Fallin' in Love

11 3 0
                                    

Sejarah bukan semata-mata perihal menghapal. Sejarah juga adalah mengenai perspektif, penggalian nilai-nilai yang dianut masyarakat, bahkan secara praktis mempelajari sejarah membantu kita untuk mengetahui dengan lebih baik siapa diri kita serta siapa dan bagaimana orang lain.

Terdengar filosofis, tapi sumpah mati Rachel paham ini.

Nampaknya konsentrasi penuh lah yang membuat seorang pelajar mampu menangkap materi apapun yang diberikan kepadanya. Konsentrasi penuh juga dihasilkan dari sumber pemberi materi. Kalau seorang pemberi materi dapat menarik perhatian sehingga seluruh murid bisa terfokus kepadanya, Rachel pikir, tidak akan sulit untuk memahami pelajaran.

Mr. Milo yang tampan, pintar, bahkan lucu, sudah barang tentu memberikan efek luar biasa yang dapat membantu jalannya pelajaran.

Dalam pertemuan ketiga di dalam kelas ini, Rachel merasa sudah mampu memahami beragam konsep sejarah, termasuk argumentasi dan pembuktian. Ia tahu proses terstruktur dalam menganalisis sebuah sumber sejarah, menginterpretasikan berbagai kejadian, mendefinisikan berbagai isu, serta menyusun lini masa secara runut dan akur.

Ah, sebenarnya Rachel berlebihan. Ia baru diajar Mr. Milo untuk ketiga kalinya bulan ini. Materi-materi yang disampaikan guru itu baru kulit luarnya. Ia belum pada masa menyusun esai sejarah, menjawab pertanyaan-pertanyaan exam A Level, atau berargumentasi sedemikian rupa.

Mungkin itu sebenarnya teori subyektif Rachel sendiri. Berhubung ia jelas memiliki perasaan tertentu kepada Mr. Milo. Jadi, apa saja yang ada pada diri guru baru itu baik belaka. Apapun itu, toh bila tidak sekarang, Rachel yakin tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk memiliki kemampuan yang baik di mata pelajaran ini.

Rachel dan Dwi yang duduk bersebelahan sama-sama menopangkan dagu mereka di atas meja. Wajah keduanya terlihat sekali sedang menikmati pemandangan yang dihamparkan di depan mereka. Sekali dua Rachel menghela nafas yang panjang.

Suara Mr. Milo lantang, lancar tanpa hambatan, dan menyeluruh. Ada aura kehangatan disana, sekaligus semacam magnet yang membuat para siswa mendengar apapun yang disampaikan. Nadanya naik turun, kadang meledak sedikit, kemudian menciptakan gelak tawa. Mr. Milo tidak membiarkan murid-murid untuk mendengar saja materi yang ia sampaikan. Ia membuatnya sangat interaktif. Meski sejatinya menurut Rachel Mr. Milo bukan tipe guru yang memberikan banyak aktifitas, tetapi tetap saja ia memiliki cara yang unik untuk mengomunikasikan tujuan pembelajarannya.

Untuk hal ini Rachel lega. Ia tidak terlalu senang dengan aktifitas kelas. Apalagi kelas 12 sepertinya ini, lebih membutuhkan kegiatan praktis agar kelak mampu mengerjakan beragam tes dan ujian masuk universitas atau perguruan tinggi lainnya yang ia inginkan.

Tak lama Mr. Milo mendekat ke arah Rachel.

Sudah menjadi kebiasaan guru sejarah itu untuk mendekat ke murid yang mencoba memberikan atau menjawab pertanyaan. Kali ini Samuel, teman sekelas Rachel yang duduk di belakangnya, memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan Mr. Milo. Otomatis Mr. Milo berjalan ke arah Samuel dengan melewati Rachel.

Jantung gadis itu kembali berdegub kencang. Namun, Rachel kali ini tidak mau kalah dan mempermalukan dirinya lagi. Ia memaksakan mentalitasnya kali ini. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Akan aneh rasanya bila wajahnya terus-terusan memerah setiap Mr. Milo mendekat.

Ah, tapi Mr. Milo memang sungguh memikat. Rachel kembali menyaksikan keindahan itu dari dekat. Ia ingat ketika Dwi mengatakan dua hari yang lalu bahwa Mr. Milo sudah mencukur kumis dan jenggotnya. Ia tak sempat menyaksikannya, karena kini facial hair itu sudah tumbuh kembali. Namun, sepertinya tidak ada bedanya. Malah mungkin Rachel sepertinya lebih senang melihat versi Mr. Milo yang ini.

Kerutan hangat di wajah Mr. Milo terlihat jelas di samping Rachel. Gadis itu tak malu-malu lagi menatap wajah sang pujaan yang berdiri di sampingnya, mendengarkan jawaban dan Samuel.

Tak lama, Mr. Milo berserobok pandang dengan Rachel ketika berbalik arah dan berjalan kembali ke depan kelas. Sengatan listrik menyerang permukaan kulit Rachel dan kembali membuatnya memerah.

Hanya saja kali ini Rachel nekad setengah mati. Ia melawan rasa itu dan terus memandang ke arah Mr. Milo, tak ingin melewatkan sedikit pun kesempatan, mereguk keindahannya.

Setelah kelas berakhir, Rachel dan Dwi menjerit-jerit kegirangan. Seperti sehabis menonton sebuah pertunjukan yang maha menghibur.

Tentu saja selain kedua gadis ini, beberapa anak perempuan yang lain juga sama excitednya. Bedanya, Rachel selalu merasa memiliki perasaan yang melebihi siapapun dibanding gadis-gadis lain, termasuk Vivian atau Dwi, para sahabatnya sendiri.

Rachel bahkan begitu terpesona dengan cara Mr. Milo berpakaian. Kemeja lengan pendek yang dimasukkan ke dalam celana panjangnya terlihat pas di tubuh. Tubuh guru muda itu tidak kekar dan berotot sedemikian rupa, juga tidak terlalu ramping. Pas saja. Caranya berjalan, memasukkan kedua tangan ke dalam sakunya terlihat elegan sekaligus santai. Bahkan Rachel menganggap Mr. Milo tidak fashionable. Busana yang ia kenakan dalam keseharian di tempat kerjanya ini cenderung biasa saja, normal dan pada tempatnya. Tidak ada warna yang menonjol, tidak ada jenis kemeja atau celana khusus, tidak ada pula perlakuan istimewa pada pakaiannya.

Namun, itulah yang membuat Rachel blingsatan.

Vivian sendiri mengatakan bahwa ia gemas untuk bisa menyisir rambut Mr. Milo yang kerap berantakan, atau membenahi caranya berpakaian. Sedangkan Rachel malah sebaliknya. Rambut Mr. Milo yang kerap acak-acakan, berdiri di bagian belakang setiap ia menggaruk kepalanya, adalah pesona itu sendiri.

Rachel suka sekali dengan Mr. Milo.

"Are you sure, you're not fallin' in love, my dear?" ujar Sophia dari balik kacamatanya, menatap tajam ke arah Rachel pada saat geng mereka seperti biasa, berkumpul di meja taman kecil di samping kantin sekolah.

"Jadi, maksudnya mentang-mantang you satu-satunya yang punya status pacaran disini bisa dianggap senior? Kita semua cinta Mr. Milo, Soph," respon Vivian diikuti oleh tawa genitnya dan Dwi.

Rachel merasakan kedua pipinya perlahan memerah. Tapi ia balas menatap Sophia. "Kita semua suka dengan Mr. Milo, kayak apa yang dibilangin Vivi. Lo aja yang gak ikutan," balas Rachel.

Sophia terlihat menyebalkan dengan wajah dinginnya itu. Ia menghela nafas. "Gue paham lo anaknya kayak apa, Rach. Gue tahu lo sedang jatuh cinta. Kalau pun nggak sekarang, sebentar lagi." Kalimat ini diucapkan Sophia perlahan, lirih. Ia terlihat malas mengikutsertakan Vivian dan Dwi yang masih tertawa-tawa tidak jelas.

Senyuman Rachel perlahan menghilang. Ia menutupinya dengan menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.

Jatuh cinta.

Fallin' in love.

Kata-kata itu terngiang-ngiang di dalam pikirannya.

Ia tak tahu harus merespon bagaimana. Yang jelas ia memang sungguh suka dengan Mr. Milo. Sungguh suka. Ia tak malu untuk mengatakannya berkali-kali tanpa jemu. Kalau rasa sukanya yang sangat diinterpretasikan dan didefiniskan sebagai rasa cinta oleh Sophia, so be it.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang