Patatje Oorlong

4 2 0
                                    

Lokasi restoran tempat mereka makan malam yang direncanakan Vivian memang tidak jauh dari coffeeshop tempat awal mereka ngopi-ngopi tadi. Untungnya, Vivian membawa serta jaket sehingga ia tidak kedinginan di jalan karena menggunakan dress yang lumayan mini.

Milo dan Vivian berjalan beriringan di tepi kanal sungai kecil yang memang membelah berbagai sudut kota.

Vivian tak berhenti mengembangkan senyum. "Saya masih tidak percaya bahwa saya bakal ketemu Bapak di Belanda," ujarnya.

Milo memasukkan kedua tangannya di dalam saku. Ia tersenyum tipis, membuat Vivian kesengsem. Gadis yang sudah satu tahun lebih dewasa dari sebelumnya tidak bisa memalingkan pandangannya dari Milo sejak pertama kali melihatnya di dalam Bulldog's Bong Coffeeshop tadi. Sosok menawan Mr. Milo langsung menyergapnya dan tak melepaskannya lagi.

Mereka sampai di sebuah restoran kecil yang tidak terlalu ramai, tetapi terlihat elegan. Mereka memesan sebuah tempat di dekat jendela kaca besar.

"Saya belum pernah ke restoran ini," ujar Milo.

"Oiya? Serius, Pak? Saya sudah beberapa kali. Kalau begitu, percaya saya. Saya akan pesankan makanan yang enak," ujar Vivian.

Milo mengangguk. "Padahal saya sudah lama di Amsterdam, tapi nggak memperhatikan restoran ini. Kamu, sudah berapa lama disini, Vi?"

"Dua bulan gitu deh, Pak. Berarti, Bapak sudah berapa lama?"

"Ya beberapa bulan juga, sih. Tapi yang jelas, sedikit lebih lama aja dari kamu."

Ketika waiter datang, Milo menyerahkan semua kepada Vivian. dengan bersemangat gadis itu memesan Patatje Oorlong, atau secara harfiah diterjemahkan sebagai Kentang Goreng Perang, serta Macaroni Schotel.

Patatje Oorlong memang memiliki nama unik seperti itu karena makanan kentang Belanda tersebut bercampur dengan banyaknya toping yang ramai seperti berperang saja. Sedangkan, di Indonesia, Patatje Oorlong lebih dikenal dengan nama loaded fries yang sedikit berbeda, karena berisi kentang goreng, tortilla chips, saus mayonaise dan parsley.

Sembari menunggu pesanan datang, keduanya kembali bercakap-cakap. Mereka saling berbagi pendapat tentang hidup di Amsterdam, berserta keadaan budaya dan sosialnya. Milo juga sempat meneritakan detil dari pekerjaannya sebagai salah satu tim sejarah museum Indonesia yang ditugaskan di museum-museum di Belanda untuk melancarkan misi pengembalian benda-benda bersejarah.

Vivian hampir tak terlihat seperti Vivian yang dahulu adalah muridnya. Gadis itu menjelma menjadi gadis dewasa yang luar biasa cantik. Menjadi model, sepertinya memang sudah merupakan bakat yang jelas dimiliki sang gadis. Milo tidak berbohong bahwa ia mengagumi gadis itu. Bahkan sudah sejak dari masa sekolah, Vivian memang terkenal akan penampilan fisiknya tersebut. Namun, diam-diam, sulit bagi Milo untuk bertahan dengan percakapan yang sudah selama ini tanpa menyentuh informasi apapun tentang Rachel.

"Ehm ..., jadi, kalian berempat yang satu geng itu, sudah pisah-pisah tempat dong, ya?" tanya Mr. Milo sembari melahap makanannya, tak lama setelah waiter menyajikan.

Ini yang menakutkan bagi Vivian. Jujur, selain terkejut dan terpana karena mendadak melihat Mr. Milo, ada ledakan di dalam dadanya yang membabibuta. Tadinya, selama dua jam ia berpikir bahwa ini karena ia begitu senang bertemu dengan sosok yang sangat ia kenal itu di Asterdam. Nyatanya, ia baru sadar sekarang bahwa itu bukan perasaan lega belaka, melainkan cinta dan asmara.

Semesta sudah menunjukkan kepadanya.

Vivian ingat ketika dahulu berbicara dengan Rachel bahwa bila Rachel tidak menginginkan Mr. Milo, ia yang akan melakukannya. Mungkin dulu ia setengah bercanda, karena toh, ia dan Rachel, termasuk Silvia atau Talulah, tidak akan memiliki kesempatan untuk menjadikannya nyata. Mereka adalah murid yang jatuh cinta kepada seorang guru.

Nyatanya, sekarang ia yang masih lajang, telah dewasa pula, bertemu dengan sosok Mr. Milo di sebuah tempat yang jauh dari sekolah, bahkan jauh dari negaranya. Keduanya bebas, tanpa terikat oleh aturan apapun. Dan yang jelas, tidak ada Rachel diantara mereka. Ia sungguh sudah berharap sekarang bahwa Rachel telah melupakan sosok Mr. Milo, begitu juga Mr. Milo yang ia harap, dahulu tidak memiliki rasa yang sama dengan Rachel.

Yang ia khawatirkan sekarang adalah bagaimana bila Rachel masih memiliki rasa itu, bagaimana bila ternyata Mr. Milo memiliki rasa yang serupa? Maka pertemuannya dengan Mr. Milo malah akan membawa potensi percintaan diantara keduanya kembali.

Ia tak mau melakukannya.

"Ya, gitu deh, Pak. Tapi ... tapi saya sudah jarang berhubungan dengan mereka, Pak. Ehm ... terakhir, ada kalik setengah tahun yang lalu. Sepertinya mereka semua hilang dari muka bumi."

"Oo .. jadi, sudah nggak saling chat gitu? Bukannya kalian deket banget dulu?"

Vivian menggeleng ragu. "Namanya sudah kuliah, Pak," jawabnya pendek. Kemudian Vivian memasukkan sesendok penuh schotel ke mulutnya. "Bapak, gimana? Masih kontak-kontak dengan guru-guru di Uni-National?" tanya Vivian mengalihkan pembicaraan.

Milo mengangguk tegas. Ia berhasil menyembunyikan kekecewaannya. Bahkan nama Rachel tidak sempat keluar dari mulut keduanya. Ia ingin sekali menghela nafas kuat-kuat untuk meredakan kekecewaannya tersebut. Ia sendiri memiliki kekecewaan ganda. Pertama karena tak menemukan informasi apa-apa dari Vivian, kedua, ia kecewa dengan diri sendiri karena nyatanya masih memikirkan Rachel sampai sekarang.

Vivian di depan Milo kini sudah lebih dahulu menghembuskan nafas kelegaan yang sangat. Ia sadar ia sedang berbohong dan menjadi pengkhianat. Tidak hanya kepada Rachel, tetapi kedua sahabat anggota the Four Musketeers lainnya. Namun, ia bertekad untuk tidak membahas tentang Mr. Milo kepada mereka, terutama Rachel. Tetapi ia tidak akan begitu saja menghilang dari mereka. Ia hanya ingin menemukan sesuatu yang dapat memenuhi kekosongan di jiwanya. Hari ini, dua jam yang lalu, ia merasa sungguh hidup. Sepertinya penambal lubang di dinding hatinya itu adalah Mr. Milo. Sosok yang begitu mempesona bahkan sampai saat ini.

"Jadi, kita bisa sering ketemu, nih, Pak?" ujar Vivian.

Milo tersenyum dan mengangguk kecil. Pikirannya entah dimana. Sebaliknya, Vivian tak mampu menahan senyum kegirangannya. Ia berniat akan mencoba untuk melakukan apa yang gagal dilakukan Rachel dahulu, yaitu membuat Milo jatuh cinta padanya. Ia memiliki semua hal yang diperlukan: kerupawanan, kerpecayaan diri, tekad dan cinta.

"Saya masih belum puas ketemu dengan Bapak," ujar Vivian berterus terang.

"'Kan kamu sendiri yang bilang kalau kita bisa sering ketemu," ujar Milo sembari tersenyum lebar.

Vivian merasakan wajahnya memerah. Ia malu sekaligus senang. Jangan-jangan Mr. Milo diam-diam merasakan hal yang sama dengannya. "Jadi, beneran ya, Pak. Besok bisa ketemu lagi, dong?" tanya Vivian berharap.

"Ya, lihat kerjaan. Kamu juga sibuk deh, kayaknya."

"Bisa diatur, Pak. Eh, kok saya manggilnya Bapak, ya? Kita udah bukan guru-murid lagi, lho. Kaku banget, sih."

Milo tertawa. "Jadi, mau panggil apa?"

"Ehm ..., Mas boleh? Mas Milo. lucu deh kayaknya. 'Kan Bapak, eh, Mas Milo orang Jawa. Mas-mas Jawa," ujar Vivian terkikik.

Milo mengedikkan kedua bahunya. "Terserah kamu aja," ujarnya pendek, tetapi pikirannya mengawang entah kemana.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang