Guru

9 3 0
                                    

Milo tidak pernah merasa dirinya menarik sama sekali, sepanjang hidupnya, apalagi tampan atau memesona. Makanya, aneh baginya jika beberapa murid perempuan berusaha menarik perhatiannya dengan sengaja dan cara yang mencolok. Namun, ia paham dan tak heran. Ia memiliki status guru baru di sekolah tersebut. Sudah pasti setiap pasang mata memerhatikannya.

Ia kini berusia duapuluh enam tahun sekarang. Untuk hitungan seseorang yang berprofesi sebagai guru, tantu ia masih terbilang muda. Meski, kalau mau dihitung, ia sudah mengajar secara profesional sejak masih duduk di bangku kuliah. Ia sudah berpengalaman mengajar selama lebih dari lima tahun.

Anak-anak perempuan di sekolah Uni-National tentu tak mau tahu dengan hal ini. Intinya, ada seorang guru cowok muda baru yang mengajar di sekolah mereka. Padahal, Uni-National tidak mungkin menerima seorang guru yang latar belakang pendidikan, pengalaman dan kemampuannya biasa saja. Untuk hal ini, Milo mengakui sangat bangga akan segala prestasinya sehingga bisa diterima di sekolah internasional yang paling elit di kota ini.

Untuk usia duapuluh enam tahun, Milo sudah pernah mengajar di dua sekolah besar dan bergengsi lainnya sebelum berlabuh di Uni-National. Ia juga tidak hanya bagus di bidang mata pelajaran yang ia ampu, yaitu sejarah, tetapi memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik, serta ilmu sosial yang berhubungan dengan budaya serta pandangan hidup masyarakat.

Milo menggelengkan kepalanya geli ketika mengingat tingkah laku murid-murid perempuannya.

Misalnya saja Silvia Johnson yang baru saja mengikuti akun Instagramnya. Milo tidak mengajar kelas science gadis itu. Namun, siapa yang tak kenal Silvia? Gadis blasteran itu tinggi semampai, ramping, fashionable, dan yang jelas, populer.

Milo belum berencana untuk meresponnya dengan kembali mengikutinya di Instagram. Ia tak tahu bagaimana perasaan cewek sekolah yang populer itu dengan tidak diacuhkan olehnya. Milo sengaja, tapi bukan untuk membuat Silvia kesal. Ia hanya yakin bahwa Silvia tidak memerlukan dirinya untuk menambahi jumlah pengikutnya yang sudah melampaui tigapuluh ribu orang itu.

Ada juga Vivian Joanne, murid science lainnya, yang sama populernya dengan Silvia. Lihat saja jumlah follower Instagramnya yang bersaing dengan Silvia, dan gadis itu sama menariknya pula. Milo ingat Vivian sebagai murid Uni-National yang terlihat selalu bersama ketiga temannya yang mungkin merupakan satu geng persahabatan: Sophia yang berwajah galak, Dwi yang manis dan sumringah, serta satu anak perempuan lain bernama Rachel yang kerap terlihat memerah kulit dan wajahnya.

Dwi dan Rachel cukup dikenal Milo. Keduanya ada di dalam kelas sejarahnya. Keduanya juga sama-sama mengikuti akun Instagramnya. Milo malah agak tertawa geli bila mengingat Rachel yang perubahan emosinya terlihat jelas dari wajah, terutama pipi dan bibirnya yang memerah parah bila beradu pandang dengannya. Ia tak tahu apa yang terjadi pada gadis itu, tetapi Milo tak pernah mau memperpanjang apalagi sengaja mengganggunya.

Sampai saat ini ia hanya ber-mutual-an dengan Talulah Claire Smith. Milo merasa hanya Talulah yang benar-benar memiliki semangat murni belajar mata pelajaran sejarah. Melihat record sebelumnya, Talulah memang telah lama berprestasi di bidang sejarah. Itulah sebabnya tawaran pertemanan Talulah disambut baik olehnya. Talulah sendiri jelas-jelas meminta Milo untuk mengikuti akunnya balik. Milo merasa cukup senang dapat membantu siswi berprestasi yang masih tetap tertarik pada bidang ilmu ini.

Milo tak tertarik kepada cewek-cewek yang masih merupakan anak-anak sekolah, sangat terutama bila mereka adalah murid-muridnya sendiri. Bukan berarti gadis-gadis SMA itu tak menarik, sebaliknya malahan. Siapa yang bisa menyangkal pesona Silvia, Vivian dan Talulah? Bahkan bila boleh jujur, Milo merasa Rachel adalah yang paling menarik diantara mereka semua. Wajahnya yang bersemu merah menambah pesona keremajaannya.

Hanya saja, selain tidak profesional sebagai seorang guru, Milo menganggap gadis-gadis sekolah itu masih terlalu kecil atau terlalu muda. Mereka belum mengenal kesungguhan dalam hubungan percintaan. Anggap saja benar beberapa dari mereka sungguh suka dirinya, tetapi itu lebih karena sekadar perasaan sementara dan tidak serius saja.

Lagipula, apa jadinya kalau ia menanggapi dengan sungguh-sungguh perhatian salah satu saja dari muridnya?

Milo menggeleng pelan kembali dan tersenyum.

Ia tanpa sengaja men-scroll layar gawai di akun Instagramnya dan kembali menemukan foto seorang perempuan yang ia ambil fotonya dari sisi samping beberapa waktu yang lalu.

Milo menghela nafas panjang. Ia mungkin sudah mampu melanjutkan hidup, tetapi kenangan atas kekasihnya yang telah tiada itu tak akan hilang. Ia bahkan merasa mungkin akan sulit untuk kembali jatuh cinta dalam waktu dekat. Bisa saja tidak mungkin akan ada cinta sedalam ini lagi.

Mendadak Milo tertawa sendiri. Sangatlah ironis bila ia tak percaya bahwa gadis-gadis muda, seumuran murid-murid SMA belum dapat merasakan dan memiliki rasa cinta yang dalam nan sejati, sedangkan ia sendiri telah jatuh cinta setengah mati pada mendiang kekasihnya itu pada masa ia duduk di bangku SMA.

Ah, tapi itu adalah kasus khusus. Satu dibanding seribu, pikirnya.

Terdengar bunyi nada aplikasi chat WhatsApp di gawainya.

Dari Talulah.

"Sir. Aku punya ide untuk menulis real impact in modern times dari Korean war."

Milo tersenyum. Gadis itu memiliki semangat yang extraordinary.

"Well, that's great. I'd like to know more about it. Boleh saya lihat outline atau ide dasarnya. Kirim saja link google docsnya ke saya, ya. Great job, Talulah," balas Milo.

Keduanya sedang membicarakan rencana judul dan tema esai yang dijadikan project mata pelajaran sejarah di kelasnya. Mungkin Talulah bukan satu-satunya yang tertarik dengan pelajaran sejarah yang Milo ampu, tetapi semangatnya memang hanya ia yang memilikinya. Milo merasa perlu untuk memfasilitasi muridnya itu.

Di saat yang sama, ia juga sedang berusaha untuk memberikan perhatian yang lebih kepada siswa-siswa yang berperilaku sebaliknya. Rita Lim, misalnya. Anak perempuan itu sama sekali tak memberikan respon positif pada kelasnya, padahal, Rita juga tidak pernah mengabaikan semua tugas yang ia berikan. Namun, sikap diamnya di kelas sedikit banyak mempengaruhi atmosfir belajar siswa lain.

Belum lagi siswa-siswa bandel yang sepertinya bertugas untuk mengganggu proses belajar mengajarnya. Syukurnya masih ada murid-murid seperti Dwi dan Rachel yang memerhatikannya secara penuh. Milo tak peduli apakah bila mereka hanya sekadar suka memerhatikannya, bukan kepada pelajarannya. Yang penting sikap mereka dapat membuat ia bisa leluasa memberikan instruksi atau memaparkan materi.

Begitulah tanggung jawab seorang guru, pikir Milo. Ia mengakui bahwa ia masih muda serta masih memerlukan banyak pengalaman.

Bunyi nada notifikasi kembali terdengar.

"Yes, Sir," balas Talulah sembari menambahkan emoticon seseorang yang sedang memberikan hormat.

Milo tersenyum membayangkan wajah Talulah dengan sepasang matanya yang bersinar bersemangat.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang