Field Trip

8 2 0
                                    

Tak terasa sudah hampir dua bulan juga Milo mengajar di sekolah ini. Sedikit banyak ia sudah mendapatkan ritma dan irama mengajar dan bekerja. Sampai saat ini, memberikan materi sejarah, memberikan tes dan project, sampai menangani beragam masalah murid.

Sampai saatnya untuk sebuah field trip. Masing-masing guru dipersilahkan untuk menyusun proposal field trip yang akan diajukan kepada sekolah. Beberapa guru berkolaborasi agar dapat bersama-sama pergi ke sebuah tempat dan tentu saja mengurusnya bersama. Membawa pergi murid jelas bukan pekerjaan gampang. Walau pada dasarnya field trip ini juga merupakan ajang murid dan guru berwisata dan bersenang-senang serta healing dari rutinitas pembelajaran dan pengajaran di sekolah, tetap saja field trip sejatinya adalah kegiatan sekolah dan bagian dari aktifitas belajar. Harus ada perencanaan yang matang sehingga kegiatan tersebut akan sukses dilaksanakan.

Milo tidak membuat proposal apapun. Ia merasa masih baru, jadi belum merasa mengenal medan. Lagipula ia belum merasa perlu untuk mengajak murid-muridnya untuk pergi ke suatu tempat untuk mengerjakan project tertentu.

"Bro, aku sedang buat proposal nih. Kamu ikutan ya? Kita 'kan dari social. Masih nyambung lah. Kita nggak usah banyak-banyak bawa murid. Grade 12 aja. Aku udah minta Cindy ikutan juga. Dia yang urus bagian science. Lagian, kita butuh satu guru perempuan, 'kan?" ujar Rian mendadak. Guru geografi itu mendekati meja kerja Milo pada saat ia sedang memeriksa pekerjaan murid-muridnya.

"Mau field trip kemana memangnya?"

"Passpormu masih aktif 'kan?"

Milo mengangguk.

"Kita ke Hong Kong. Pas banget buat geography and history, my man. Aku udah dari dulu pengin kesana. Mumpung ada kesempatan nih. Di history, kaitkan aja dengan pendudukan Inggris dulu. Terus World War II, sama kebijakan Tiongkok. Di geography, rencanaku mau fokus ke bentuk kepulauan kota khusus itu. Bisa juga bentuk pemerintahannya. Nah, pas 'kan?"

"Kita sih oke, bisa diatur, tapi Cindy 'kan guru physics," ujar Milo.

"Gampang, itu juga bisa diatur. Biar dia yang urus alasan dari field trip-nya. Bisa hitung kecepatan angin kek, cuaca kek. Lagian, bulan Oktober nih, pas pergantian ke winter."

Milo paham maksud Rian. Juga terlihat sekali ia begitu bersemangat untuk bisa berangkat ke Hong Kong meski tujuannya adalah melakukan aktifitas pelajaran di luar sekolah sekaligus menjaga murid-murid, tidak sungguh-sungguh melancong dan berwisata.

"Ya udah. Kita atur aja dulu. Kita buat proposalnya bagus-bagus, biar bisa diterima sekolah," ujar Milo. "Sisanya aku ikut aja. Baru dua bulan kerja disini, kamu aja yang udah punya pengalaman."

"Siap! Nanti pulang sekolah kita ke tempat biasa ya, bantuin nyusun rencana. Nambah-nambah apa gitu. Cindy ntar datang juga," balas Rian. Semangatnya sama sekali tak ditutup-tutupi.

Milo tersenyum. Ia senang Rian terlihat bersemangat. Yah, hitung-hitung rekreasi walau ia belum lama mengajar. Walaupun tadinya ia enggan untuk terlibat di dalam penyusunan proposal field trip tersebut, sepertinya tidak ada masalah sama sekali bila memang ia harus ikutan melaksanakannya. Itu juga kalau sekolah mengijinkan dan menerima proposal mereka.

Sebenarnya, masalah jurusan, sekolah internasional, terutama yang menerapkan kurikulum Cambridge, tidak membagi dengan tegas social dan science. Tiap siswa boleh memilih beberapa mata pelajaran science dan social sekaligus, tergantung kebijakan sekolah masing-masing. Kelak, siswa akan mengikuti ujian IGCSE atau AS&A Level sesuai dengan mata pelajaran 'campuran' yang mereka ambil. Namun, lain halnya dengan Uni-National yang memutuskan untuk sengaja membagi menjadi social dan science, meskipun tetap ada pengecualian bagi yang sungguh-sungguh ingin mengambil mata pelajaran lainnya.

Maka, untuk field trip, diperlukan kerjasama yang baik antar guru bidang studi, terutama yang berbeda jurusan, agar mampu memberikan tugas yang tepat kepada anak-anak murid mereka dan mengatur segala macam persiapan untuk kepergian mereka ke Hong Kong kelak.

Tanpa disadari, secara otomatis, Milo mulai mencari tahu tentang Hong Kong secara lebih spesifik dan mendetail terutama ketika dihubungkan dengan mata pelajaran sejarahnya.

Untuk grade 12, ada dua kelas social. Waktu studi mereka yang lebih singkat dibanding grade yang lebih junior memang membedakan jumlah materi yang diajarkan. Grade 12 sudah mulai sibuk untuk ujian AS&A Level serta persiapan ujian masuk ke universitas di seluruh belahan dunia yang biasanya mereka rencanakan lama.

Materi-materi sejarah yang dia ajarkan di kelas ini meliputi sejarah Eropa abad ke-18 dan 19, termasuk revolusi Industri di Inggris serta revolusi Rusia. Ada pula pilihan untuk materi sejarah Amerika 1820-1941, dari perang sipil sampai Perang Dunia Kedua. Satu-satunya cara untuk menempatkan Hong Kong di dalam materinya, adalah menghubungkan dengan sejarah Hong Kong bersama Inggris, atau letak Hong Kong dalam konteks sejarah Tiongkok dan Jepang pada tahun 1912-1945, yang tentu saja kembali dihubungkan dengan Perang Dunia Kedua.

Milo tersenyum sendiri ketika mengingat kata-kata Rachel beberapa saat yang lalu di kelasnya, bahwa seakan-akan setiap tingkat sejarah ditentukan oleh berbagai macam perang. Perang menandakan setiap bagian bab dalam buku sejarah.

Rachel tidak salah. Buktinya, untuk mendapatkan materi yang tepat untuk dikerjakan di field trip mereka di Hong Kong nanti, Milo tetap menyinggung perang sebagai tolok ukurnya.

Terdengar ketukan di pintu faculty room. Milo mendongak. Sesosok wajah yang cukup familier muncul dari balik pintu. "Excuse me, Sir. May I come in?"

Milo mengangguk. Tidak banyak guru di dalam ruangan itu. Rian juga sedang tidak berada di tempat.

Sosok murid perempuan jangkung tinggi nan ramping itu berjalan pelan mendekatinya. Wajahnya terbilang luar biasa cantik, dengan aura bule yang kental, terutama rambut pirang alaminya.

"I'm sorry, Sir. Did you have any chance seeing Miss Cindy? I couldn't see her everywhere," ujar siswi yang ternyata adalah Silvia Johnson itu menanyakan keberadaan Cindy.

Milo mengedarkan pandangan ke sekeliling dan memang tentu tidak menemukan Cindy yang sedari tadi tidak ada di ruangan itu.

"I think she's not here. Anything you would like to do or tell to her?" Milo bertanya mengenai keperluan Silvia, si siswi cantik nan terpopuler di jagad Uni-National tersebut.

"Ah, that's ok, Sir. Perhaps, I'll just come here again later." Suara Silvia terdengar memang lembut dan cenderung merdu, padahal ia tidak sedang bernyanyi. Pantas saja Silvia menjadi seorang pujaan karena pesonanya yang seabrek itu.

"Uhm, you are Mr. Milo, right?" lanjut Silvia.

Milo mengangguk. "And, you are Silvia, right?"

Silvia melebarkan kedua matanya. "You know me?" Silvia sungguh terkejut bahwa Milo mengenal namanya.

Silvia sudah biasa dalam dunia yang sepertinya berpusat padanya. Tidak heran bila berpasang-pasang mata memperhatikannya dan bahkan terpesona padanya. Namun, ia tidak menyangka bahwa Mr. Milo yang tidak mengajar kelasnya juga mengenali siapa dirinya.

Padahal, hari ini adalah awal dari rencananya untuk mendekati Milo, dimulai dari mencoba memperkenalkan dirinya. Rencana itu cukup matang. Dengan rasa percaya diri yang tinggi serta teknik menggodanya yang sudah tinggi, tidak sulit untuk membuat Milo memperhatikannya.

Ternyata, Milo sendiri sudah tahu siapa dirinya. Ada sensasi kemenangan aneh yang meletup-letup di dada gadis yang sudah mulai beranjak dewasa tersebut. Ada rasa kepuasaan yang luar biasa, kemenangan yang tidak bisa ditawar-tawar. Namun, selain itu, ada rasa bangga yang aneh ketika mengetahui bahwa ia mendapatkan perhatian dari Milo, walau ia belum tahu seberapa besar.

Padahal, bagi Milo, Silvia tak ubahnya hanya murid perempuan biasa, sama seperti yang lainnya. Sebagai guru, walau tak mengajar Silvia, memperhatikan setiap siswa Uni-National, mencoba mengetahui nama mereka, detil dan latar belakangnya, adalah hal yang lumrah dan normal, bahkan harus untuk beberapa hal.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang