Chemistry

4 2 0
                                    

"Enak ya kalau good-looking," ujar Stephanie ketika sambil lalu melewati meja Milo yang sedang makan siang.

Milo melirik ke arah datangnya suara. "Hah? Maksudnya apa, Laoshi?"

"Ya itu, enak jadi Bapak. Diomongin banyak murid cewek tuh," ujarnya lagi. Wajah Laoshi Stephanie yang mungil itu sumringah. Ia tersenyum simpul sembari duduk di samping Milo, kemudian dengan wajahnya menunjuk ke arah sekumpulan murid perempuan kelas 11 yang tertawa-tawa sembari mencuri-curi pandang ke arah meja Milo.

Milo tertawa. "Asal nih Laoshi. Nggak ada murid yang ngomongin saya."

"Ih, makanya, peka sedikit. Bapak itu adalah sebuah tema populer di kalangan ciwi-ciwi. Terutama di grade atas, Pak. Grade 11 sama 12."

"Tapi saya 'kan nggak good-looking, Laoshi," protes Milo.

Laoshi Stephanie tertawa. "Mau taruhan, apa kata anak-anak?"

"Lah, Laoshi yang good-looking, tapi malah nuduh orang lain."

"Mr. Milooo ..., apa maksud Bapak ... saya cantik? Bapak lagi menggoda saya ya?" mendadak Stephanie membeliakkan kedua matanya secara dramatis, menatap Milo dengan serius. "Ya ampun, Pak. Gimana kalau anak-anak kita yang cewek-cewek dengar kalau Mr. Milo sedang memuji dan menggoda saya," goda Laoshi Stephanie.

Milo menggaruk kepalanya. Ia terlihat kikuk dan tersenyum kecut. Raut wajahnya terlihat tidak enak. Laoshi Stephanie menahan tawanya yang bila tidak ditahan jelas akan terbahak-bahak.

"Bercanda, Paak. Jangan dimasukkan ke hati. Kita 'kan satu tim nanti di Hong Kong. Bisa repot kalau Pak Milo marah sama saya," ujar Laoshi Stephanie.

Milo masih meringis, tapi tersenyum lebar.

"Saya nggak masukin hati kok, Laoshi. Saya tahu Laoshi bercanda. Yang saya khawatirkan Laoshi percaya kata-kata saya tadi soal Laosh itu good looking," balas Milo.

Laoshi Stephanie berhenti tersenyum. Ia memandang Milo intens. "Jadi, maksud Bapak tadi, saya sebenarnya nggak cantik?"

Milo tersenyum lebar. Ia tidak menjawabnya, membuat Laoshi Stephanie sebal karena tak mendapatkan respon. Sebaliknya, Milo puas berhasil menyerang balik Laoshi Stephanie.

"Jangan dimasukin hati, Laoshi. Kita nanti jadi satu tim di Hong Kong lho ya. Harus dapat chemistry-nya."

Laoshi Stephanie meresponnya lagi dengan tawa. Sepertinya mereka memang sudah mendapatkan chemistry itu dengan cepat.

"Tapi beneren deh, Pak. Bapak tahu 'kan kalau Uni-National dikenal dengan murid-murid ceweknya yang cantik-cantik?"

Milo mengernyit. "Mana saya tahu hal-hal kayak gituan."

Laoshi Stephanie menghela nafas. "Gini lho, Pak. Hal-hal sederhana semacam itu sebenarnya pengetahuan umum dan penting juga buat guru. Jangan salah paham ya, bukan berarti jadi guru harus gatel atau genit gitu. Cuma kita 'kan harus tahu dengan fenomena yang ada di lingkungan sekolah, murid-murid kita sendiri, atau bagaimana citra sekolah kita di luar sana. Contoh kecilnya ya, Pak. Silvia Johnson itu murid paling populer di sekolah kita. Dia cantik, wajahnya bule banget, badannya tinggi langsing, dan dia juga populer di sosial media. Nah, kadang-kadang karena saking populernya, sifatnya terpengaruh. Kadang songong tu anak, angkuh dan terlalu percaya diri. Pengetahuan semacam ini dapat kita pakai untuk menghadapi murid. Tidak hanya dalam menyampaikan materi, tapi juga menghadapi perilaku mereka."

Milo mengangguk singkat. "I see. Selama ini saya berpikir kalau menjadi guru harus menjauhkan diri dari hal-hal pribadi semacam itu. saya tidak terlalu tahu soal pribadi masing-masing murid, karena merasa harus bersikap profesional."

"Ya, itu nggak salah juga sih, Pak. Buktinya, Bapak berhasil menjadi guru yang hebat sampai bisa diterima di sekolah ini. Berarti pengalaman Bapak di sekolah sebelumnya sudah membuktikan kalaU cara mengajar Bapak hebat. Cuma, kita perlu berkembang juga 'kan Pak. Mengetahui murid dengan lebih baik, sama sekali tidak berarti tidak profesional. Memiliki pendapat khusus terhadap dan tentang seorang murid normal saja kok."

"Selama kita tidak memiliki perlakuan khusus dan istemewa terhadap mereka?" potong Milo.

"Ya dan tidak. Bapak sepertinya memuja profesionalisme ya?" ujar Laoshi Stephanie sembari tertawa renyah. "Kita kadang-kadang perlu tindakan istimewa terhadap murid lho, Pak. Bagaimana bila murid memerlukan dukungan moral. Mereka bisa saja kurang percaya diri, ada masalah di rumah, dan sebagainya. Atau, bagaimana bila seorang murid meminta perhatian terlalu banyak dari guru atau teman-temannya. Makanya dia cenderung ribut di kelas dan banyak gaya. Maka, harus ada perlakukan khusus untu menyelesaikan masalah itu 'kan?"

Milo tersadar bahwa percakapannya dengan Laoshi Stephanie ini memberikan banyak percerahan, walau awalnya dimulai dengan tanpa tujuan. Selama ini ternyata menjadi guru yang memiliki pengetahuan yang luas serta teknik mengajar yang tinggi tidak cukup. Ia tetap harus memperhatikan banyal hal-hal lain, termasuk memperhatikan murid-muridnya. Maka, Milo mengangguk-angguk paham.

"Jadi, menurut Bapak, siapa nih murid cewek kita yang paling cantik?"

Milo tersentak. "Lah, kok malah bahas itu?"

Laoshi Stephanie tertawa kembali, senang berhasil menggoda dan mengejek rekannya tersebut.

"Eh, tapi iya 'kan, Pak. Sadar nggak sih anak-anak murid kita yang cewek-cewek cantik-cantik semua disini?" tambah Laoshi Stephanie.

"Iya. Jangankan murid ceweknya, Lasohi-nya aja cantik, kok," ujar Milo sembari menunjukkan wajah menggoda.

"Ih, ih, ih ... terang-terangan menggoda saya ya, Bapak. Padahal tadi katanya saya nggak good looking," balas Laoshi Stephanie kembali membalas godaan Milo berharap Milo akan kembali malu dan kikuk.

"Iya, saya serius kok. Laoshi Stephanie 'kan memang cantik."

Deg! Mendadak Laoshi Stephanie bungkan seribu bahasa. Kini ia yang merasa kikuk. Ia langsung menyembunyikan wajahnya dengan menunduk, khawatir Milo melihat perubahan emosi dari wajahnya. Awalnya ia sengaja menggoda Milo, tapi ternyata digoda balik bukan hal yang mudah ia terima.

"Ya iyalah Laoshi cantik, masak ganteng," ujar Milo sembari tertawa puas.

Laoshi Stephanie mengangkat wajahnya. "Ih, kuno sekali leluconnya, Pak."

"Saya 'kan bapak-bapak," balas Milo.

Laoshi Stephanie menghembuskan nafasnya cepat. Ia tak menyangka bahwa godaan Milo tadi bisa membuatnya salah tingkah. Kini ia benar-benar memikirkan apa memang dirinya cantik, atau sesungguhnya Milo hanya bercanda? Masalahnya, apa pengaruhnya bila Milo menganggap ia cantik atau tidak. Beberapa menit yang lalu ia tak memikirkan hal tersebut. Mengapa sekarang menjadi berbeda?

Bel masuk sudah terdengar. Milo juga sudah menyelesaikan makan siangnya. Milo dan Laoshi Stephanie sedang tidak tergesa-gesa karena keduanya tidak memiliki jadwal kelas yang diampu setelah ini. Siswi-siswi kelas 11 yang tadi berkerumun dan tertawa-tawa sembari melirik ke arah Milo melewati meja Milo dan Lasohi Stephanie, menyapa keduanya sambi tertawa-tawa geli ketika berlalu.

Laoshi Stephanie memandang ke arah Milo dan mengangkat kedua alisnya cepat, menegaskan kembali pernyataannya sebelumnya tentang murid-murid perempuan mereka tersebut. Milo hanya tersenyum kecut dan menggeleng-geleng tak percaya.

"Jadi, siapa yang paling cantik?" tanya Laoshi Stephanie kembali menggoda. Pertanyaan itu memang merujuk kepada murid-murid perempuan Uni-National, tetapi entah mengapa, Laoshi Stephanie berharap jawaban itu adalah dirinya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang