Efek Kata-Kata

4 1 0
                                    

Sesi pertemuan para murid Uni-National dan murid-murid serta guru di Singapore International School, Hong Kong, tersebut terasa begitu singkat. Rian ternyata sudah bisa membayangkan keseruan setiap aktifitasnya. Kedatangan rombongan dari sekolah internasional di Indonesia ini disambut dengan baik oleh tuan rumah. Para guru dari kedua sekolah saling berbagi berbagai informasi tentang beragam hal. Rombongan Uni-National tidak hanya diperkenalkan dengan sekolah yang terdiri dari empat belas lantai tersebut. Kemegahan bangunan yang terletak di sudut jalan Nam Long Shan jelas terlihat. Kompleks gedung Singapore International School di Hong Kong ini tidak kalah megahnya dengan Singapore International School yang ada di Singapura sendiri, dengan dibalut warna dominan putih dan bebukitan yang menjadi latar belakangnya, meski gedung-gedung bisnis, perkantoran dan apartemen berdiri tersebar di samping, kiri kanan serta depannya.

Para murid dan guru juga melaksanakan pelbagai kegiatan, termasuk games dan pengenalan pada beragam kegiatan murid dan sekolah. Rachel dan geng the Four Musketeers-nya dengan cekatan membantu Mr. Milo dan Laoshi Stephanie mendata murid-murid yang ada di dalam kelompok mereka, termasuk Silvia, Sydney dan Sandra. Kekalahan jelas terlihat dari wajah kesal Silvia ketika 'pekerjaannya' diambil alih oleh Rachel dan sahabat-sahabatnya. Vivian mampu melihat kekecewaan yang tidak terlalu berhasil direkam oleh teman-temannya yang lain di geng the Four Musketeers.

"Rachel itu cantik ya anaknya, Pak?" tiba-tiba sosok Laoshi Stephanie sudah ada di samping Mr. Milo. Rekan guru Mr. Milo hari ini mengenakan busana yang membuat tubuh mungilnya menjadi semakin terlihat langsing. Sesungguhnya Laoshi Stephanie juga bisa dikatakan menarik. Hanya saja, diantara murid-murid, ia dikenal sebagai seorang guru Mandarin yang galak, tegas dan dingin. Meksipun tak dibenci oleh para murid, kecantikannya menjadi tidak diperhatikan oleh mereka.

Mr. Milo terkekeh. "Kok, tanya gitu ke saya, Laoshi?"

"Ya, saya 'kan pengin tahu pendapat Bapak sebagai laki-laki."

"Iya, iya. Rachel memang cantik. Vivian juga, Dwi sama Sophia juga. Apalagi Silvia, Sandra dan Sydney. Masih ada Talulah. Puas, Laoshi? Sekolah kita kan dikenal punya banyak murid perempuan yang cantik, Laoshi. Bahkan Laoshi sendiri cantik kok," jawab Mr. Milo.

Laosi tertawa renyah. Ia tadinya masih mau mengejek dan menggoda Mr. Milo. Namun, mendengar mendadak Mr. Milo malah ikut memujinya, membuat pertahanan Laoshi Stephanie menjadi kendor. Lagi-lagi ia tak menyangka bahwa efek kata-kata balasan dari Mr. Milo begitu besar. Lucunya, Laoshi Stephanie malah menjadi kecanduan ingin mendengar pujian dari mulut seorang Mr. Milo.

"Hi, Laoshi. Hi, Pak," sapa Rachel ramah sembari menghampiri kedua guru sekaligus advisor di kelompok field trip mereka ini.

"Wah, panjang umur," respon Laoshi Stephanie.

"Eh, kenapa kok panjang umur? Maksudnya Laoshi sama Mr. Milo tadi sedang ngomongin aku ya?" ujar Rachel sembari kembali tersenyum lebar.

Laoshi Stephanie mengangguk sembari tersenyum. "Iya nih, Rach. Kata Mr. Milo kamu ...."

Laoshi Stephanie menggantungkan kata-katanya dan mengulum senyum karena Mr. Milo menatapnya tajam. Mr. Milo tahu bahwa Laoshi Stephanie sedang terbit usilnya. Mungkin sekali ia akan mengatakan, "Kata Mr. Milo kamu cantik." Bila sampai Laoshi Stephanie mengatakan ini, Mr. Milo pasti akan murka. Dan, Laoshi Stephanie tahu ini. Ia memang sengaja menggodanya.

"Hah, kenapa Laoshi? Apa kata Mr. Milo?" ujar Rachel yang terlihat sekali sungguh penasaran.

"Nggak, kata Mr. Milo kamu bantuin kami mendata temen-temen kamu. Jadi kami mau say thank you." Senyum lebar Laoshi Stephanie mengambang di udara.

"Ooo ... kirain apaan," jawab Rachel. "So, after this, kita jalan kaki lagi, Pak, Laoshi? Mau lunch 'kan?"

"Iya. Deket sini kok tempat makannya. Udah diset sama Pak Rian. Kenapa memangnya? Jangan bilang pada ngeluh capek. Udara sejuk, jalannya juga enak 'kan?" ujar Mr. Milo.

Pertanyaan wajar dari Mr. Milo, mengingat walaupun Hong Kong sangat ramah pejalan kaki, kontur tanahnya yang berbukit-bukit membuat perjalanan menjadi menantang. Di banyak jalan, disediakan jembatan penyebrangan yang untuk naik kesana disediakan pula sebuah lift. Namun, tidak sedikit masyarakat Hong Kong yang sudah terbiasa, menggunakan beragam tangga yang menanjak tinggi.

Begitu pula jalan Nam Long Shan ke arah Singapore International School di Hong Kong ini yang menanjaknya juga bisa dianggap lumayan. Untungnya, murid-murid perjalan menapak tanjakan itu pada pagi tadi, ketika semangat juga masih tinggi. Kali ini, mereka harus berjalan menurun untuk menuju ke tempat selanjutnya yang syukurnya juga tidak terlalu jauh.

"Ah, nggak Pak. Cuma tanya aja. Ada sih yang ngeluh di kelompok kita. Jangan dipikirin, Pak. Mang manja aja anaknya."

"Memangnya siapa yang ngeluh?" lanjut Mr. Milo bertanya.

"Itu tuh, Vivian. Sok cantik aja dia sih, Pak."

"Ehh .. apaan sih. Siapa juga yang ngeluh. Enak aja. Gue seneng-seneng aja kok. Udaranya dingin gini. Semua orang juga jalan kaki di sini," ujar Vivian yang mendadak datang menyamperi Mr. Milo dan Laoshi Stephanie bersama Dwi dan Sophia.

"Hi, Pak. Hi, Laoshi," sapa Vivian ramah. Begitu juga dengan Dwi dan Sophia yang ikut menyapa kedua guru yang bertanggung jawab atas kelompok mereka tersebut.

"Beneran, nggak kok Pak Milo. Kita seneng jalan kaki. Di sini nggak kerasa capeknya. Itu, Rachel seneng banget. Apalagi kalau jalannya bareng Pak Milo," ujar Dwi.

Deg!

Sophia dan Vivian saling pandang, kemudian menatap ke arah Rachel yang wajahnya langsung merona merah.

Laoshi Stephanie tersenyum simpul. Jiwa keperempuanannya dapat menangkap maksud dari kata-kata Dwi. Ia gatal ingin kembali menggoda Mr. Milo. Mr. Milo sendiri sepertinya tidak menunjukkan gelagat apa-apa. Laki-laki memang tidak sensitif, pikir Laoshi Stephanie, walau menurutnya anak-anak perempuan ini memang sedang bercanda saja.

"Oke deh kalau gitu. Kita siap-siap jalan. Tolong bantu cek lagi anggota kempok kita ya, Rach, Vivi, Dwi dan Sophia. Nanti saya lapor ke guru-guru lain, kemudian kita pamitan ke sekolah ini," balas Mr. Milo.

"Ok. Siap Pak!" ujar Vivian bersemangat. Ia dan anggota geng the Four Musketeers yang lain saling berbagi senyum kemenangan, berhasil mengerjai Rachel yang masih menunduk karena wajahnya memerah.

Laoshi Stephanie menggeleng pelan sembari tersenyum ketika melihat keempat muridnya yang cantik-cantik itu beranjak pergi. "Tuh, 'kan. Sudah saya bilang, enak jadi Bapak yang good-looking. Banyak penggemarnya."

"Apaan sih, Laoshi, nih. Mereka cuma bercanda aja."

"Tapi, Rachel emang cantik, 'kan? Vivian memang yang paling cantik, tapi Rachel yang paling menarik. Iya 'kan, Pak?" goda Laoshi Stephanie kembali.

Mr. Milo menghela nafas panjang. Ia menatap Laoshi Stephanie yang terlihat sekali kegirangan.

"Iya, iya. Memang Rachel kok yang paling menarik. Malah sebenarnya dia murid paling cantik menurut saya. Cuma, kalau guru, ya Laoshi Stephanie lah yang paling manis," jawab Mr. Milo. Ia mengucapkan kata-kata ini sembari menatap Laoshi Stephanie dalam-dalam. Yang ditatap langsung terdiam dan berhenti tersenyum. Mr. Milo kini yang tertawa lepas tanpa mengetahui efek kata-katanya pada Laoshi Stephanie.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang