City Lights

4 1 0
                                    

Prom night akhirnya usai sudah. Kepuasan dan keceriaan terlihat tergambar di wajah-wajah para murid. Malam ini seru, menyenangkan, sekaligus mengharu-biru. Memang masih ada graduation di akhir masa pendidikan nanti, tetapi rasa perpisahan sudah kental mengambang di langit-langit ballroom yang tinggi dan megah itu. Belum ada tangis-tangisan. Mungkin para murid menyisakannya untuk kelak.

Pelan-pelan para murid saling berpamitan dan pulang. Ballroom mulai sepi. Sebentar kemudian, tersisa panitia dari student council. Para murid grade 12 yang masih berada di hotel, kini sudah turun ke lobi untuk menunggu jempuran, atau menggunakan taksi online.

Sophia, Jordan, Dwi dan Josh sudah terlebih dahulu berpamitan dengan Vivian dan Rachel yang sedari awal memang sudah berangkat bersama. Di lobi memang masih ada beberapa siswa yang belum pulang. Guru-guru menunggui mereka disana untuk memastikan setiap orang sudah pulang. Ada juga beberapa guru yang menemani panitia dari student council di ballroom untuk menyelesaikan segala sesuatunya.

Mr. Milo yang menungu murid-murid di lobi melihat kedatangan Rachel dan Vivian. Ia mendekat.

"Kalian dijemput, pulangnya?" tanya Mr. Milo.

"Pakai taksi onlen, Pak," jawab Rachel.

"Ooo ... atau mau saya antar pulang?"

"Bukannya Bapak harus jagain murid-murid lain juga, Pak?" tanya Vivian.

"Saya 'kan kebagian bertugas di transportasi. Itu mereka tinggal dijemput. Semua juga sudah dapat taksi online. Ada guru-guru lain juga. Tinggal kalian aja. Kalau mau sekalian saya antar, jadi semua murid udah bisa pulang."

Vivian langsung mengangguk mantap. Rachel bahkan tidak sempat protes.

"Antar saya dulu saja, ya, Pak? After that, you may take Rachel home," lanjut Vivian.

"Loh, Vi, lo 'kan tidur di rumah gue," ujar Rachel.

"Not tonight, Rach," balas Vivian penuh makna. Senyumnya penuh misteri.

Maka, jadilah malam itu, Mr. Milo menyupiri Vivian dan Rachel pulang. Sekali lagi, Rachel yang didaulat – tepatnya dipaksa – oleh Vivian duduk di muka, disamping Pak kusir yang siap bekerja, mengendalikan kuda besi agar baik jalannya.

"So, it's not our last meeting, Pak. Masih ada graduation, 'kan?" ujar Vivian di kursi belakang.

"Yep. By the way, gimana perasaan kalian sehabis prom ini tadi?"

"I felt good, sih, Pak. Seru kok. Bapak dan Rachel tuh yang luar biasa heboh. Nggak nyangka Bapak bisa seseru itu juga. Bakal jadi kenangan yang indah, ya, Pak?" lanjut Vivian.

Mr. Milo tersenyum. Bagi Vivian, itu senyum misterius, bagi Rachel itu hanya senyum ramah Mr. Milo yang biasa. Ia malah yang merasa bahwa ialah yang sedang tersenyum dengan aneh sekarang.

Mobil sekolah yang dikendarai Mr. Milo melewati jalan kota yang ramai meski malam meluncur cepat.

Tempat tinggal Vivian berada di dalam sebuah kompleks perumahan mewah. Rumah yang dimaksud disini adalah tempat tinggal sang ayah. Sementara, memang Vivian tinggal lebih banyak di rumah papanya dibanding pergi bersama mamanya. Kelak setelah ia lulus SMA, ia memiliki kesempatan untuk memilih sesuai dengan keinginannya. Vivian mengatakan kepada Rachel, bahwa ia akan lebih memilih untuk tinggal sendirian, dibanding harus memilih tinggal dengan salah satu dari kedua orang tuanya yang sudah berpisah tersebut.

Kompleks rumah Vivian berada di atas perbukitan, sedikit keluar dari pusat kota. Dari sana, hanya sekitar 15 menit turun dari perbukitan, barulah sampai di rumah Rachel, yang meskipun termasuk ke dalam tinggal perumahan orang mampu, tidaklah bisa dibandingkan dengan kekayaan keluarga Vivian.

"Sip, Pak. Sampai disini saja. I always bring a key to my own house. Sampai ketemu, Rach," ujar Vivian.

"Are you serious bakal tidur di rumah malam ini, Vi? Barang-barang lo semua di rumah gue lho," ujar Rachel.

"Ah, elo, Rach. Dari dulu barang-barnag gue emang di tempat lo. Entar gue juga ke rumah. Dah, gih, pulang dulu. Be careful ya, Pak. Please bring my best friend home in one intact piece."

"Sure, do, Vi. See ya. Have a great the rest of the night," balas Mr. Milo.

Rachel memberikan kecupan di udara dan melambai ke arah Vivian yang berdiri di depan pintu rumahnya, yang luar biasa besar, tetapi terlihat sekali hampa dan kosong.

"Kalian akrab sekali ya? Saya tahu anggota geng kalian, tapi nggak tahu kalau Vivian sering nginap di rumah kamu," ujar Mr. Milo. Mobil yang ia kendarai sudah meaju lagi keluar dari kompleks perumahan elit itu, kemudian kembali menaiki sisi bukit, untuk kemudian baru turun menuju ke arah jalan utama.

"Kalau bisa diambil, diambil deh kamar aku, tuh, Pak," ujar Rachel.

"Pasti kamu bakal merindukan mereka nanti ya."

Rachel memandang ke arah Mr. Milo yang sedang memandang lurus ke depan. Ia kemudian menengok ke samping, ke arah kaca, ke luar mobil. "Banyak Pak yang bakal aku rindukan."

"Termasuk saya?" ujar Mr. Milo, kemudian tertawa.

Rachel tersentak, kemudian menatap ke arah Mr. Milo. "Idihh, kok gantian Bapak yang godain aku. Nggak boleh seorang guru godain murid ceweknya yang sudah mau lulus, Pak. Kalau serius nggak apa-apa," respon Rachel.

"Maaf, maaf, bercanda aja, kok."

Rachel mendesah. Ia sangat berharap Mr. Milo serius. Sedangkan Mr. Milo sedikit menyesal ia menggoda Rachel, khawatir ia kembali kebablasan.

Kini mobil milik sekolah yang dikendarai Mr. Milo itu melewati sebuah wilayah di perbukitan yang terlihat lapang. Pepohonan tumbuh jarang-jarang, tidak seperti di kompleks perumahan elit di sekitar rumah Vivian. Dari jalan di bukit yang dilindungi oleh pembatas jurang itu, terlihat dari jauh, lampu-lampu gedung dan skyline kota di malam hari. Pemandangan yang indah sekaligus melegakan bagi siapapun yang lewat di tempat ini.

"Pak, Pak. Coba lihat deh. Ini tempat favorit aku kalau malam. Biasanya habis Jemput Vivian di rumahnya."

Mr. Milo mengangguk setuju. Ia memperlambat laju kendaraan. Ia celingak-celinguk, kemudian sungguh menepikan kendaraan dan berhenti di sisi jalan yang cukup lapang sehingga aman dari lalu lintas kendaraan yang lewat.

"Lho, kok berhenti, Pak?"

"Sebentar, Rach. Ayok turun," ajak Mr. Milo.

Rachel yang masih bingung melihat Mr. Milo meraih tasnya yang ia letakkan di bangku belakang, kemudian mengambil kamera DSLR andalannya dari dalam tas tersebut. Ia menunjukkan kepada Rachel kamera tersebut sembari tersenyum. Mr. Milo turun dari mobil. "Ayok, turun sebentar. Saya nggak pernah lihat jalan ini. Keren banget. Saya mau foto sebentar."

Rachel yang semula bingung langsung berubah air mukanya menjadi ceria. Entah apa yang terjadi malam ini, ia tak tahu bagaimana cara semesta bekerja, karena masalahnya, setiap lewat tempat ini di malam hari, ia selalu berpikiran untuk mengambil foto city lights dan skyline yang indah itu. Vivian selalu protes, sehingga ia selalu membatalkan niatnya itu.

Mr. Milo yang masih mengenakan jas hitamnya itu menggantungkan kamera di lehernya, kemudian membukakan pintu buat Rachel yang jelas sekali terlihat sama girang dan excitednya dengan Mr. Milo.

Rachel yang mengenakan gaun sempat kerepotan untuk turun, sehingga Mr. Milo menawarkan tangannya yang spontan dan alamiah disambut oleh Rachel. Percikan aneh menjalar di kulit keduanya yang bersentuhan. Namun, itu sejenak saja, karena, dunia pun bertaruh bahwa baik Rachel maupun Mr. Milo kini sama-sama terpesona dengan pemandangan luar biasa yang ada di depan mereka: breathtaking. Rachel sungguh-sungguh berhenti dan melihat pemandangan di bawah sana secara langsung. Begitu pula Mr. Milo yang belum pernah meihat pemandangan seperti ini di kota tersebut.

Keduanya berdiri dalam diam tanpa sadar bahwa tangan mereka masih bergandengan.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang