Admiralty

3 1 0
                                    

Rachel, Vivian, Dwi dan Sophia tak bisa menahan keceriaan mereka, meski tak sedikit dari mereka sering bepergian ke luar negeri. Namun, berjalan bersama-sama teman-teman tidak hanya sahabat, melainkan satu sekolah, membuat suasana menjadi begitu seru. Tak habis-habisnya mereka mengambil foto selfie atau bergantian memotret.

Setelah makan siang di sebuah restoran di Wong Chuk Hang, mereka meneruskan perjalanan ke tempat selanjutnya, yaitu Tamar Park. Para guru harus mampu benar-benar mengatur para siswa yang jumlahnya puluhan itu ketika mereka memasuki stasiun MTR di Wong Chuk Hang. Dari sana, setiap siswa menggunakan kartu Octopus mereka untuk membayar tiket masuk. Sedangkan yang tidak memiliki kartu, bisa membayar langsung di mesin pembayaran otomatis, atau meminta bantuan di loket petugas untuk mendapatkan single journey ticket.

Rute yang mereka ambil untuk ke Tamar Park adalah dengan sekali jalan menggunakan MTR. Dari stasiun MTR Wong Chuk Hang, mereka menuju langsung ke Admiralty MTR Station Exit A. Pengguna kartu Octopus, harga tiket memang lebih beberapa dollar Hong Kong dibanding mereka yang langsung membeli kartu sekali jalan secara langsung melalui mesin otomatis atau petugas MTR.

Mr. Matthew yang bertubuh besar dibanding guru-guru yang lain harus dengan cekatan meminta para siswa di kelompoknya untuk masuk ke dalam MTR dengan cepat. Tidak ada yang mau sampai harus tercecer atau tertinggal di stasiun dan terpisah dengan teman-temannya yang lain. Begitu juga Rian yang sedari awal sudah benar-benar mewanti-wanti agar para siswa tidak jauh-jauh, apalagi coba-coba bepergian kesana-kemari tanpa tahu dimana lokasi kelompoknya.

Sekali lagi, tidak ada insiden aneh-aneh yang terjadi di rombongan ini. Semua murid sampai di stasiun Admiralty yang jalan keluarnya langsung menuju ke sebuah mall, yaitu Pacific Place. Para siswa memohon para guru untuk pergi ke mall barang 30 menit untuk membeli makanan, cemilan dan minuman sembari nanti mereka berjalan kaki kembali melalui jembatan penyebrangan atau footbridge ke Tamar Park.

"Bapak mau beli apa?" tanya Laoshi Stephanie kepada Mr. Milo ketika mereka telah sampai di Pacific Place dan menggunakan eskalator turun ke Great Food Hall, yaitu surga makanan yang rata-rata merupakan produk impor.

"Kok saya mendadak pengin beli sandwich kalkun ya. Tapi gede banget porsinya, Laoshi."

"Kita beli satu aja, dibagi dua. Lagian, kita sudah makan tadi," jawab Laoshi Stephanie.

Mr. Milo mengangguk cepat. Air liurnya seperti sudah menetes saja melihat deretan sandwich dan burger beragam rasa. Anak-anak murid sudah berkeliaran mencari snack, atau memesan makanan beragam negara seperti sushi, kebab, sampai mie instan. Di dalam Great Food Hall, di setiap sudut, makanan yang mengggah selera dari beragam belahan dunia menjadi pameran. Bagi yang suka sayuran atau makanan vegan, Brocolli Gratin HKD 19 per 100 gram akan bersaing dengan Roasted Zucchini, Roasted Pumpkin, Stir Fried Brussels, Mixed Mushrooms, Roasted Eggplant sampai Roasted Vegetables. Namun, para siswa juga harus hati-hati dengan daging-daging impor non-halal sepeti Roast Austria Crisp Pork Belly yang berharga HKD 35 per 100 gram, atau Roasted German Style Pork Knuckle yang dihargai HKD 155 per piece, bersandingan dengan US Angus Beef Striploin HKD 68 per 100 gram.

Akhirnya, satu sandwich daging kalkun besar, dengan dua sup ayam dalam cup, dan dua soda Dr. Pepper, Mr. Milo dan Laoshi Stephani menghabiskan sekitar HKD 80.0, atau setara dengan Rp. 160.000, yang mana cukup normal. Toh, Laoshi Stephanie tidak bisa menghabiskan sandwichnya walau sudah dibagi berdua dengan Mr. Milo.

"Laoshi lupa ya, kalau sandwich itu makanan pokok diluar Indonesia. Bukan snack. Biar kata separuh porsi, tetap saja mengenyangkan," ujar Mr. Milo.

Laoshi Stephanie tertawa. "Ih, emangnya punya Bapak habis?"

"Ini, habis, kok."

"Lapar, apa doyan, Pak? Tadi 'kan padahal udah makan."

"Lapar mata juga. Ngiler lihat sandwich beragam jenis. Kalau perut dan uang saya cukup, saya mau coba satu-satu," balas Mr. Milo tertawa. Rombongan guru dan murid sekolah Uni-National ini sungguh menghabiskan 30 menit saja dan sudah mulai berjalan keluar mall, untuk meniti jembatan penyebrangan menuju ke Tamar Park.

"Luar biasa. Bapak kuat makannya, tapi nggak kelihatan. Nggak gendut badannya, nggak buncit juga perutnya," ujar Laoshi Stephanie sembari tertawa. "Kalau saya punya selera macam Bapak, udah nggak tahu deh. Mungkin udah kayak sapi badan saya," lanjut Laoshi Stephanie. Tawanya semakin kencang karena direspon tawa juga oleh Mr. Milo.

Angin kencang yang membawa serta hawa sejuk membuat para siswa mengencangkan kancing dan zipper jaket mereka. sekali lagi, mereka sungguh tak tergesa-gesa. Bagaimanapun, perjalanan ini adalah sebuah bagian dari hal yang menyenangkan.

Jembatan menuju ke Tamar Park, terdiri atas dua bagian yang luas dengan atap kaca dan ruang terbuka. Dari jembatan ini saja, mereka dapat melihat gedung-gedung pencakar langit di Hong Kong, termasuk salah satunya adalah sebuah gedung tinggi nan besar yang mengangkangi orang-orang yang masuk ke Tamar Park, seakan berlaku sebagai gerbang raksasa. Gedung itu sendiri adalah bagian dari Central Government Complex. Di situlah, para siswa Uni-National mendapatkan kesempatan untuk kembali berfoto dengan latar belakang jalan tol di bawah jembatan penyebrangan itu, gedung-gedung tinggi pencakar langit, atau gedung berbentuk U terbalik sebagai gerbang menuju Tamar Park tersebut.

"Pak, sini, kita foto bareng dulu. Dari berangkat sampai sekarang, kita belum foto bersama. Nanti abis ini, kita juga foto sama guru-guru yang lain," ujar Laoshi Stephanie.

Mr. Milo mengangguk, tanpa curiga. Ia sama sekali tak memikirkan perasaan Laoshi Stephanie yang sengaja mengambil kesempatan emas ini.

Luar biasa, pikir Laoshi Stephanie. Bahkan di foto, Mr. Milo masih terlihat ketampanannya yang malah semakin bersinar. Laoshi Stephanie pun merasa beruntung karena ia juga tidak jelek-jelek amat. Apa jangan-jangan ucapan Mr. Milo yang mengatakan bahwa ia cantik memang ada benarnya.

Beberapa kali swafoto kemudian baru Laoshi Stephanie sungguh-sungguh mengumpulkan para guru untuk berfoto bersama. Selain karena kesempatan ini memang harus diabadikan, ia juga memiliki alasan untuk tadi dapat berfoto dengan Mr. Milo.

"Paakkk ... ayo foto bareng-bareng, jangan cuma foto sama Rachel aja," seru Dwi dari kejauhan. Ia dan Vivian tanpa menunggu jawaban Mr. Milo langsung saja merengkuh lengan sang guru, merebutnya dari guru-guru dan tentunya Laoshi Stephanie. Mr. Milo tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti mau geng murid perempuan itu.

Di kejauhan, Talulah memperhatikan perilaku para gadis tersebut. Ia ternyata masih belum mendapatkan momen yang pas untuk kembali mendekati Mr. Milo. Namun, ia tak bisa lama-lama membiarkan hal ini terjadi, atau kesempatannya di Hong Kong akan sama sekali hilang setelah direbut oleh Silvia, kemudian Rachel dan teman-temannya.


Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang