Alibi

2 2 0
                                    

Mock Exam berjalan lancar bari Rachel. Ia berhasil menjadi siswa sejati dengan sungguh-sungguh fokus untuk mempersiapkan dirinya dengan belajar, serta konsentrasi penuh di dalam ruang ujian. Rachel bahkan terpaksa tidak mengindahkan kehadiran Mr. Milo yang bertugas beberapa kali sebagai invigilator, tak peduli seberapa menarik laki-laki itu. Bagaimana tidak, Mr. Milo selalu hadir di ruangan, berdiri dan berjalan berkeliling untuk memantau murid-murid yang sedang ujian, beberapa kali melewati dirinya, dengan aroma khas menenangkan dan maskulin yang meruap dari tubuhnya itu selalu membuat Rachel berusaha semakin keras untuk tidak menikmati pemandangan akan hadirnya Mr. Milo.

Sampai sekarang Rachel masih bingung parfum apa yang digunakan gurunya itu, yang baunya begitu menyenangkan.

Mr. Milo, paham dengan apa yang sedang terjadi. Ia pun senang Rachel bersungguh-sungguh dalam ujiannya. Permasalahannya adalah, ada setitik bagian di dalam jiwa dan pikirannya yang mengeluh karena Rachel sama sekali tak memandang ke arahnya. Pandangan keduanya tak berserobok.

Mr. Milo tersenyum geli. Ia sudah sungguh gila sekarang.

Memang benar ia tak mungkin melakukan hal yang lebih dari sekadar guru kepada muridnya, tetapi mana mungkin ia bisa menyangkal pesona Rachel.

Akhirnya, toh mock exam selesai dengan baik. Tanggung jawab Mr. Milo sebagai guru dan Rachel sebagai murid juga dilaksanakan dengan baik tanpa drama. Rachel tidak merengek pada Vivian atau Sophia. Ia terima saja bila kesempatan bertemu Mr. Milo, 3 minggu selama mock exam ditambah semester exam ini sangat kecil. Bahkan, ketika memiliki kesempatan pun, ia harus mau melepaskan kesempatan itu demi menyelesaikan semua ujian tersebut.

Tinggal satu kemungkinan buat bertemu Mr. Milo, yaitu prom night. Setelah beragam ujian ini, grade 12 sudah tidak memiliki jadwal belajar di sekolah. Mereka semua sudah harus mempersiapkan ujian internasional AS&A Level Cambridge, dan semua syarat-syarat untuk keperluan universitas atau sekolah tinggi pilihan mereka.

"Lah, kita masih sering ke sekolah kok, Rach. Masih urus ini itu," ujar Vivian.

"Iya, gue juga sama Jordan harus ngurus lebih banyak syarat. Univ minta banyak rekomendasi sama sertifikat," sambung Sophia.

"Iya. No problem, ladies. Enggak harus gimana, kok," ujar Rachel pendek.

Sophia mendengus. Ia tahu masa ini akan sampai juga. Rachel kini sedang dalam masa menerima keadaan. Harusnya Sophia senang karena Rachel akhirnya dipaksa untuk sadar dengan keadaannya. Namun, di sisi lain ia juga ikut sedih. Mau tidak mau ia harus mengakui bahwa Mr. Milo adalah seorang guru yang baik. Ia profesional, tidak berlebihan, apalagi sampai kegenitan ikut melayani kegenitan Rachel sendiri. Masalahnya, mungkin tidak menjadi soal bila kelak Rachel kembali mendekati Mr. Milo ketika ia sudah tidak menjadi siswa secondary di Uni-National. Keduanya tidak terikat hubungan profesional, akademis, maupun etis. Sialnya, mau bagaimana lagi, Rachel tetap harus meninggalkan negeri ini untuk melanjutkan pendidikannya ke Singapore. Ia harus berpisah dengan sosok orang yang ia sukai itu.

"Eh, kita masih bisa ketemu Mr. Milo loh, Rach. Bilang aja kita minta ketemuan di luar, buat bahas hasil mock exam kita. Gue temenin deh sebentar. Gue juga ambil history, 'kan?" ujar Dwi memberikan ide, seakan mengetahui apa yang ada di dalam pikiran sahabatnya itu.

Rachel sudah terlihat tidak bersemangat.

Sudah sejak mock exam dimulai, intensitas pertemuan antara Mr. Milo dan Rachel menurun luar biasa. Seperti tidak ada kesempatan – atau kesempatan itu yang tidak dibuat – bagi keduanya untuk bertemu. Bagi geng the Four Musketeers, ini adalah hal yang sebenarnya menyedihkan.

Rachel adalah anggota geng yang ceria, ceriwis, dan memberikan dampak positif di dalam kelompok mereka. Rachel tidak pernah membenci orang lain, atau menilai orang secara berlebihan. Ia juga tidak mendamatrisasi masalah apapun. Maka, ketika bibir manis itu terkatup selama tiga minggu ini, tidak salah bila ada kekhawatiran bagi para anggotanya.

"Kita bakal semua berpisah buat sementara, guys. Rachel ke Singapore, Dwi mungkin ke China, Vivian ke Prancis, gue ke Amerika. Mungkin baru setahu sekali kita bakal ngumpul-ngumpul gini lagi. Gue nggak mau kesedihan perpisahan kayak gini kejadian sama kita. Gue kok nggak merasa nyaman kalau lo kehilangan semangat gitu, Rach," ujar Sophia sembari membenarkan letak kacamatanya.

"Ya, habis gimana lagi, Sof. Emang lo udah bener dari awal. Gue nggak bakal bareng sama Mr. Milo. Awalnya gue yang nekat mau sedekat mungkin sama Mr. Milo sampai saatnya nanti gue beneran pisah sama dia, sekarang malah jadi sedih gini."

"Ya udah, makanya. Selesaikan aja semua. Kalau lo masih punya kesempatan, ya gunakan. Kita masih ke sekolah. Gunakan kesempatan itu buat ketemuan Mr. Milo. Masih ada prom night juga," ujar Dwi.

"Iya. Gue setuju. Kembali ke tujuan semula, Rach. Do it, feel it. You asked for it, now you have to get it. Lo mungkin merasa pengin lebih. Gue sadar itu, Rach. Lo pengin dapatin Mr. Milo sekarang juga. Tapi, lo tahu sendiri keadaannya. Lagian, lo yakin orang yang lo sukai itu punya sifat genit, terus menggunakan kesempatan yang dia punya sebagai guru untuk coba dapatin elo?" tukas Sophia.

Rachel hanya menghela nafas.

"Ya udah, sih kalau nggak mau. Gue mau minta ketemuan sama Mr. Milo kalo gitu. Gue beneran mau tanya soal mock exam history gue. Nah, berhubung lo nggak mau diajak, gue ditemenin Vivi aja. Biar kita-kita aja yang menikmati kebersamaan dengan Mr. Milo sebelum kita semua berangkat melanjutkan kuliah. Asal lo ingat, yang dulu naksir Mr. Milo bukan lo doang. Ya 'kan Vi?" ujar Dwi.

Vivian mengangguk cepat.

"Eh, eh ... nggak gitu juga kalik, guys. Nggak ... nggak. Gue ikutan kalo gitu. Enak aja mau kumpul-kumpul sama Mr. Milo," protes Rachel.

Hari itu, para anggota the Four Musketeer akhirnya berhasil membuat Rachel kembali ke settingan awal: ceria, bersemangat dan positif. Tidak berlama-lama, Rachel yag langsung menghubungi Mr. Milo untuk meminta waktu buat bertemu dengannya di luar sekolah. Tentu ia tak bisa memintanya bertemu seorang diri. Adanya Dwi dan Vivian yang ikut serta menjadi semacam alibi agar pertemuan mereka tidak terkesan pribadi. Rachel paham sekali, Mr. Milo masih memegang profesionalisme guru tersebut. Pertemuan-pertemuannya dengan Mr. Milo di taman atau coffeeshop seorang diri cenderung karena kebetulan, atau kebetulan yang disengaja, jadi pertemuan kali ini harus sungguh memiliki alasan yang tepat.

Tak lama Mr. Milo pun membalas dan mengatakan persetujuannya. Rachel tersenyum lebar. Mungkin, mungkin ... hanya ini yang bisa ia lakukan, kembali ke tujuan dan niat semula: merasakan cinta, menikmatinya, tanpa menuntut, sampai waktu yang menjawab semuanya, seperti yang ia ucapkan kepada Sophia dahulu.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang