Hari ini guru-guru membawa para murid untuk makam malam di Nathan Road, sebelum berkunjung ke sebuah wilayah yang cukup terkenal bernama Temple Street. Wilayah Temple Street adalah sebuah ruang terbuka berupa jalan dan gang diantara bangunan pertokoan yang penuh dengan pasar tumpah. Toko-tokonya di kiri kanan jalan sendiri menjual beragam makanan, tempat karaoke dan bar. Sedangkan di gang-gangnya, penjaja makanan, pakaian, suvenir dan oleh-oleh, mainan dan pernak-pernik sampai peramal masa depan bertaburan.
Setelah dari Avenue of Stars, para murid pulang ke hotel untuk beristirahat sejenak. Meski rata-rata murid tidak bisa berdiam diri. Mereka mengunjungi kamar teman-teman mereka, atau bersantai di lobi dan restoran. Rachel sendiri sibuk memandangi foto-foto yang saling dibagikan oleh anggota geng the Four Musketeers mereka, terutama fotonya berdua dengan Mr. Milo. Vivian dan Dwi sudah mengupload foto dan video mereka di sosial media. Sebagai gadis-gadis populer, sebentar saja foto dan video mereka direspon khalayak ramai.
Sorenya, para murid dan guru Uni-National berangkat ke Nathan Road dari hotel di Wong Chuk Hang dengan kembali menggunakan MTR dan berhenti di stasiun MTR Kowloon. Kemudian berjalan kaki ke restoran di jalan tersebut untuk kemudian melanjutkan ke Temple Street, kurang lebih sepuluh menit jalan kaki. Nathan Road adalah salah satu jalan utama di Hong Kong, tepatnya jalan utama di distrik Kowloon. Selain restoran, sepanjang jalan terdapat beragam toko yang menjual beragam barang pula. Para murid berhenti di beberapa tempat untuk membeli barang yang sudah mereka incar. Memang, Hong Kong adalah surga belanja. Barnag-barang yang dijual lebih murah dibanding negara-negara lain karena tidak dikenakan sales tax.
Malam hari, Nathan Road gegap gempita, gemerlap oleh lampu-lampu neon di sepanjang jalan, menempel di setiap toko. Mr. Milo tak tahan untuk tak berhenti mengambil foto kemegahan jalan itu. Lensa kameranya menangkap foto-foto dengan sudut yang indah.
Namun, untuk pergi ke Temple Road, tempat tujuan mereka setelah makan malam, Rian sudah mewanti-wanti agar masih-masing guru yang diberi tugas untuk sungguh memperhatikan murid-murid serta harus benar-benar sesuai dengan jadwal. Ini karena beberapa alasan penting. Pertama, tidak semua makanan di tempat itu halal. Itu sebabnya, Rian, Cindy dan Mr. Milo sudah memesan sebuah restoran umum di Nathan Road. Kedua, tempat yang ramai akan membuat para guru kesulitan mendata siswa bila tidak memperhatikan dengan baik. Ketiga, Temple Street juga merupakan sebuah tempat dengan sisi gelap di Hong Kong. Ada banyak bangunan yang menawarkan jasa plus-plus. Bahkan di depannya dipamerkan para gadis yang bersolek menor dan berdandan dengan pakaian yang begitu minim. Di salah satu pojok yang menonjol dan dapat dilihat oleh semua orang, ada sebuah tempat makan, tetapi di lantai atas dengan display kaca yang lebar, terlihat jelas sebuah toko yang menjual alat-alat permainan pasangan dewasa.
Mau tidak mau, para guru sungguh ekstra di dalam mengurusi murid-murid mereka ini.
Untuk sementara, Mr. Milo terpaksa menyimpan kamera DSLR-nya karena ia sudah terlalu sibuk memperhatikan kemana saja anak-anak yang berada di dalam kelompoknya pergi, bersama Laoshi Stephanie.
"Malam ini nggak pakai baju yang mirip lagi sama Rachel, Pak Milo?" tanya Laoshi Stephanie bercanda. Ia berdiri di samping Mr. Milo memperhatikan anak-anak yan sibuk menawar harga di pasar malam Hong Kong tersebut. Ia tersenyum sembari membetulkan letak kacamatanya.
Mr. Milo mendengus. "Ah, Laoshi ini. Cuma kebetulan aja. Nggak bisa terus-terusan sama lah," tukas Mr. Milo.
Laoshi Stephanie menarik nafas panjang seperti tidak mengacuhkan jawaban Mr. Milo. "Anak-anak perempuan sekarang cepet banget gedenya ya. Mereka kelihatan dewasa banget. Apalagi kalau nggak pakai seragam kayak gini. Saya nggak bisa bedakan apa mereka masih sekolah, kuliah, atau mungkin udah kerja. Lihat aja Silvia. Kalau pakai gaun, bisa-bisa dipikir udah dua puluhan tahun usianya. Kalau Vivian, yang paling cantik di Uni-National menurut saya, masih lah seperti anak kuliahan," ujar Laoshi Stephanie.
Mr. Milo tersenyum. "Cuma fisiknya kok, Laoshi. Mereka tetap saja masih remaja. Beberapa malah masih belum tujuh belas tahun. Mentalnya masih anak kecil," balas Mr. Milo.
Laoshi Stephani menatap Mr. Milo. "Tapi, ada juga yang pikirannya dewasa lho, Pak. Ada yang udah melihat dunia dengan cara berbeda."
Mr. Milo mengangguk kecil. Ia sebenarnya antara setuju dan tidak. Memang ada sisi lain dari murid-murid mereka itu yang menunjukkan bahwa mereka dapat berpikir secara dewasa. Namun, kadang-kadang kita salah memikirkan bahwa yang dimaksud dengan kedewasaan bukanlah pengetahuan mereka dan bagaimana mereka memberikan pendapat tentang sebuah fenomena. Melainkan juga bagaimana bersikap, berperilaku, menerima serta menghadapi sesuatu. Salah satu hal yang membedakan orang yang sudah dewasa dan yang belum adalah ketika mereka ditimpa masalah.
Sialnya, Mr. Milo kadang juga merasa ia masih belum dewasa ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan tertentu.
"Dewasa di dalam pikiran, mungkin berbeda dengan dewasa dalam tindakan, Laoshi. Kita yang sudah dewasa seperti ini saja masih sering kekanak-kanakan dalam mengambil keputusan. Apalagi mereka, yang walaupun telah terekspos dengan pengetahuan dan dunia melalui Internet, tetap saja belum pernah mengalami apa yang kita alami," jawab Mr. Milo. Raut wajahnya mengeras. Laoshi Stephanie tak tahu apa yang sesungguhnya ia pikirkan. Lucunya, Laoshi Stephanie malah tertawa kecil memperhatikan wajah rekan gurunya tersebut, yang bagi Laoshi dengan pikiran nakalnya ... tampan.
"Serius amat, Pak," respon Laoshi Stephanie.
"Lah, 'kan tadi Laoshi sendiri yang serius."
"Iya, iya ... Yang disukai cewek-cewek remaja dan bergulat dengan pikiran dan perasaannya untuk menerima cinta mereka atau nggak ...," ujar Laoshi Stephanie seratus persen bercanda. Ia tertawa puas setelah mengejek Mr. Milo.
Mr. Milo ikut tertawa. Namun, ada gelembung aneh di dalam dadanya setelah perkataan Laoshi Stephanie ini. Ia masih belum bisa menghilangkan pikiran yang menghantuinya sejak kemarin malam: sosok ramping dan tinggi Talulah yang mengenakan pakaian tidur sedang memeluknya erat. Ia merasa seperti seorang monster yang membiarkan kejadian itu terjadi.
Kata-kata Talulah terngiang-ngiang di telinganya, menderanya sampai sekarang, "Tidak boleh ada seorang murid pun yang lancang kepada gurunya, apalagi seorang murid perempuan yang menggoda guru laki-lakinya. Hubungan guru murid adalah salah dan tidak boleh terjadi."
"Wah, sekarang malah diam, Pak. Bercanda kok, Pak. Bercanda ...," ujar Laoshi Stephanie. "Lagian kalau memang Bapak juga suka sama salah satu dari murid kita, Rachel misalnya, tunggu aja lulus sebentar lagi. Nah, sudah dewasa dan nggak terikat dengan sekolah kita lagi, 'kan?" lanjut Laoshi Stephanie kemudian tertawa kembali.
"Apaan sih, Laoshi," respon Mr. Milo pendek. Ia menutupi kegundahan di dalam hatinya dengan ikut tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lini Masa
RomanceRachel Loh sepertinya sungguh suka dengan Mr. Milo. Bukan hanya suka, Sophia Chang, sang sahabat, mencurigai bahwa Rachel sedang jatuh cinta pada guru baru mata pelajaran history di sekolah mereka tersebut. Rachel sendiri tidak malu-malu mengakui ba...