Café Balcony

5 1 0
                                    

Vivian mencium bibir Milo.

Padahal malam itu Milo sudah memutuskan untuk menjelaskan semua kepada Vivian, sebelum terlambat. Ia sudah bertekad untuk menyelesaikannya baik-baik. Memang, ia dan Vivian sudah bersepakat untuk membiarkan waktu menjawab semuanya. Namun, apa mau dikata, Milo merasa menjadi laki-laki pengecut yang membiarkan seorang gadis secantik dan semenarik Vivian menunggu dirinya tanpa juntrungannya.

"I can't be with you, Vivivan. It's not because you're not stunning, it's even the opposite. You are one of the most beautiful girl I have ever seen. Kamu luar biasa cantik. Cuma, saya tidak bisa membuat kamu menunggu terlalu lama. Saya tidak memiliki apapun yang bisa ditawarkan. Terutama perasaan, Vi."

Vivian sungguh ingin membungkam mulut Milo. Ia tidak mau Milo terus mengucapkan kata-kata yang menyakitkannya itu.

"Saya bukan laki-laki yang tepat buat kamu. Saya yang salah karena memberikan harapan. Mumpung belum terlanjur."

Kenapa Rachel dan Dwi tidak pernah bilang kalau Mr. Milo secerewet ini sewaktu di sekolah dulu? Vivian ingin membungkam mulutnya.

"Jadi. Saya benar-benar minta maaf. Ini bukan karena alasan orang lain, atau faktor apapun itu. Saya Cuma tidak bisa menjanjikan apa-apa."

Vivian sudah tidak mampu menahannya. Ia merengkuh leher Milo, menariknya mendekat ke wajahnya, kemudian menempelkan bibirnya ke bibir Milo, lekat-lekat. Ia sungguh membungkam Milo.

Bibir itu terasa manis, lembut tetapi sekaligus kokoh menurut Vivian. Sungguh, ini adalah ciuman pertamanya. Yang aneh, meskipun seperti itu, seluruh hidup Vivian sepertinya sudah dirancang untuk mampu mencium bibir seorang Milo. Ia tak mau melepaskannya. Bibir itu sungguh membuat jiwa Vivian luruh.

Ia menangis. Air mata meluncur laju dari kedua matanya.

Milo tersentak, gagap dan gugup. Tubuhnya kaku, tak mampu bergerak sama sekali. Kesadaran menyentak mendadak, membuatnya sadar dengan apa yang sedang terjadi.

Perlahan, Milo merengkuh kedua bahu ramping Vivian dan mendorongnya pelan, pelan sekali, sampai kedua bibir mereka terlepas.

Milo panik ketika melihat Vivian meneteskan air mata.

"Aku yang minta maaf, Mas. I know I can't change Rachel's position in your heart. Nggak perlu berbohong lagi dengan hati Mas. Aku tahu Mas punya rasa yang begitu kuat dengan sahabatku itu," ujar Vivian sembari menahan sesenggukannya.

Milo sungguh tak tahu apa yang harus ia lakukan.

"I'm glad I met you, Mas. Beneren deh, aku beruntung mencintai Mas. Jangan khawatir, aku pasti sembuh. Aku hanya minta tolong satu hal saja. Please, hubungi Rachel, dapatkan cinta dia kali ini."

"Saya nggak tahu harus ngomong apa, Vi," respon Milo kosong seperti bengong.

"Nggak perlu, Mas. Vivian tersenyum, tulus. Ia menghapus air matanya, kemudian menatap dalam-dalam sepasang mata Milo. "Rachel tergila-gila sama Mas. Ia malah ngeyel bahwa perasaannya tidak salah, walaupun dia murid dan usianya jauh lebih muda dari gurunya, Mr. Milo," Vivian tertawa geli mengingat semangat Rachel saat itu. "Kita semua underage waktu itu, sedangkan Rachel lebih tua beberapa bulan. Tapi dia sudah legal, gitu katanya."

Milo melepaskan rengkuhanya di bahu Vivian, kemudian ikut tersenyum. Kecut.

"Aku sudah curiga Mas juga menaruh rasa yang sama dengan Rachel. Mas hebat. Profesional, dan tidak terbawa rasa. Buktinya, Mas nggak menggoda Rachel waktu itu. Terus sekarang, walau tahu aku suka sama Mas, Mas tidak memanfaatkan aku. Rachel beruntung bisa jadi pacar Mas. Eh, Mas juga beruntung bisa memiliki dia."

Vivian terus berceloteh. Ia menceritakan semua, sembari menangis. Ia menyesal telah memutuskan hubungan dengan ketiga sahabatnya itu, terutama Rachel yang paling baik dan paling mengerti dia. Ia juga berbohong kepada Milo, mengatakan bahwa mereka tidak saling berhubungan.

"Please, hubungi dia, Mas. Atau, datang aja langsung ke Singapore. Kasih kejutan, langsung tembak. Aku pura-pura nggak ngerti, deh. Nanti aku hubungin dia lagi, aku kangen banget."

Vivian mendadak berubah menjadi sangat excited, padahal matanya masih sembab. "I will be missing our togetherness, Mas. Aku merasa sudah cukup mendapatkan kebahagiaan. Tapi rupanya, mengganggu kebahagiaan orang lain juga nggak bakal buat aku sendiri bahagia. Aku juga sebenarnya sudah bahagia. Ada Rachel, ada Dwi, ada Sophia yang selalu ada walau kami jauh. Lalu ada Mas, yang ternyata seru kalau jadi sahabat atau saudara sekalian. Malah aku yang menuntut lebih. Itu salahku, Mas.'

Milo seperti dijatuhi kenyataan yang runtuh dari langit. Ia berusaha mencerna semuanya. Ia berusaha mati-matian untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ini semua nyata adanya.

Vivian memeluk Milo rapat-rapat. Ia berbisik ke telinganya, "Hapus bekas bibirku dengan bibir Rachel ya, Mas. You're a good kisser."

Milo terpaku. Ia duduk di café balcony di tepian kota Amsterdam setelah Vivian memutuskan untuk meninggalkannya terlebih dahulu.

Aroma parfum Vivian masih tertinggal di tubuhnya. Namun sekarang malah aroma tubuh Rachel yang masih ia ingat dengan baik langsung menggantikannya.

"Aku benar-benar gila!" ujar Milo pelan. Ia baru saja dicium oleh Vivian, tepat di bibir, lama pula. Kemudian, banjir badang cerita langsung menyembur menerpanya. Nama Rachel yang semua menjadi biang masalah antara dirinya dan Vivian, atau dirinya dan dirinya sendiri, digelontorkan begitu saja. Nama gadis itu yang semua berusaha ia lupakan, kembali dalam bentuk yang berbeda. Kekosongan di dalam jiwanya langsung penuh. Rachel berdiri disana. Rambut panjang nan hitamnya tergerai, jatuh begitu saja di bahunya. Ia tertawa lebar, lepas, sampai kedua matanya yang sipit hampir tenggelam. Pipi dan bibirnya memerah. Ia cantik sekali.

Milo sekarang membuka hapenya, menelusuri nomor WA Rachel. Ia hampir menekannya, meneleponnya. Ia urungkan. Ia juga hampir mengetikkan pesan melalui WA gadis itu. Ia urungkan pula niatnya.

Vivian sudah mengirimkan informasi mengenai Rachel. Dimana gadis itu kuliah, dimana tempat tinggalnya, bahkan dimana biasa Rachel hang out, nongkrong, atau menggarap tugas selama di Singapore. Rachel dan Vivian selalu bercerita tentang apa saja, waktu itu, sebelum Vivian memutuskan untuk menghilang.

Milo mengecek tanggal dan jadwalnya. Ia juga mengecek jamnya, kemudian menghubungi Dananjaya. "Bro, aku boleh izin beberapa hari? Mungkin empat hari?"

"Hah? Mau ngapain, bro? Kencan sama Vivian? Pergi ke Maldives? Gila, model kelas atas bisa tegila-gila sama kamu. Hajar aja!" jawab Dananjaya sembari tertawa nakal di seberang sana.

"Ah, bukan. Bukan sama Vivian yang jelas. Nanti aku jelaskan semuanya. Jadi, boleh nggak? Soalnya kerjaanku harus dihandle sementara."

"Soal apa dulu? Soal cinta?" tanya Dananjaya asal.

"Iya! Soal cinta. Aku serius."

Dananjaya terdiam beberapa detik. "Ambil dua minggu sekalian, Mil. Tapi, tolong apapun itu, kamu harus menyelesaikannya ya. Aku, Joyce sama Mark perlu dengar ceritanya setelah kamu pulang nanti," ujar Dananjaya.

Milo tersenyum lebar. Ia tahu bahwa Dananjaya di seberang sana tahu bahwa ia sungguh-sungguh. Malam ini ia langsung memesan tiket pesawat ke Singapore. Ia akan berangkat pada penerbangan pertama besok pagi.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang