Sudah hampir setahun Rachel belajar dan tinggal di Singapura. Ia secara konstan dan aktif berhubungan dengan ketiga sahabat-sahabatnya. Hampir setiap hari selalu saja ada kabar paling tidak dari salah satu dari mereka. Sophia yang paling sibuk. Gadis itu pelajar murni. Lagipula, ia dan Jordan nampaknya memiliki rencana yang rapi dan terukur untuk masa depan mereka. Dwi, di London, awal semester saja dia sudah banyak melakukan penelitian. Terlihat sekali gadis itu bersemangat di pilihan pendidikannya. Rachel, lumayan. Tidak seburuk yang ia bayangkan ternyata. Ia cukup menikmati pendidikan dan hidupnya di Singapura.
Diantara teman-temannya, malah Vivian lah yang paling banyak memberi kabar kepadanya.
"Males banget gue, Rach. Gue lanjut kuliah di Oz ini juga cuma syarat aja biar bisa keluar dari rumah. Masalahnya, gue bukan anak pinter. Males lagi. Kalau gue berhenti kuliah, ntar kerja apaan? Masih minta sama Mom and Dad lagi akhirnya. Males berurusan dengan orang tua tiri juga nantinya," ujar Vivian ketika ia sedang video call dengan Rachel.
Rachel menunjukkan wajah prihatin. Ia merasa sedikit bersalah tak berada di samping Vivian. Namun, apa mau dikata, masing-masing pada akhirnya harus bertanggung jawab dengan dirinya sendiri.
"Lo bisa selesaikan kuliah lo? Terus cepet kerja, dimana gitu. Biar bisa ambil keputusan sendiri," ujar Rachel.
"Maunya gue gitu, Rach. Tapi, sumpah, bosen gue. Ngapain juga ambil bisnis. Tapi, nggak ambil bisnis, ambil apaan?" Vivian menghela nafas panjang. "Eh, eh, Rach ...," ujar Vivian tiba-tiba.
"Apaan, Vi?"
"Hmm ... gimana ya. Gue mendadak ingat sesuatu, dan gue minta pendapat lo."
Di seberang sana, terlihat Rachel mengerutkan keningnya. "Apaan, Vi? Pendapat apa?"
"Jadi, ada saudara gue di Amsterdam, nawarin gue jadi model fotografi gitu. Tadinya gue nggak terlalu mikirin, Rach. Cuma, kalau dipikir-pikir, gue nih 'kan lagi bosen banget kuliah. Mending gue kerja sekalian, deh, Rach. Atau anggap aja gue cuti. Mana tahu lancar karir model gue di Amsterdam, jadi bisa lanjut kuliah atau gimana. Lagian, gue suka kok kerja di bidang fotomodel. What do you think? I mean, I'm really bored, Rach. I'm being serious. Kalau hidup gue gini-gini terus, gue bisa mati ntar."
Diluar perkiraan Rachel tertawa. Vivian awalnya berpikir bahwa Rachel bakal protes dan memintanya untuk menyelesaikan kuliah ketimbang tiba-tiba mengambil kesempatan menjadi model di tempat lain.
"Susah amat bilangnya lo mau jadi model, Vi. Ya udah sih, just do whatever you heart tells."
"Hah? Lo beneran, Rach? Lo dukung gue? Padahal 'kan keputusan ini mendadak aja lewat di pikiran gue."
"Lah, malah elo yang bingung. Dasar Vivian! gini lho Vi. Gue kenal elo emang belum hitungan puluhan tahun, tapi cukup lah buat paham lo kayak gimana. Lo sama fotografi dan permodelan. Lo dah cantik dari sananya, Vi. Lagian, apa enaknya sih melakukan sesuatu yang nggak disuka. Kalau gue jadi elo, gue bakal cau ke Amsterdam sekarang juga."
Vivian menjerit kegirangan. Ia menciumi layar hapenya seakan Rachel berada disana.
"Ih, jorok amat ni anak," ujar Rachel sembari tetap tertawa-tawa.
"Eh, Vi, Vi ... diem dulu," seru Rachel.
"Iya, iya. Apaan Rach?"
"Gue dukung lo, serius. Tapi gue cuma minta satu hal."
"Apaan, sih, Rach? Apapun gue lakukan buat sahabat gue ini. Masak cuma satu permintaan, sih."
"Satu aja lah. Ngapain banyak-banyak."
"Ya udah. Apaan?"
"Lo jangan lupa kabari terus ya. Ntar mentang-mentang sibuk jadi fotomodel, lo sampai lupa sama gue. Mana dari Oz terus makin jauh ke Belanda, lagi."
"Ish, permintaan macam apa itu. Ya, iya lah gue bakal hubungi lo terus. Kita 'kan the Four Musketeers. Lagian, gue cuma bantuin sepupu aja. Bukan terus mendadak jadi model terkenal. Gilak lo ya." Protes Vivian.
Rachel tersenyum. Ia kangen Vivian. Ia kangen semua sahabt-sahabatnya. Padahal sudah hampir setahun, tetapi ia masih kerap merasa kosong. Sophia dan Dwi sepertinya bersungguh-sungguh dalam pendidikan mereka. Bukannya itu berarti ia tidak. Ia juga cukup menikmati semua proses perkuliahan dan hidupnya di Singapura. Nilainya tidak ada yang buruk. Bahkan keputusannya untuk mempelajari sejarah dengan lebih serius sewaktu sekolah dulu di bawah bimbingan Mr. Milo memberikan banyak manfaat di dalam perkuliahannya. Ia cukup unggul di dalam banyak hal. Tidak hanya kreatiitas, tetapi juga latar belakang pengetahuan.
Namun, tetap saja, ia kadang iri dengan semangat penuh dari Dwi dan Sophia di dalam pendidikan mereka. Itu wajar dan ia juga sebenarnya ikut bahagia. Hanya, tetap saja ia tidak bisa begitu saja menghindari perasaan itu. Oleh sebab itu, meskipun prihatin dengan keadaan Vivian, dan menginginkan ia bahagia, Rachel takut Vivian juga mendapatkan apa yang ia cari. Sehingga akhirnya tinggal Rachel yang bakal sendirian.
Luar biasa, perasaan yang sangat jahat, pikir Rachel kemudian. Bagaimana bisa ia sampai tega menginginkan hal seperti itu terjadi pada temannya sendiri. Ia egois sekali.
Vivian di seberang sana kini yang tertawa. "Iya, sayaaang. Sahabatku Rachel yang cantik. Gue bakal terus kabari lo. Nggak hanya lo, Dwi, Sofi jugaa ... jadi, please don't worry, Rach."
Rachel merasa lega karena kata-kata Vivian tersebut. Berhubungan bahkan hanya melalui video call dengan sahabatnya itu merupakan waktu yang berharga untuk membuat kekosongan di hatinya yang kadang datang tiba-tiba terisi penuh.
Ketika telepon telah ditutup, Rachel menghela nafas. Ia berjalan pulang ke apartemennya di Guillemard Road. Kamar apartemen yang dibayar dengan harga 1700 dollar Singapura atau setara dengan 20 juta Rupiah per tiga bulan itu terasa kembali lowong dan suwung. Padahal pemandangan gedung-gedung pencakar langit yang dapat dilihat melalui jendela kamarnya termasuk memukau.
Untuk mahasiswi yang tinggal di Singapura, Rachel termasuk memilih apartemen yang bukan termasuk mewah. Kedua orang tuanya jelas-jelas mampu untuk membayar akomodasi Rachel selama berkuliah di Singapura. Namun, Rachel bukan tipe anak seperti itu. Papa mamanya pun paham itu. Maka, tidak ada pemaksaan. Mereka hanya ingin anak perempuannya itu mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan keinginan dan bakatnya. Mereka juga ingin Rachel menikmati setiap harinya di Singapura selama masa pendidikan.
Rachel tersenyum setelah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia ingat semua semangat kedua orang tuanya, dan bagaimana mereka telah menjadi orang tua yang baik dan sempurna baginya. Ia tak akan membiarkan perasaannya mengambil alih pikiran logis dan masa depannya. Ia harus kembali bersemangat dan sungguh melupakan kekosongan yang ada di dalam hatinya.
Gedung-gedung pencakar langit yang berbaris rapi di luar jendela apartemennya kembali terlihat indah di pelupuk matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lini Masa
RomanceRachel Loh sepertinya sungguh suka dengan Mr. Milo. Bukan hanya suka, Sophia Chang, sang sahabat, mencurigai bahwa Rachel sedang jatuh cinta pada guru baru mata pelajaran history di sekolah mereka tersebut. Rachel sendiri tidak malu-malu mengakui ba...