Good-Looking

4 2 0
                                    

Milo sedang duduk menghadap jendela kamar kosnya. Jendela itu terbuka dan menampakkan pepohonan dan skyline bangunan kota di kejauhan. Secangkir kopi dengan uap mengepul ke udara ada di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggenggam hape. Ia sedang membaca pesan dari Rachel. Milo tersenyum-senyum dari tadi. ia juga tidak tahu mengapa sampai membalas pesan Rachel sedari tadi.

Muridnya itu adalah sosok yang cerita dang menyenangkan. Memang, Rachel sering terlihat malu ata menahan perasaannya sampai-sampai wajahnya memerah. Namun, sisanya Rachel menunjukkan sebagai pribadi yang positif. Mungkin itu alasannya mengapa Milo merasa nyaman berkomunikasi dengannya.

Eh, tunggu dulu. Mendadak Milo tersentak dengan pikirannya sendiri.

Ia tidak mau lagi terperangkap dengan pikiran dan perasaannya. Ia sudah berjuang untuk menyakinkan dirinya bahwa perasaannya terhadap Rachel bukanlah perasaan istimewa dan aneh-aneh. Lalu, mengapa kini ia kembali terjebak.

Milo menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menyeruput kopinya lagi. Ia memandang ke layar hapenya. Ia masih belum menjawab pesan terakhir dari Rachel.

Ia mulai mengetik. "Rachel. I don't think I'm the right person to talk about this. Tapi, menurut saya pribadi, kamu nggak salah. Cuma butuh kejelasan soal hubungan kalian saja."

Milo menambahkan emoticon 'semangat' berupa lengan yang mempertontokan otot. Ia tak berniat memperpanjang chat mereka tersebut.

Satu pesan lagi tak lama masuk. Milo merasa enggan untuk membacanya. Ia tak mau membuat percakapan mereka menggantung, tetapi juga sama sekali tak memiliki keinginan utnuk melanjutkannya. Tetapi ternyata yang mengirimkan pesan adalah Talulah. Milo menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Ia membuka dan membacanya.

"Sore, Pak."

"Sore, Talulah. What's up?"

Talulah membalas dengan mengirimkan sebuah gambar. Itu adalah gambar kartun wajah Milo dengan mengenakan topi kupluk, tersenyum lebar.

"I drew this. Saya yang gambar, Pak, hahaha ..."

"Is this me?" balas Milo. Ia mengernyitkan keningnya. Bingung atas maksud dari Talulah mengirim gambar tersebut.

"Of course. Cute, right?"

Milo menghela nafas panjang. Ada apa ini sebenarnya?

Selagi pikirannya berseteru sendiri, ia tidak ingin mengecewakan Talulah. Maka dijawabnya singkat. "It's great. Thanks."

Milo melemparkan hapenya ke atas tempat tidur. Tidak berniat untuk membukanya lagi.

Damn! Apa ini sebenarnya? Awalnya ia mengira Talulah adalah siswi yang semata-mata membutuhkan bantuannya dalam pelajarannya. Namun, baru saja ia mengirimkan sebuah gambar yang ia gambar sendiri secara khusus. Gambar itu menurut Milo terlalu melebihkan. Dibuat sedemikian rupa sehingga seakan-akan ia adalah seorang laki-laki rupawan dan manis. Bahkan Talulah menggunakan kata cute. Ia tak nyaman dengan perlakuan dari Talulah ini. Ia juga terkejut dengan perilaku sang murid.

Milo menghabiskan kopinya cepat. Kemudian meraih hape yang baru ia lemparkan tersebut. Ia membuka hape, melihat pesan dari Talula, tetapi sengaja tidak ia acuhkan. Ia juga tidak membacanya.

Hatinya sedikit lega karena Rachel juga tidak menambahkan balasan. Ia memutuskan untuk tidak melanjutkan perbincangan dengan kedua murid perempuannya itu, terutama Talulah yang dilihat dari chatnya sudah mengirimkan empat baris pesan lagi.

Milo meraih hoodie abu-abu dan beanie merahnya. Wajahnya menegang. Tidak seperti biasanya yang terlihat hangat dan ramah. Ini karena, memang ia tidak suka dengan perlakuan Talulah terhadap dirinya.

Milo meraih tas punggung, kemudian membuka pintu kamar kosnya dan pergi keluar.

Pikirannya terus menderu-deru sendiri. Apa mungkin selama ini ia tidak paham bahwa beberapa siswi memiliki perasaan padanya. Atau ia sendiri telah melakukan beberapa tindakan yang berlebihan kepada para murid perempuan tersebut? It has to stop. Ini sudah keterlaluan. Ia sudah bertemu dengan Rachel di luar sekolah. Juga dengan Rita di mall. Ia sudah bercakap-cakap di hape terlalu akrab dengan Rachel, dan kini Talulah mengirimkan gambar dirinya dengan kata 'cute'. Ia khawatir bahwa ia telah salah langkah dan salah melakukan perlakukan kepada mereka.

Milo dan motornya melaju di atas jalan.

"Apa yang aku lakukan udah bener, Kath?" ujar Milo di atas makam Graciella Katherine Jessica, kekasihnya yang telah tiada. "Kayaknya selama tanpa kamu, aku seperti mulai kehidupan dari awal. Apa aku yang nggak sensitif dan bertindak berlebihan, ya? Selama ini, cuma kamu cewek yang paling dekat dengan aku."

Rupa-rupanya, kekalutan pikiran Milo yang datang mendadak itu membuat Milo memutuskan untuk pergi mengunjungi makan kekasihnya tersebut.

Milo ingat, dulu ketika mereka berpacaran, terutama di masa kuliah, jauh sebelum Kath mulai sakit-sakitan dan dirawat di rumah sakit, Kath kerap menggoda dan memuji Milo.

"Kamu kok selalu good-looking, sih, sayang," ujar Kath suatu hari dengan manja dan centil yang sengaja dibuat-buat. Ia tahu Milo paling tidak suka dipuji dengan gaya seperti itu.

"Good-looking darimananya, sih, Kath?" balas Milo dengan ketus.

"Aku serius, Mil. Kamu tu good-looking, ganteng banget. Aku beruntung jadi pacar kamu." Kath terlihat serius kali ini.

"Kath, kalau aku tu good-looking, dari awal kamu udah terima aku jadi pacar kamu. Kamu ingat berapa kali kamu nolak aku?" kini Milo yang terlihat sedikit lebih cerita, tidak semasam sebelumnya.

"Itu 'kan karena kita masih SMA, Mil. Pasti ya banyak pertimbangan. Tapi kalau sekarang, aku yang bakal nembak kamu, tauk."

Milo tersenyum. Kath tertawa. Ia senang bisa membuat Milo tersipu seperti itu.

"Tapi beneran deh, Mil. Kamu tu mahluk paling nggak sensitif. Jangan pikir karena kulit kamu agak gelap, terus hidung kamu besar, atau apa lah yang sering kamu bilang ke aku, terus kamu anggap kamu nggak menarik, Mil. Tahu nggak, banyak temen cewek aku yang suka bicarain kamu di belakang. Katanya kamu cakep. Kamu aja nggak nyadar, Mil," ujar Kath.

Milo saat itu langsung mengubah topik pembicaraan. Ia tak yakin Kath sungguh-sungguh atau sedang menggodanya saja. Namun, ia memang tak pernah menganggap dirinya menarik sejak dari dulu.

"Kayaknya aku kurang sensitif di segala hal ya, Kath? Menurut kamu aku harus bagaimana?" tanyanya di depan makam sang kekasih.

Milo melepas beanie-nya, menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan frustasi. Ia pusing dengan apa yang sedang terjadi padanya saat ini. Tentang perilakunya terhadap Talulah dan Rita, dan mungkin tentang kebingungan perasaannya terhadap Rachel. Belum lagi statusnya sebagai seorang guru.

"Aku tahu kamu sudah berada di tempat yang lebih baik. Kita juga nggak bakal bersama, Kath. Dan aku sangat berharap kamu beneran bahagia dan damai saja disana, nggak perlu memikirkan aku disini," Milo menghela nafas. "Kath, mungkin aku harus benar-benar melupakan kamu sekarang. Aku harus bisa terus hidup. Aku harap kamu setuju denganku, Kath." Kata Milo. Lirih, hampir tak terdengar. "Sekarang aku seperti anak kecil yang butuh bantuan dan dukungan orang lain. Dulu ada kamu. Ternyata setelah kamu nggak ada, aku seperti nggak ngerti apa-apa. Aku harus melupakan kamu, Kath."

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang