Espresso

5 2 0
                                    

Hari ini Rachel tidak menghampiri Milo di taman kecil di area pertokoan dimana biasanya Milo menghabiskan waktu untuk membaca. Harusnya ini bukanlah hal yang mengejutkan, malah bagus. Ini berarti Rachel memang tidak memiliki maksud khusus menghampiri Milo setiap hari Sabtu.

Milo tersenyum, merasa lucu dan geli sendiri karena ada setitik prasangka di dalam dirinya bahwa sosok gadis ceria dengan senyum lebar dan pipi memerah itu mendadak muncul di tempat ini.

Pada jam makan siang, ketika matahari sudah berada di atas kepala, Milo kemudian memutuskan untuk meninggalkan taman tersebut, walau sinar mentari tak berhasil menembus rerimbunan daun pepohonan. Perutnya sudah menagih kejawiban darinya untuk diisi.

Dengan motornya, Milo melewati jalanan yang lumayan sepi hari ini. Ia ingin mencicipi pasta siang ini. Maka, ada satu tempat yang ada di dalam pikirannya, yaitu sebuah restoran kecil di dekat danau buatan tak jauh dari taman tempatnya membaca tadi. Milo sudah membayangkan lezatnya menikmati sepiring spaghetti.

Restoran bergaya Italia itu bukan sebuah restoran yang besar, malah cenderung menyerupai café. Namun begitu, inilah yang menjadi pesona bagi Milo sejak beberapa bulan yang lalu ia pindah ke kota ini untuk bekerja sebagai guru pelajaran sejarah di Uni-National. Ketika masuk ke dalam restoran, Milo menciuam aroma espresso yang khas, kental dan kuat. Ia tidak peduli bila sekarang sudah pukul satu siang, ia tetap akan memesan secangkir kecil espresso dilanjutkan dengan cappucino yang lebih ringan, tentu saja setelah menghabiskan sepiring spaghetti.

Ia sedang tamak hari ini, pikir Milo sembari tersenyum sendiri.

Milo memutuskan untuk duduk di satu sudut ruangan yang teduh meski di depannya adalah jendela kaca lebar dan pemandangan danau kecil terbendang. Pepohonan di luar ruangan menciptakan suasana teduh yang menenangkan. Tepat pula karena siang ini restoran tersebut sedang tidak banyak pengunjung. Hanya ada tiga orang yang juga sedang makan atau sekadar nongkrong sembari membaca atau berkutat di laptop mereka.

Milo duduk di sebuah meja panjang dengan beberapa tempat duduk. Kiri dan kanannya sementara ini kosong.

Tidak lama bagi Milo mendapatkan pesanannya, sepiring carbonara spaghetti sudah ada di depannya. Tak membutuhkan waktu lama pula bagi Milo untuk langsung menyantap dan menghabiskannya. Ia sendiri tak sabar untuk memesan secangkir espresso sembari melanjutkan membaca novel. Ia sungguh ingin hari ini akan menikmati hari.

Dalam beberapa menit setelah Milo menandanskan secangkir kecil espresso, cappucino-nya telah hadir di meja. Milo menghela nafas dan melanjutkan kopi kedua di siang hari ini.

Pengunjung restoran-café ini mulai berdatangan. Mungkin karena menjelang sore, pemandangan dan suasana di tempat ini memang indah. Maka, tak lama bangku di kiri dan kanan Milo juga terisi. Milo menyesap cappucino-nya dan merasakan aliran air yang lebih ringan dari espresso itu kembali membuatnya menikmati hari. Ia melirik ke samping kanannya. Ada seorang laki-laki yang mungkin kurang lebih sebaya. Laki-laki itu membuka laptop-nya dan langsung tenggelam di dalam pekerjaannya.

Milo juga kemudian melirik ke sisi kirinya.

Ia tersentak.

Ada seorang gadis berambut panjang, gelap dan lurus terurai sedang membaca sebuah novel. Judulnya terlihat jelas olehnya: Circe. Gadis itu terlihat serius terpaku pada novel yang ia baca. Bahkan keningnya berkerut. Segelas teh matcha dingin menemaninya membaca buku tersebut.

Milo tersenyum dan menggeleng tak percaya. Ia tak mungkin tak mengenali Rachel yang mengenakan busana santai berupa baju terusan tanpa lengan tersebut.

"Kamu sengaja ngikutin saya kesini, ya?" ujar Milo pelan sembari mendekat ke arah Rachel.

Kini Rachel yang tersentak, kemudian memandang terkejut ke arah datangnya suara.

Sepasang matanya yang sipit itu melebar. Rachel menutup mulutnya tak percaya. "Bapak!" serunya tertahan. "Ya ampun, Pak Milo?" ulangnya. Kali ini tangannya tidak lagi menutupi mulutnya yang ternganga.

Milo tertawa.

"Bukannya Bapak biasa di taman, ya?" ujar Rachel lagi masih tidak percaya bahwa ia bertemu dengan Mr. Milo, dan sosok itu duduk tepat di sampingnya.

"Terserah saya dong mau kemana," jawab Milo bercanda. "Pasti beneren kamu ngikutin saya, ya?"

"Ih, enak aja. Aku sering kesini, Pak. Biasanya sore sama malam. Bapak aja yang baru keliatan ke sini."

Milo kembali tertawa. "Iya juga sih. Saya kesini biasanya pas makan siang aja. Mungkin itu sebabnya saya nggak pernag lihat kamu," balas Milo.

Rachel kini yang tertawa. Sepasang pipinya memerah.

"Tapi beneran lho, Pak. Aku nggak nyangka ketemu Bapak disini. Aku nggak sadar di samping aku Bapak tadi."

"Sama, saya juga baru tahu kalau itu kamu. Sama siapa kesini? Williamnya mana?" tanya Milo. Ada sunggingan senyum penuh goda sembari Milo menanyakannya.

Rachel cemberut dan berpura-pura kesal. "Mulai deh. Sengaja ngejek ya. Kami nggak pacaran kalik, Pak. We're friends, ok."

Milo tertawa. "Iya, iya. Sama siapa kalau gitu kesininya?"

"Ih, mau tahu aja deh, Bapak," balas Rachel menggoda. "Sendirian kok Pak. Aku lagi malas aja di rumah. Bingung mau kemana sama ngapain."

"Nggak sama teman-teman. Vivi, Sophia, Dwi. 'Kan satu geng tuh."

Rachel menatap Milo dengan pandangan menggoda yang nakal. "Cie, Bapak hapal ya nama sahabat-sahabat aku. Jangan-jangan Bapak merhatiin aku nih ceritanya."

Milo tersenyum kecut. "Ya mereka 'kan murid-murid saya. Harus hapal dong. Biar saya nggak ngajar Vivi sama Sophia, tetap aja mereka murid-murid Uni-National."

Rachel tertawa kembali. Ia senang bisa menggoda Mr. Milo seperti ini. kepercayaan dirinya sekarang sudah begitu tinggi. Selain itu, ia sama sekali tak menduga bahwa ia bisa bertemu Mr. Milo hari ini.

Rachel paham sewaktu ia memutuskan untuk berbicara mengenai William tempo hari melalui chat, gurunya itu pasti tidak nyaman. Oleh sebab itu, ia tidak terus-terusan memaksa menghubunginya. Bagi Rachel sudah cukup Mr. Milo tahu bahwa ia tidak memiliki hubungan khusus dengan William. Ia juga tahu bahwa seperti biasa Mr. Milo pasti menghabiskan waktu dengan membaca di taman kecil di kompleks pertokoan tempat biasa sang Mama pergi ke salon. Namun, ia juga sengaja tidak datang ke tempat itu. Ia tak mau Mr. Milo merasa jengah dan terganggu dengan dirinya. Tapi ternyata semesta kembali menemukannya dengan gurunya itu tanpa sengaja.

"Pak, kita kok sering ketemu nggak sengaja ya? Apa jangan-jangan kita jodoh?" ujar Rachel. Kenekatannya sudah tak terbendung. Ia sudah kepalang tanggung. Mungkin memang ia berjodoh dengan sosok mempesona ini, pikir Rachel.

Milo menghembuskan nafas dan menggelengkan kepalanya pelan. Raut wajahnya menunjukkan ketidakpercayaandengan ucapan menggoda Rachel itu. Ia bingung untuk menggunakan kalimat memprotes ujaran Rachel. Namun demi melihat wajah Rachel yang tersenyum lebar,ceria dan ... cantik itu, Milo mengurungkannya dan kembali menggelengkan kepalasaja.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang