini ia enggan memalingkan wajah atau menunduk. Ia tak mau kehilangan pesona yang hadir tepat di depannya secara langsung ini. Bila ia menolak hal terbaik di dalam hidupnya tersebut, maka ia akan kehilangan waktu dan kesempatan untuk merasakannya. Maka, Rita nekat tetap memandang ke arah Mr. Milo untuk menikmati setiap jengkal lekukan tegas nan indah garis-garis wajah Mr. Milo. Jantungnya berdetak begitu cepat, sedangkan darahnya berdesir begitu deras. Kepalanya pusing serasa ingin pingsan, tetapi ia bahagia setengah mati.

"By the way, William jam berapa selesai nontonnya?"

"Ehm, nggak tahu juga sih, Pak. But no worries, saya juga nggak tega ganggu dia. Nanti saya nggak perlu barengan sama dia. Malah nanti terganggu dianya."

"Emangnya dia sama siapa nontonnya?"

"Ada deh, Pak. Temen cewek," ujar Rita tersenyum simpul.

"Ah, saya paham," balas Mr. Milo sembari ikut tertawa kecil. Dalam hati, Mr. Milo sudah menyangka bahwa kemungkinan besar William sebenarnya sedang berkencan dengan seorang teman gadisnya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang