Bookstore

9 2 0
                                    

Jujur, Vivian terlihat paling menonjol diantara tiga sahabatnya yang sebetulnya sama cantiknya tersebut. Ia menyapukan sedikit saja semu merah muda di kedua pipinya, serta menambahkan eye shadow tipis untuk membuat kesan galak dan tajam pada sudut matanya, tetapi tetap megah. Rambutnya yang lurus dikuncir kuda dengan menyisakan poni rapi di bagian depan hampir menyentuh mata. Penampilannya terlihat begitu cantik dan menggemaskan. Ia mengenakan kaos putih ketat lengan panjang yang dimasukkan ke dalam celana jeans high waist yang menonjolkan bentuk pinggul dan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Dwi, berbusana lebih ceria. Kemeja crop top dipadukan dengan celana panjang kulot dengan warna pastel serasi dengan rambut ikalnya yang hitam kelam dengan hiasan jepit rambut di sana sini. Sophia, berjalan bergandengan terlihat serasi dengan si bule tampan Jordan yang jangkung. Sophia hanya mengenakan pakaian terusan abu-abu lembut yang dilapisi cardigan putih gading. Ia terlihat cerita kali ini karena selain bisa bersenang-senang dengan ketiga sahabatnya, Jordan sama sekali tidak menolak untuk ikut bersamanya hang out ke mall. Bahkan ia yang mengendarai mobil dan berinisiatif menjemput para anggota Four Muskeeters. Sophia tersenyum lebar dengan rencana mereka ini.

Rachel, mengenakan kaos oblong oversized bergambar mahluk alien abstak, jeans belel yang robek di bagian paha, dan sepasang canvas shoes berwarna merah ngejreng yang kontras dengan warna busananya, sama sekali tidak menutupi kecantikannya yang alami itu. Sebaliknya, walau gayanya tidak bisa dikatakan seratus persen feminin, Rachel tetap tidak tenggelam dalam pesona ketiga sahabat-sahabatnya tersebut. Ia membiarkan wajahnya tanpa polesan apapun, begitu juga rambutnya yang panjang dan lurus itu digerai begitu saja.

"Do not protest, we'll go to a bookstore today, and I'm going to buy one," ujar Rachel jauh-jauh hari sebelum rencana mereka tersebut. Ia mengatakan akan mengikuti jadwal ketiga sahabat perempuannya untuk makan, mencari pernak-pernik lucu dan unik, nongkrong minum kopi dan menonton di bioskop. Namun, ia minta lima belas sampai dua puluh menit untuk mampir ke toko buku. Ia berencana membeli sebuah novel.

Jelas saja Dwi dan Vivian heran setengah mati. Hanya Sophia yang dikenal akrab dengan benda yang disebut buku tersebut. Mengapa mendadak seorang Rachel memiliki keinginan yang aneh seperti itu?

"Lo ngidam, Rach?" tanya Vivian asal.

"Brisik ih. Orang mau beli novel juga. Membaca itu bagus. Nah, I'm deadly serious buat mengembangkan diri, malah nggak didukung," ujar Rachel.

"Alah, alesan. Paling ntar sehari dua hari udah. Sok-sok-an aja you, Rach."

Rachel malas berdebat. Ini karena ia tidak mau menyebut nama Mr. Milo sebagai alasan utama keinginannya untuk membeli novel tersebut. Tentu hanya Sophia yang paham benar dengan perubahan niat yang signifikan dari Rachel. Meski, ia juga mungkin tidak sungguh percaya Rachel akan mengembangkan kegemaran membaca ini.

Maka disepakati bahwa Vivian dan Dwi akan berbelanja pernak-pernik dan aksesoris, sedangkan Sophia dan Jordan akan menemani Rachel ke toko buku.

Jordan sudah melihat kumpulan bola basket di salah satu bagian toko buku. Ia memandang ke arah Sophia. Tanpa perlu ada pertanyaan, Sophia mengangguk ke arahnya. "See you in a few minutes, Jordan. I'm going to the other side of this bookstore accompanying Rachel, Ok," ujar Sophia lembut. Ia akan membiarkan pacarnya itu untuk melihat-lihat bola basket, sedangkan ia akan menemani Rachel dalam sebuah misi yang aneh. Paling tidak itu anggapan Sophia.

"Lo harus bantu gue, Sof. Gue beneran pengin beli novel. Pengin baca. Yang tipis-tipis aja dulu deh, nggak masalah. Tapi jangan yang pop-lit atau cinta-cintaan gitu. Mr. Milo aja udah kasih hint kalau dia suka novel-novel dengan latar belakang sejarah, atau yang punya makna lebih dalam dari sekadar romance gitu. Gue juga pengin baca novel yang gimana ya, ada isinya gitu lah."

Sophia memutar bola matanya dengan sebal. Tindakannya ini malah membuat Rachel geli sendiri. Namun, tetap saja, walau terlihat sebal, Sophia menggandeng tangan Rachel dan membawanya ke satu sudut rak buku.

Memerlukan beberapa detik saja untuk matanya memindai deretan buku dan jari-jarinya meniti tiap buku tersebut untuk menemukan apa yang ia sedang cari.

"There you are little one" ujarnya puas ketika akhirnya dapat menemukan sebuah novel import berbahasa Inggris tipis bersampul merah.

"Animal Farm, by George Orwell," ujar Sophia puas.

Rachel mengernyit. Tapi sebelum ia protes, Sophia sudah mengangkat jari telunjuknya. "Apa lo nggak pernah denger kalau do not judge the book by its cover? Tidak seperti judulnya, dan tebal halamannya, novel ini bukan novel anak-anak, Rach. Ini novel legendaris. Orwell mencoba menggambarkan ideologi Uni Soviet saat itu dalam cerita fabel peternakan babi. Ada tokoh-tokoh babi yang menyimbolkan Marx dan Stalin. Ini harus lo baca kalau memang mau ngambil perhatian Mr. Milo. Ntar lo bisa hubungkan Animal Farm sama perang dinginnya Amrik sama Soviet. Terus ...."

Sophia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Rachel sudah merebut buku itu dari tangannya. Wajah si gadis cantik itu berseri-seri dan bersemu merah. "Makasih sayang," ujar Rachel manja.

Sophia menghena nafasnya.

Rachel merogoh gawai di sakunya, kemudian mengambil foto covel buku itu. "Nah, gue jadi punya alasan buat chat Mr. Milo duluan."

Tanpa menunggu respon Sophia, Rachel dengan percaya diri mengirim foto novel Animal Farm ke WhatsApp Mr. Milo dan mulai mengetik:

"Pak. Aku beli buku ini. Bapak pernah baca? Denger2 ini soal komunisme y Pak? Bisa dihubungkan dengan cold war nih."

Sophia menggelengkan kepalanya tak percaya. Rachel copy paste penjelasannya, seakan ia sendiri yang tahu tentang Animal Farm. Namun begitu, ia juga ikut deg-degan ketika Rachel menjerit tertahan meihat di seberang sana Mr. Milo sedang mengetik untuk membalas chat Rachel.

"Awesome. Good choice Rachel!" jawaban Mr. Milo, disertai dengan emoticon senyum lebar dan satu wajah dengan bentuk hati.

Rachel langsung berbunga-bunga. Ia tahu bahwa emoticon dengan bentuk hati itu bukan untuk dirinya, melainkan pada pilihan novelnya. Namun, tetap saja, itu adalah hal yang sangat berharga buatnya. Bahkan Sophia yang dari awal tidak setuju dengan tindakan Rachel ini, kini ikutan excited dan tersenyum lebar membaca balasan dari Mr. Milo, meskipun mulutnya berkata, "I can't believe with what you've done, Rach".

"Should I reply, Sof? Gue balas gimana, nih?"

"Udah, jangan berlebihan. Balas aja, 'Wah, kayaknya ada yang udah dapat judul essay nih Pak,' gitu." Ujar Sophia.

Kini Rachel yang mengernyit. Ia heran Sophia sungguh membantunya. Tetapi ia mencoba tidak terlalu ambil pusing dan benar-benar membalas pesan dari Mr. Milo tersebut.

"Great! Nanti saya bantu deh. No worries. Baca2 yang banyak soal cold war. Nanti saya juga ikutan baca2 buat bantu kamu."

Kini keduanya yang menjerit tertahan. Sophia tertawa dan Rachel benar-benar senang.

"You're insane, Rach. It means me too. Gue gila juga bantuain temennya pedekate sama guru," Sophia menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya, tetapi sunggingan lebar menghiasi wajahnya.

"Kalau sudah basah, mandi sekali deh," lanjut Sophia.

Hari itu, Sophia memaksa membelikan dua buah novel lagi. Satu novel dari penulis yang sama, yaitu George Orwell berjudul 1984, dan sebuah novel ditopia berjudul The handmaid's Tale oleh Margaret Atwood.

"Jangan nanggung-nanggung kalau mau baca. 1984 ini penulisnya sama dengan Animal Farm. Kalau yang satu ini, alirannya sama, cuma unsur feminism-nya kuat."

Rachel tidak protes, ia ambil ketiga buku yang kesemuanya dibayari oleh Sophia. Mendadak Sophia seperti memiliki misi baru, membuat Rachel menjadi pengikutnya, sebagai pecinta buku. Mungkin pengaruh Mr. Milo pada diri Rachel ada baiknya juga, pikir Sophia.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang