Batu

7 2 0
                                    

Hari Sabtu pagi-pagi sekali Rachel sudah bangun. Ia mencuci muka dan bahkan telah sikat gigi. Wajahnya luar biasa cerah, ceria dan penuh semangat. Jelas karena hari ini adalah saatnya ia untuk kembali bisa menemui sang pujaan hati di taman kecil nan asri di area kompleks ruko dan pertokoan tempat biasa sang mama merawat diri.

Namun, bukan itu langkah pertama dan utama. Ia harus memastikan sang mama untuk kembali berencana ke salon. Kalau pun tidak, ia harus mampu memaksanya.

Sebelumnya, Rachel sudah ngebut membaca Animal Farm yang tak disangka-sangka hanya dalam dua hari telah mampu ia selesaikan. Dengan bangganya ia pamerkan kepada Sophia. Apalagi novel itu ia baca habis tepat sebelum akhir minggu dimana ia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Mr. Milo dan memiliki topik pembicaraan yang tepat.

"Well done, Rach, for a beginner," balas Sophia melalui chatnya.

"Excuse me, lady. For a beginner? Yang bener aja lo. Gue selesai baca dalam dua hari lo ya sof," protes Rachel.

Walau melalui chat, Rachel mampu melihat mimik wajah menyebalkan sahabatnya itu ketika tidak merasa excited dengan sesuatu. Padahal menurutnya, membaca sebuah novel dalam hitungan hari dapat dikategorikan sebuah hal yang istimewa dan exceptional.

"Itu 'kan animal farm hon. Gue bacanya kurang dari tiga jam kok. Tipis gitu."

Kini Rachel yang menganga. Bener-bener ya tu anak, batin Rachel.

Namun yang jelas persiapan pertama sudah usai: membaca Animal Farm sampai tuntas. Masalah Circe, itu bisa dibahas nanti sekalian bersama Mr. Milo.

Rachel tersipu malu sendiri.

Memaksa sang mama adalah hal selanjutnya. Ini termasuk hal yang utama. Karena percuma saja kalau ia tidak memiliki alasan yang kuat untuk ke taman, bisa runyam semuanya.

Maka ketika wajah manisnya muncul di dapur pagi itu, sang mama langsung mengernyit. "Ada apa gerangan sang putri kerajaan sudah bangun sepagi ini di hari Sabtu? Ada upacara kerajaan atau kenegaraan kah?" ujar sang mama.

"Ma, nggak ada rencana ke salon lagi hari ini apa?" ujar Rachel dengan suara manja.

Papanya, yang duduk di balik meja sembari mengunyah sandwich untuk sarapan yang dibuatkan sang istri memandang tanpa ekspresi ke arah anak perempuannya itu.

"Eh, Papa. Lagi sarapan ya Pa?" sapa Rachel sembari meringis tidak jelas.

Papanya menggeleng, kemudian menjawab asal, "Nggak, lagi nukang nih, Rach."

Rachel sudah biasa dengan jawaban asal sang papa. Ia masih fokus pada misi utamanya: sang mama.

"Kamu mau ikutan nyalon? Pergi aja lah sendiri. Masak Mama tiap minggu kesana."

"Yah, Mama. Kesana yuk. Aku nggak ada rencana buat nyalon. Aku temenin aja deh ya. Aku supirin deh. Ntar kayak biasa. Aku nongkrong di sekitar situ. Mama facial kek, massage sekalian juga boleh."

Sang mama tidak langsung membalas, kini malah menatap ke arah suaminya. Sifat ini jelas-jelas menurun dari sang suami: suka sekali memaksa bila ada maunya, dan tidak akan pernah menyerah.

Jonathan, papa Rachel, mengedikkan bahunya dan membalas tatapan Vanessa, istri, dengan pandangan tanpa rasa bersalah.

Istrinya tersebut sadar bahwa sifat memaksa ini adalah salah satu kekuatan dalam diri sang suami. Ia kerap melihatnya sebagai bagian dari keteguhan hati, sifat tak mudah putus asa dan pantang menyerah, berkemauan besar dan memiliki jiwa yang kuat. Namun, di sisi yang lain, Jonathan dan Rachel memiliki sifat keras hati dan kadang-kadang kepala batu. Kalau sudah ada mau, mana mungkin dilarang apalagi dicegah.

Sebagai seorang pemimpin, baik di dalam rumah tangga maupun di dalam bisnisnya, sifat ini tentu sangat diperlukan. Terutama ketika menghadapi beragam tantangan dan hal-hal yang memerlukan keputusan penting.

Meski baik Jonathan dan Rachel tidak selalu keras hati seperti ini, akan tetapi ketika sudah muncul maunya, sepertinya mustahil untuk dicegah.

"Why, Rachel? Why? Kenapa mama harus ke salon lagi sih minggu ini? Lagian kalau mau pergi, pergi aja sendiri ah."

"Mamaaa, gak boleh egois ih. Minggu lalu aku lagi tiduran di kamar, trus mama maksa aku anterin. Padahal mama 'kan bisa nyetir sendiri."

"Tuh 'kan, Pa. Anak gadismu itu. Hitung-hitungan sama mamanya. Mama udah bilang, gak enak ke salon sendirian. Suka digodain mas-mas gitu. Diliatin kayak Mama masih gadis aja."

"Eh, emang gitu, Ma? Siapa yang suka liatin Mama?" kali ini papa Rachel tak bisa menahan diri untuk tidak ikut nimbrung.

"Ih, Mama. Tapi udah aku temenin minggu lalu kok. Coba deh Papa bujuk tu Mama biar mau ke salon lagi. Biar tetep cantik katanya," ujar Rachel.

"Tapi kalau makin cantik, nanti makin digodain dong, Pa," balas sang mama dengan wajah dibuat-buat imut.

Walau menyebalkan, Rachel harus mengakui bahwa mamanya memang masih sangat cantik. Tidak mustahil orang bisa salah mengira sang mama sebagai kakaknya.

"Kamu memangnya mau kemana sih, Rach? Apa nggak bisa pergi sendiri? Apa sama temen-temen kamu tuh, Vivi, Dwi apa Sofi ... Siapa, Sophia ya, kayak biasanya?" tanya sang papa.

"Aku pokoknya ada rencana Pa. Maunya sama Mama. Maksudnya, Mama nggak perlu ikutan kemana aku pergi, cuma ke salon aja kayak biasanya. Aku ada kegiatan di sekitar situ."

Kalau sudah begini, mana mungkin ada tawar-menawar lagi. Rachel tidak akan mundur meminta sang mama untuk pergi ke salon, dan ia pun tak akan menjelaskan rencana apapun yang ia punyai itu bila ia tidak mau. Seperti Jonathan, sang papa, Rachel tidak selalu seperti ini. Biasanya dia bukan anak yang keras kepala, malah cenderung enak diajak komunikasi dan negosiasi. Namun, ya, bila sudah punya keinginan, Rachel berubah menjadi batu.

Sang mama menatap pasrah ke arah anak gadisnya itu, kemudian ke arah suaminya. "Mama tapi nggak mau di salon sendirian, Pa. Kalau ada yang godain ...."

"Nggak boleh ada yang godain istri Papa yang super menawan nan cantik jelita seperti ini. Papa ikutan deh. Rachel, Papa yang bawa mobil deh. Terus Papa temenin Mama ke salon. Nanti kalau Mama sudah selesai, atau kamu yang urusan duluan selesai, langsung chat aja, ya."

Rachel menjerit kegirangan, tetapi ia menahan diri agar tak terlihat terlalu berlebihan. Ia tak mau kedua orang tuanya tahu bahwa ia sedang naksir berat dengan gurunya sendiri. Dan rencana ini disusun untuk bertemu sang pujaan hati.

Rachel berlari pelan ke kamarnya kembali untuk melaksanakan langkah selanjutnya: memilih pakaian.

Ini bukan hal sepele. Rachel harus cantik di depan Mr. Milo hari ini. Ia tidak mau menjadi gembel dengan pakaian apa adanya, bahkan tanpa mandi seperti minggu lalu. Di sisi yang lain, ia juga tidak mau berlebihan, apalagi sampai berdandan segala seperti mau prom night saja. Ia harus terlihat alami, sekaligus mempesona.

Ah, kepalaku pusing, pikir Rachel.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang