Kopi

9 2 0
                                    

Milo sama sekali tak menyadari bahwa ada tiga orang murid perempuan yang sedang kesengsem dengan dirinya. Ketiga murid perempuan tersebut sedang melayang-layang kegirangan. Talulah membayangkan hari-hari dimana kelak ia akan memiliki waktu yang lebih dengan Milo, membicarakan tentang novel-novel favoritnya. Ia akan langganan meminjam dan mengembalikan novel-novel milik guru sejarahnya itu. Bahkan mungkin mereka akan dapat pergi ke suatu tempat kelak, menghabiskan waktu bersama membahas hal-hal pribadi nan intim yang tidak ada hubunganya sama sekali dengan mata pelajaran sejarah. Narasi itu sudah lengkap di dalam pikirannya.

Rita tidak bisa menahan kegirangannya bisa sedekat itu menatap Milo. Mereka juga berinteraksi dalam hal yang tidak terduga: mainan. Kini Milo tahu bahwa Rita memiliki ketertarikan terhadap sejarah. Ini berarti, pertemuan mereka selanjutnya di dalam kelas akan sama sekali berbeda. Rita akan sangat kesulitan menghindari tatapan atau untuk menatap Milo. Ia juga mungkin akan sulit menutupi senyumannya bila bersirobok pandang dengan sang guru tersebut. Mungkin Rita sudah sungguh-sungguh menyerah menghindari pesona Milo dan memutuskan untuk menikmatinya saja. Yang jelas, Rita tak bisa melupakan senyuman laki-laki itu, suaranya ketika berbicara dekat, atau ekspresi lucu nan menggemaskannya.

Rachel apalagi. Kini interaksinya sudah nyata dengan Milo. Sebentar lagi ia akan membaui aroma Milo melalui novel Circe yang akan dipinjamkan kepadanya. Ia akan terus memiliki waktu dan alasan untuk terus bertemu dengan Milo. Rachel merasa sanggup untuk berjuang lebih keras. Ia akan terus-menerus mencari celah dan waktu untuk berada dekat di samping Milo. Ia tidak terlalu peduli alasannya. Entah karena meminjam novel, mata pelajaran sejarah, apalagi duduk berdampingan di sebuah bangku menghabiskan waktu di sore hari di taman. Akhir minggu ini mungkin sekali ia akan memaksa sang mama untuk kembali pergi ke salon sehingga ia memiliki kemungkinan lagi untuk bertemu Milo.

Milo, di sisi lain, selama ini tidak pernah memiliki perasaan tertentu dengan murid-murid perempuannya. Ia sejatinya malah bersikukuh untuk tidak memiliki hubungan istimewa dahulu dengan siapapun, entah untuk berapa lama. Ditinggal wafat sang kekasih bukanlah sebuah hal biasa yang bisa begitu saja dilupakan. Ia memang sudah iklas dan menerima keadaan sekarang. Perasaannya ke sang mendiang pun telah bermetamorfosa menjadi hal yang lebih agung dibanding sekadar perasaan memiliki belaka. Namun, kekosongan hati sepertinya saat ini haruslah menjadi pilihannya.

Maka, sedikit mengejutkan dan tak nyaman memang ketika ia merasakan hal yang aneh dan mengganggu ketika bertemu dengan Rachel di taman tempo hari. Mengapa sosok itu yang semula ia perhatikan sama dengan murid-murid perempuan lain, mendadak menjelma menjadi figur yang luar biasa menarik? Milo merasa terganggu dengan perasaan ini.

Masih banyak murid perempuan yang menurutnya lebih cantik dan menarik dibanding Rachel. Bahkan hal inipun tak berhasil membuatnya memperhatikan mereka. Selama ini ia selalu merasa ia berhasil berperilaku sebagai seorang guru profesional dan berdedikasi. Ia memiliki standar moral wajar dan perilaku yang masuk akal.

Ia bisa mengakui kecantikan atau pesona gadis manapun, termasuk murid-muridnya, tanpa ada rasa ketertarikan. Namun, Rachel membuatnya tersiksa. Mengapa ada percikan kecil di dalam hatinya yang sadar tidak sadar bisa saja menyala kelak bila tidak segera ia padamkan?

Akanlah aneh dan tidak patut ditiru jika mendadak Milo memutuskan untuk menghindari bahkan menjauhi Rachel hanya untuk meredam percikan-percikan tersebut. Dimana fairness-nya sebagai seorang guru yang katanya profesional dan adil tersebut?

"Hei, bro. Mikirin apa, sih? Jangan mikirin kerjaan mulu. Udah seharian kita ngurusin murid, perilaku mereka, kadang-kadang berhadapan dengan ortu, sekarang masih juga mikirin sekolah?"

Ucapan Rian membuyarkan lamunannya. Rian Swatama adalah guru ilmu sosial yang lain, yaitu geography, yang duduk tepat di sampingnya di daam faculty alias ruang guru. Sejak hari pertama kerja, Milo dan Rian sudah langsung akrab. Walau Rian sudah bekerja lima tahun lebih dahulu, percakapan mereka tidak pernah antara senior dan junior. Mereka juga sudah langsung memiliki kebiasaan nongkrong ngopi paling tidak seminggu sekali. Kadang-kadang ada beberapa guru yang ikutan nimbrung, yang kebanyakan memang para lajang.

Misalnya, hari ini ada Cindy Laura. Miss Cindy, guru Fisika yang meski sudah kepala tiga tetapi super fashionable itu hadir di tongkrongan mereka sore sepulang sekolah ini. Ia butuh tempat untuk santai menghabiskan waktu dan merokok. Ia sudah mewanti-wanti kepada Milo dan Rian untuk tidak membicarakan tentang kebiasaannya ini di sekolah agar tak ketahuan murid maupun para pejabat teras. Padahal Cindy sendiri tahu bahwa ia tidak perlu memberikan peringatan kepada kedua rekan gurunya tersebut, karena Milo dan Rian sama sekali tidak ada niatan untuk membahas perilaku seseorang, apalagi rekan kerja mereka.

Cindy menghebuskan asap rokoknya ke udara. "Berat amat hidup lu kayaknya," ujarnya kepada Milo bercanda. "Jangan terlalu berdedikasi. Apa yang ada di sekolah, tinggalin aja disana. Kecuali gaji lu naik," kembali Cindy berkelakar. Tawanya yang kering terdengar disusul Rian.

Milo terhenyak dan sadar bahwa pikirannya tadi sempat benar-benar tak ada di tempat bersama mereka. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah tersenyum lebar. "Iya, iya. Sorry. Mendadak melamun aja," jawab Milo. Ia kemudian mengangkat cangkirnya dan menyesap kopi yang tinggal separuh itu.

Sudah menjadi aturan tak terlulis mereka ketika sedang tidak berada di sekolah, maka mereka harus meninggalkan semua hal mengenai tempat kerja mereka tersebut. Maka, tak lama Cindy dan Rian mulai terlibat percakapan mengenai film-film terbaru yang tayang di bioskop. Milo nimbrung ketika pembahasan film mulai ke arah genre misteri atau horor. Percakapan ketiganya pun mengalir ke isu-isu nasional, kadang-kadang mengenai gosip, pun tak terhindarkan sedikit bumbu isu politik dan ekonomi.

Di sela-sela percakapan yang semakin intens, Milo masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia seakan sedang terus bertanya-tanya dan bahkan menyangkal perasaan anehnya terhada Rachel Loh, muridnya sendiri. Di akhir hari itu, nampaknya Milo berhasil menimbun tanda tanya tentang rasa yang ia khawatirkan itu. Nampaknya menghabiskan waktu bersama rekan-rekannya menyesap kopi dan berbicara tentang hal-hal yang tidak bersinggungan dengan sekolah, membuat Milo perlahan sadar bahwa memang ia sedang berlebihan. Tidak salah mengakui bahwa Rachel adalah salah seorang murid perempuannya yang cantik dan menarik. Tetapi terus-terusan merasa bersalah dan menyangkal perasaannya, bukanlah cara yang tepat. Toh, tidak ada niatan di dalam hati Milo untuk melakukan hal-hal yang nyeleneh dan aneh-aneh terhadap Rachel.

Rian dan Cindy tidak dapat meraba sama sekali apa yang sedang bergejolak di dalam pikiran teman baru mereka tersebut. Kelak, tidak hanya mereka, tidak ada satupun guru, staf, maupun pegawai sekolah yang mendengar kusak kusuk mengenai hubungan dan gosip guru-murid tersebut.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang