Novel

12 2 0
                                    

Talulah sadar bahwa pesona Mr. Milo terlalu kuat dan hampir tak bisa dibendung, entah Mr. Milo sendiri sadar atau tidak. Itu sebabnya, ia bergerak dengan cepat. Rasa-rasanya pun sejak semua warga Uni-National mengerti kedekatannya dengan Mr. Milo, kehebohan menjadi mereda. Mungkin semua malas berhubungan dengan Talulah.

Ini yang Talulah inginkan. Ia mau Mr. Milo untuk dirinya sendiri. Tidak peduli semua orang merasa risih, menuduhnya sebagai 'si paling', si paling dekat, si paling sejarah, si paling aktif. Biarkan semua orang di sekolah ini tidak menyukainya. Yang penting, ia memiliki kedekatan dan waktu selama mungkin berada di samping Mr. Milo.

Namun, kejadian barusan membuatnya syok. Rachel Loh, salah satu dari empat gadis yang selalu berkumpul bersama itu mendadak berinteraksi dengan Mr. Milo dengan cara yang sangat tidak ia sukai. Apakah Mr. Milo meminjamkannya novel Circe? Kapan Mr. Milo dan Rachel bertemu? Apa yang mereka bicarakan sampai-sampai Mr. Milo hendak meminjamkan barang miliknya kepada Rachel? Masalahnya, ia juga belum pernah membaca novel itu.

Namun, mungkin saja ini bukan apa-apa. Mungkin sekali Talulah hanya khawatir berlebihan, paranoid.

Ia menghela nafas. Ia harusnya sadar bahwa ia tidak boleh terlalu berlebihan. Apa yang ia lakukan sekarang sepertinya sudah lebih dari cukup. Jelas-jelas ia adalah murid yang paling dekat dengan Mr. Milo sekarang. Tak ada siapapun yang mau dan bisa mengganggunya.

Lalu, bila ada satu atau dua hal mengenai hubungan Mr. Milo dengan murid lain, Talulah merasa bahwa ia tak boleh melupakan bahwa bagaimanapun Mr. Milo adalah seorang guru. Memang tugasnya untuk berinteraksi dengan murid-murid, bukan? Begitu pikirnya.

Lagipula, jujur, Rachel Loh bukan tipe murid yang tidak ia sukai. Begitu juga dengan circle-nya. Vivian, Dwi, dan Sophia adalah kelompok persahabatan yang tidak berisik dan bertingkah berlebihan. Mereka hanya sekelompok anak-anak murid perempuan SMA yang senang berkumpul, bercanda dan bermain bersama. Tidak lebih. Mungkin akan sangat mengganggu dan membuat Talulah kesal bila Mr. Milo meminjamkan bukunya pada Silvia Johnson dan teman-teman indo bule satu geng-nya.

Talulah melirik ke arah Mr. Milo, kemudian tersenyum simpul.

Keduanya kini sedang berada di faculty room. Sudah pukul empat sore. Talulah sudah mengajukan izin kepada principal alias kepala sekolah untuk mendapatkan jam ekstra pelajaran history bersama Mr. Milo. Tiga kali seminggu, sepulang sekolah.

Awalnya ia cukup khawatir Mr. Milo akan menolak bila ia meminta terlalu banyak jadwal. Namun ternyata, Mr. Milo sama sekali tidak keberatan. Selain karena Mr. Milo adalah guru yang masih lajang dan muda, saat ini mungkin Mr. Milo senang karena memiliki murid yang semangat dan bright seperti dirinya. Lagipula, masih ada beberapa murid lain yang juga mendapatkan pelajaran ekstra, atau melakukan tugas bersamanya di ruangan ini. Jadi, Talulah bersyukur Mr. Milo tidak keberatan apalagi terganggu bila ia menyita waktunya.

Syukur-syukur bila perlahan, ia bisa membuat Mr. Milo pun merasakan ketertarikan yang sama dengannya. Bila sudah mendapatkan momentum dan kesempatan besar seperti ini, Talulah tetap yakin bahwa Mr. Milo akan menjadi miliknya.

Mr. Milo tiba-tiba berpaling ke arahnya. Membuat Talulah gelagapan.

"Hey, Talulah. You like reading, do you?"

Talulah mengernyit. "Yeah," jawabnya. Tentu saja. Pertanyaan silly macam apa itu, Pak. Pikir Talulah.

"Novel?"

"Ehm, nggak juga sih, Pak. I think I'm a more non-fiction kinda person. Memangnya kenapa?"

"Nggak apa-apa, sih. Cuma tanya aja," jawab Mr. Milo sembari nyengir.

Ah, sialan. Aku salah jawab, rutuk Talulah dalam hati.

"Tapi saya baca semua kok. Memangnya Bapak suka novel apa?" Talulah tidak mau membuat Mr. Milo kecewa karena ia tidak memiliki ketertarikan yang sama dengannya. Ia tahu bahwa Mr. Milo suka sekali membaca. Dan kini ia tahu bahwa membaca novel juga merupakan kegemaran utamanya. Pertanyaannya barusan membuat ia takut menjawab dengan tidak tepat. Salah-salah, Mr. Milo berpikir bahwa ada satu dua hal yang tidak cocok antara dirinya dan Talulah.

"Well, there's a lot."

"What's your favorite one, then?"

"Ah, there's also a lot," jawab Mr. Milo, tersenyum.

Mau tak mau Talulah terpaksa membalas senyuman manis Mr. Milo yang tak bisa ia lawan itu.

"Kalau gitu, boleh Bapak sarankan satu novel favorit Bapak dan pinjamkan kepada saya?"

Sepasang mata Mr. Milo terlihat bersinar. Talulah tahu bahwa gurunya itu sedang bersemangat. Membaca novel sungguh adalah salah satu kegemaran penting bagi Mr. Milo, sehingga ia memerlukan seseorang untuk berbagi.

"Ok. So, you'll start with this," ujar Mr. Milo. Sepasang matanya masih berbinar ketika mengeluarkan sebuah buku dari dalam tasnya. Aroma khas kertas meruap. Buku itu berjudul "The Kite Runner." "Kecuali kamu sudah pernah baca novel ini," lanjut Mr. Milo dan menatap Talulah penuh selidik.

The Kite Runner sangat terkenal. Novel itu ditulis oleh Khaled Hosseini, seorang penulis berdarah Afganistan-Amerika, menceritakan tentang kehidupan anak laki-laki bernama Amir dan keadaan di Kabul, Afganistan. Talulah pernah menonton filmnya, tetapi belum sempat membaca novelnya. Tidak heran Mr. Milo menempatkan novel ini sebagai salah satu satu novel favoritnya. Mr. Milo tidak bisa dipisahkan dari ilmu sejarah. Maka tidak heran pula novel-novel yang baca juga memiliki latar belakang sejarah atau yang berkaitan dengannya. Talulah sebelumnya memang tidak terlalu tertarik untuk membacanya. Namun, hari ini ia menggeleng keras. "Belum, Pak. Saya tahu novel ini terkenal. Belum ada kesempatan untuk membacanya. Ternyata Bapak punya. Pas sekali. Boleh saya pinjam, Pak?"

Mr. Milo tersenyum lebar. "Memang ini mau saya pinjamkan ke kamu," ujar Mr. Milo penuh kebanggan. Seperti seorang ketua sekte kepercayaan mendapatkan seorang panganut baru.

"Kalau sudah selesai, nanti saya pinjamkan novel-novel favorit saya lagi yang lain."

Talulah mengangguk. Kini, ia kembali merasa berhasil menyita perhatian Mr. Milo. Ia merasa sudah memiliki semua chemistry yang diperlukan dalam membangun hubungan dengan guru yang ia sukai itu.

"Tapi, bacanya nanti saja di rumah. Kamu harus kerjakan paper itu dulu."

"Will do. No worries, Pak," ujar Talulah tak kalah bersemangat.

Talulah sudah bisa membayangkan bahwa ia akan memiliki pertemuan demi pertemuan yang lebih intens dengan Mr. Milo. Tidak melulu membicarakan tentang pelajaran sejarah, melainkan juga hobi, yaitu membaca novel. Mungkin suatu saat ia dan Mr. Milo akan bercakap-cakap di sebuah taman, duduk berdampingan di sebuah bangku. Mereka akan membaca dan berbagi novel bersama. Dari situ mereka akan saling bercanda, berbicara mengenai hal-hal lainnya yang mungkin semakin lebih intim dan personal serta akhirnya mampu menimbulkan rasa.

Talulah tak bisa menahan untuk tidak tersenyum semakin lebar.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang