"Am I mean? Gue jahat nggak sih?" ujar Rachel kepada ketiga sahabatnya.
Keempat sahabat anggota the Four Musketeers itu sedang berada di sebuah restoran cepat saji. Rachel memesan cheese burger dan segelas soda, tetapi baru dimakan dan ditenggaknya sedikit saja.
Vivian dan Dwi sudah melupakan tentang isu peminjaman novel Mr. Milo oleh Rachel kemarin. Namun, hari ini, sepulang sekolah, Rachel meminta mereka untuk hang out sejenak di tempat biasa mereka nongkrong di dekat sekolah bila tidak memiliki rencana khusus.
Vivian, Dwi dan Sophia langsung tahu bahwa Rachel ingin menyampaikan sesuatu dan ingin mendengar pendapat mereka. Rachel pun memang terlihat serius.
"Maksud you apaan nih, Rach? Context, please," respon Vivian terlihat bingung.
Sebagai murid sekolah internasional seperti Uni-National ini, komunikasi antar individu memang beragam. Mereka bahkan memiliki gaya bahasa sendiri yang menjadi ciri khas sekolah dengan format yang serupa. Misalnya saja penggunaan bahasa Inggris yang dominan, atau code-switching, alias mencampur-campur bahasa. Mereka kerap menggunakan kata ganti orang I dan You selain aku, kamu, atau lo dan gue. Kadang mereka tidak memiliki konsistensi. Mereka akan menggunakan cara apa saja selama komunikasi berjalan dan pesan tersampaikan dengan baik. Itu sebabnya, agar mendapatkan ekpresi pemaknaan yang tepat serta penegasan kalimat, code-switching inilah jalan satu-satunya, kecuali untuk para murid ekspat atau murid warga negara Indonesia yang memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang sangat lemah dimana hanya Inggris lah yang bisa mereka gunakan.
Sophia menyipitkan kedua mata dari balik kacamatanya. Ia berusaha menebak-nebak apa yang hendak diutarakan Rachel. Pasalnya, ia yang paling tahu mengenai kisah asmaranya dengan Mr. Milo yang sepertinya tak bakal tersampaikan. Namun, bila memang ini adalah perkara Mr. Milo, Rachel tak mungkin segan-segan lagsung saja menyampaikan kepadanya dan bukannya mengumpulkan semua anggota the Four Muskeeters. Jadi, untuk kali ini, iapun sama penasarannya dengan anggota geng mereka yang lain.
"Iya, nih. Masalah paan dulu, Rach?" ujar Dwi nimbrung sembari mengunyah french fries-nya.
Rachel menghela nafas panjang. "Ini soal William, guys."
Sophia, Dwi dan Vivian secara seragam mengangguk-angguk. Namun, sebelum salah satu dari mereka mengucapkan kata, "Ooo ...", Rachel mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. "Tunggu dulu. Jangan sok tahu. Denger gue dulu," ujarnya protes.
Dwi kembali melanjutkan mengunyah french fries-nya, sedangkan yang lain mulai memasang wajah serius. Rachel sepertinya memang sedang serius, tidak seperti biasanya yang selalu ceria dan penuh canda.
"Gue nggak akan bohong sama kalian bahwa gue ngerti William punya rasa sama gue. Masalahnya, dia belum pernah sekalipun bilang apa-apa ke gue soal perasaannya. Nah, gue harus gimana sekarang? Terus terang, gue nggak ada masalah sama William. Dia baik, nggak kasar, juga nggak nyebelin orangnya. Tapi, gue nggak ada rasa yang sama. Nggak tahu, pokoknya kurang aja."
"Iya, kita semua tahu kok, Rach. Tapi ...."
"'Kan gue bilang denger dulu, Vi," potong Rachel.
Vivian yang sadar bahwa dirinya tidak sabaran terpaksa menelan kata-katanya dan ikut mengambil french fries milik Dwi dan ikut memakannya.
"Gue nggak bisa geer dan semena-mena sama William. Mana tahu dia Cuma berniat baik dan nggak ada rasa apapun sama gue, karena ya itu tadi, dia nggak ngomong apa-apa. Sekarang masalahnya, kalau gue terima aja semua perlakuan baik dia, apa gue nggak jadi cewek yang jahat karena terus kasih harapan? Terus, kalau gue sekarang jauhin dia, apa gue juga nggak salah? 'Kan belum tentu dia baik-baik ke gue karena ada perasaan. Iya 'kan, Dwi, Sof, Vi?"
Semua cuma mengangguk tanpa membalas.
"Akhir minggu ini dia ngajar nonton. Mungkin sebagai bagian dari pedekate, bisa jadi juga bukan. Kalau gue nolak, gue jelas salah. Soalnya gue udah pernah bilang kalau weekend biasanya gue nggak ada kerjaan. Masa mendadak gue bilang gue sibuk karena pas diajak keluar sama dia. Tapi, kalau gue terima, jelas itu memberikan harapan 'kan? It's much better if he'll tell me his feeling pas nonton ntar. Jadi gue bisa kasih jawaban yang jelas kalau gue nggak bisa nerima perasaan dia. Lagian, Sabtu gue bakal keluar sama Mom, buat ke salon," ujar Rachel sambil melirik ke arah Sophia yang segera langsung tahu arah pembicaraan ini.
Semua ucapan Rachel ada benarnya. Ia dalam posisi yang sulit. Namun, mungkin Rachel tidak akan segalau ini kalau tidak ada sosok Mr. Milo, pikir Sophia. Sabtu ini, yang dimaksud mengantar mamanya ke salon sebenarnya adalah kesempatan untuk kembali bertemu Mr. Milo di taman kecil yang Rachel ceritakan kepadanya sebelumnya.
Dwi berdehem. "Sorry nih, Rach. Kita tahu masalah yang you punya sekarang. Cuma, bukannya dulu you pernah bilang kalau William, eh ... nembak, you bakal pertimbangkan?" ujar Dwi hat-hati.
"Gue nggak pernah bilang gitu, ya Dwi. Tapi, ya dulu mungkin gue nggak punya pendapat buruk soal William. Tapi makin kesini, gue tahu perasaan gue sendiri yang masih belum bisa tertarik sama dia.
"Is there someone else, Rach?" tanya Sophia. Ia sesungguhnya tahu jawabannya. Tetapi entah mengapa ia sengaja menanyakannya di 'forum' kelompok ini.
Rachel menatap ke arah Sophia dengan pandangan penuh makna. "I think so, Sof. It's Mr. Milo."
"Yee, ni anak. Orang udah pada serius malah dia yang becanda," protes Vivian. Dwi pun terbatuk-batuk keselek french fries gara-gara jawaban Rachel yang tak terduga itu.
"Mr. Milo mah milik kita bersama, Rach. Biar you habis dipinjemin novelnya, bukan berarti you langsung jadi istrinya," kali ini Dwi yang protes.
Rachel tersenyum tipis. Namun hanya Sophia yang tahu bahwa Rachel jujur dan serius.
"Ya udah, ya udah. Gini aja deh Rach. Lo bilang aja terus terang kalau Saturday, lo antar your mom ke salon. Jadinya cuma bisa Sunday. Berharap aja Will bakal nembak lo di hari itu, jadi lo bisa jelasin ke dia kalau lo nggak punya perasaan yang sama. Bilang lo naksir orang lain kek, atau belum ada pikiran buat punya pacar kek. Nah, masalahnya kalau dia belum nembak, mau nggak mau lo yang ngomong," jelas Sophia.
"Hah! Kok gue yang ngomong sih Sof?"
"Mau gimana lagi? Mau terus-terusan gantungin si Will? Bilang kalau nonton ini bukan kencan, 'kan? Lo anggap gue gimana sih sebenarnya, Will? Gitu. Dipancing-pancing. Kalau nggak, lo bakal terima terus masalahnya."
Tak ada yang protes kali ini dengan solusi yang diberikan Sophia. Rachel sendiri sungguh merenung akan hal ini. semua yang diutarakan Sophia masuk akal. Lagipula, dia bisa dikatakan senior dibanding anggota geng the Four Musketeers yang lain dalam hal dunia hubungan percintaan dan asmara.
"It will take a bold courage, butuh keberanian, Rach. Tapi mungkin bener yang dibilang Sophia," ujar Dwi sembari menyantap french fries terakhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lini Masa
RomanceRachel Loh sepertinya sungguh suka dengan Mr. Milo. Bukan hanya suka, Sophia Chang, sang sahabat, mencurigai bahwa Rachel sedang jatuh cinta pada guru baru mata pelajaran history di sekolah mereka tersebut. Rachel sendiri tidak malu-malu mengakui ba...