Abstain

4 2 0
                                    

Rachel sudah menyelesaikan semua novel yang ia pinjam dari Mr. Milo. Dalam beberapa bulan kemampuan membacanya memang melesat pesat. Ia bahan menulis ulang esai sejarahnya agar mendapatkan perbaikan nilai. B diperbaiki menjadi A. Toh, ia tak berniat untuk mendapatkan A* sekuat itu. Penulisan esai ulang hanya untuk membuktikan kepada dirinya bahwa ia mampu membaca sumber-sumber dari referensi esainya dengan baik. Selain itu, nilai A sudah lebih dari cukup untuk membantu nilai semesternya, demi persiapan menuju ke college.

"Setelah prom night bulan April nanti, mungkin kita nggak akan ketemu lagi, ya, Pak? Cambridge exam 'kan Bapak libur. Paling guru-guru lama yang boleh invigilating," ujar Rachel. Untuk kesekian kalinya, ia dan Mr. Milo bertemu di taman kecil di dekat salon tempat biasa mamanya kunjungi.

Ujian internasional Cambridge memang berbeda dengan ujian yang diadakan di sekolah-sekolah lain, termasuk negeri maupun swasta. Di dalam ujian Cambridge, jadwal ujian ditentukan oleh Cambridge sendiri. Maka, sesuai dengan penanggalan Cambridge di Inggris, tidak peduli bila tanggal merah atau libur di Indonesia, para guru yang sudah mengikuti pelatihan tetap harus datang ke sekolah untuk invigilating, alias mengawas para murid yang ujian.

Saat itu Rachel datang ke taman di akhir minggu dimana Mr. Milo biasa membaca buku disana. Gadis itu mengenakan baju yang santai. Kaos oversized dan celana pendek yang tidak sampai terlalu mini dan masih terkesan sopan. Rambutnya seperti biasa dibiarkan tergerai, saling bercanda dengan angin yang mengembus pelan. Rachel tidak pernah tidak terlihat cantik.

"Wah, berarti kamu sudah diterima di LASELLE dong?" ujar Mr. Milo.

"Iya, Pak. Penguman resminya keluar bulan depan, sih. Tapi saya dikabari salah satu dosen disana kalau saya sudah pasti masuk."

"Cool. Congrats, Rach. Saya baru tahu soal ini," ujar Mr. Milo tulus. Ia turut bergembira.

"Oiya, nanti pas prom night, kalau nggak salah Bapak jadi salah satu panitia ya?"

Mr. Milo tertawa. Iya, Student Council yang minta saja PIC (Person in Charge) di bagian transportasi. Untuk jaga-jaga aja ada murid yang belum bisa pulang, atau belum dijemput. Biar nggak kemalaman, mungkin saya yang antar, atau saya yang carikan online transportation."

"Sip. Kalau begitu sampai ketemu, ya, Pak. Saya sudah harus pulang. Cuma mau mengembalikan novel-novel Bapak."

Mr. Milo agar tercekat. Mengapa awalnya ia berpikir bahwa Rachel akan menghabiskan waktu bersamanya seperti sebelum-sebelumnya? Hari ini ia sungguh hanya mampir dan mengembalikan buku-bukunya. Namun, ia segera menutupi perasaan aneh dan kecewa yang datang itu dengan tersenyum lebar. "Ya, ya. Sampai ketemu, Rach. Hati-hati, ya."

Mendadak kehampaan jatuh bagai selimut tebal ke seluruh taman. Seakan orang-orang yang lalu-lalang, burung-burung yang bercicitan, seeor kucing yang tertidur malas di jalan setapak terkena percikan cahaya matahari menjelang sore yang menembus sela-sela dedaunan dan ranting-ranting tidak memiliki makna. Mr. Milo memandang pungguh Rachel sampai menghilang di balik gedung kompleks ruko.

Mr. Milo menghela nafas.

Apa yang ia lakukan sudah benar. Ia sudah mampu menjaga tindakannya selama ini terhadap para murid, terutama Rachel. Ia masih bersikap profesional dan sesuai dengan status dan posisinya. Mungkin memang lebih baik agar Rachel segera lulus dan mencapai cita-citanya agar ia juga dapat meneruskan hidup, lepas dari belenggu rasa yang luar biasa mengganggunya ini.

Hong Kong sungguh memberikan sebuah memori yang sulit untuk tidak membuat Mr. Milo terkesan. Mr. Milo mau tidak mau harus mengakui, paling tidak pada dirinya sendiri, bahwa ia sudah memiliki rasa pada seorang Rachel, anak muridnya sendiri. Bentengnya di Hong Kong masih sanggup bertahan, tetapi 4 jam di langit, duduk bersama Rachel di dalam pesawat, membuat pertahanannya jebol.

Ia tak pernah berencana untuk meminjamkan beanie dan mengobrol begitu intens dengan gadis itu. Awalnya Mr. Milo berpikir bahwa ia hanya tergoda kecantikan Rachel yang memang luar biasa baginya. Namun, itu tidak berlaku bagi murid-murid perempuan lain, seperti Talulah, Rita, Silvia, termasuk Vivian dan Dwi yang merupakan bagian dari geng Rachel, apalagi murid-murid perempuan lain. Pesona Rachel bertambah tidak hanya dalam fisiknya. Cara ia berbicara, pemikirannya yang terbuka sekaligus menantang, senyumnya yang ceria dan cara bercandanya yang renyah membuat Mr. Milo semakin jauh dari pukat jebakan rasa itu.

Rachel tahu menempatkan dirinya. Ia hangat pula ketika sedang berkomunikasi. Rachel tidak pernah membuat Mr. Milo merasa risih dan jengah, meski ia juga sering menggodanya.

Maka, dengan kenyataan bahwa Rachel akan segera lulus dan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri, menjadi kelegaan buat dirinya. Ia tak perlu lagi tersiksa untuk bersikap normal, seakan tidak ada rasa untuk sang murid.

Mr. Milo tak pernah benar-benar tahu perasaan Rachel kepadanya. Ia tak berani untuk menduga-duga karena Rachel sendiri memang sering menggodanya. Percikan rasa itu sering terlihat di mata Rachel, tetapi Mr. Milo enggan untuk memaknainya lebih. Begitu pula dengan Rachel yang meski sempat memergoki lecutan di permukaan mata Mr. Milo, ia tetap tidak memiliki posisi untuk menyimpulkan apapun itu.

Keduanya berada dalam keadaan abstain. Keduanya mungkin memutuskan bahwa akhir akan segera tiba dan keduanya akan segera berpisah entah bagaimana.

Rachel tak tahu lagi apa yang ada di dalam pikirannya. Sophia pasti akan mengatakan "I told you. Sudah gue bilang," karena ia tak mendengarkan Sophia bahwa bagaimanapun keduanya tak mungkin bersatu.

Pilihan Vivian cukup menggoda. Namun, bagaimana caranya. Ia akan segera meninggalkan tempat ini, negeri ini. Sebelumnya ia malah sempat berpikiran nekat bila sampai Mr. Milo ternyata sampai menyatakan perasaan yang sama dengannya, dengan mudah ia akan membatalkan rencana untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri dan memilih untuk berkampus di kota ini saja. Apalah daya, ia terlalu bermimpi tinggi. Lagipula, mana mau Mr. Milo bertindak egois seperti itu andaikata iapun memiliki rasa terhadap Rachel.

Rachel menghela nafas. Apa ia sudah sedewasa ini? Pikirnya. Mengapa menjadi dewasa begitu berat dan sulit? Ia harus mengambil keputusan. Ia harus berani menerima atas konsekwensi dari keputusannya.

Padahal, ia sama sekali tidak keberatan untuk menghabiskan waktu dengan Mr. Milo hari ini, atau kapan pun. Ia mungkin benar tak bisa memaksakan kehendaknya yang didasari atas perasaan liarnya itu. Namun, menikmatinya sebisa mungkin bukanlah sebuah kesalahan.

Rachel memutar kemudi mobilnya.

Mr. Milo tak bisa menutupi keterkejutannya ketika melihat Rachel tahu-tahu sudah duduk di sampingnya. Aroma manis gadis itu menyentak kesadarannya.

"Boleh gangguin, Pak? Rupanya nggak ada kegiatan apa-apa di rumah," ujar Rachel dengan senyum merekah, hampir-hampir membuat kedua matanya tertutup smepurna.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang