"Will, we need to talk. Can I meet you somewhere?" tanya Rachel ketika ia berpapasan dengan William di koridor sekolah.
Harusnya William girang karena Rachel ingin mengajaknya keluar. Namun, ia tahu dari bahasa yang digunakan Rachel, serta caranya berbicara, ini bukanlah sebuah hal yang seharusnya menyenangkan. Meskipun Rachel terlihat seperti biasa, ramah dan ceria, ia serius.
"Sure. This weekend? I'll pick you up," ujar William menyarankan untuk dirinya menjemput Rachel.
"No, Will. I'll just chat you later. We'll meet at the spot. Ketemuan aja di tempat. Cuma nanti aku yang kasih tahu ketemuan dimana. You okay with that?"
"Iya, no prob, Rach."
Rachel mengangguk, kemudian tersenyum tipis. "See ya, Will," ujarnya sembari melambaikan tangan dan berlalu.
William menghela nafas pendek dan bertanya-tanya di dalam hatinya, apa gerangan hal penting yang ingin disampaikan oleh Rachel.
Momen itu akhirnya terjadi. Rachel meminta William untuk menemui dirinya di sebuah café yang tenang di sisi kota. Tidak terlalu jauh, tetapi memang juga memiliki suasana yang berbeda dibanding pusat kota. Café itu tenang, dengan konsep asri dengan tanaman merambat di pilar dan dinding bangunan. Air mengalir dari kolam buatan terdengar bersatupadu dengan musik swing jazz lembut yang diputar dengan volume pas oleh café.
Rachel selalu terlihat cantik, apalagi oleh William yang memang sudah gandrung dengan gadis itu dari lama. Ia ternyata sudah hadir dahulu. William melihatnya dari kejauhan sedang membaca buku dan sudah memesan secangkir matcha tea. Rachel mengenakan celana pendek dan kaos lengan panjang berwarna pastel. Sepertinya pakaian santai semacam ini adalah idola yang membuatnya nyaman. William senang karena Rachel mengenakan pakaian kasual untuk menemuinya, tidak terlalu formal atau kaku.
Ah, padahal ia tak tahu apa yang akan dibicarakan Rachel.
"Hey, Will. Ayo duduk. Mau pesan apa. It's on me today," kata Rachel ketika melihat kedatangan William.
"Kalau tahu kamu mau traktir, aku aja yang seharusnya milih tempat. Fancy and expensive one, for sure," respon William.
Rachel tertawa. "Ya karena aku yang traktir, makanya aku pilih tempat ini, yang harganya pas di kantong."
William balas tertawa.
Ia duduk, memanggil waiter dan membutuhkan waktu semenit untuk akhirnya memilih segelas coklat panas.
"Nggak mau ngemil atau makan apa gitu?" ujar Rachel.
William menggeleng. "It's easy. Nanti saja, Rach."
Rachel mengangguk-angguk.
"So, how's the plan? Gimana rencana kuliah kamu, Will?" Rachel membuka percakapan.
"Aku masih bingung sebenarnya, antara Australia, New Zealand, atau ke Inggris."
"Ambil bisnis, 'kan, Will?"
"Yes, Rach. My Mom wants me to take either Oz or New Zealand. Dia mikir lebih deket. Kalau Inggris lumayan jauh. Lagian, Rita mungkin ke Jepang atau Korea ambil bahasa atau budaya gitu. How about you?"
"Singapore. Ambil kampus seni."
"Ah, I see. Setahuku kamu suka design interior gitu 'kan ya?"
"Kamu tahu banyak juga soal aku, ya Will?"
William menunduk malu.
"Aku senang bisa punya teman kayak kamu, Will. Sebentar lagi kita bakal melanjutkan pendidikan kita masing-masing, coba menggapai cita-cita dan masa depan."
Rachel tersenyum dengan kata-katanya sendiri. Segelas coklat panas datang diantarkan oleh sang waiter.
"Aku nggak mau kita punya kenangan yang buruk, Will."
William menghela nafas. Ia paham kemana arah pembicaraan ini.
"Selama ini, kamu pasti punya suatu hal yang pengin kamu omongin sama aku, 'kan? Why don't you fire it up?"
William menatap Rachel. Ia suka menatap sepasan pipi dan bibir yang kerap memerah itu. rambut panjangnya yang lurus dan kerap tersibak begitu saja membuat William menahan nafas.
"I'm sorry for being a coward, Rach. Maaf selama ini aku menjadi pengecut. Mungkin sebenarnya karena aku tahu apa yang bakalan terjadi. I ... I like you so much. Too much, I guess. Cuma aku nggak berani bilang. Karena aku tahu kamu nggak bakal menerima aku. I'm not your type, I suppose. Jadi ... jadi ... aku sengaja tidak menyatakannya supaya kita masih bisa bergaul. Kita masih bisa komunikasi, atau ngobrol dan jalan-jalan keluar seperti ini. Sampai, ya mungkin ini udah waktunya."
Rachel menahan genangan air mata di pelupuk matanya.
"Hey, Rach. Are you okay? Aku salah ngomong?" ujar William sedikit panik.
"No. It's not you, it's me. Ini nggak adil buat kamu Will. Aku jadi cewek yang jahat deh kayaknya."
"I'm okay, Rach, seriously. Aku tahu momen ini bakal terjadi. Aku tahu kita bakal pisah buat melanjutkan pendidikan. Tapi itu udah cukup. Dibanding aku ... ehm, nembak kamu dulu, terus kamu tolak dan hubungan kita bakal aneh, maka aku akan kehilangan kesempatan untuk menikmati hari-hariku melihat atau ngobrol sama kamu sampai sekarang."
"Nggak, ini tetap nggak adil. Kamu nggak bisa mendapatkan apa yang kamu mau, Will. Kamu baik, tidak ada yang salah dengan kamu. Cuma, aku nggak tahu kenapa."
"It's okay. I promise, it's alright, Rach."
Rachel berhasil menahan air matanya. Ia menatap William dalam-dalam. "Tidak adil buat kamu, juga nggak adil buat aku. Kita punya nasib yang sama, Will. Mungkin ini tidak berarti apa-apa, mungkin malah membuat kamu sakit. Tapi sungguh, aku berharap bahwa setelah kamu tahu ini, kamu juga tahu bahwa aku paham apa yang kamu rasakan. Aku juga merasa yang sama dengan orang lain, Will. Kami nggak bisa bersama karena, ya, mustahil rasanya buat bersama. Initinya, ini adalah hari-hari akhir aku bisa menikmati kebersamaan dengan orang itu, orang yang aku suka."
Rachel khawatir dengan reaksi William. Ternyata ia dikagetkan dengan tawa William.
"Berarti karma dong, Rach?"
Rachel terhenyak. "Iya mungkin," jawab Rachel. Keduanya tertawa. Cukup keras, dan cukup lama. Seperti kesialan yang menimpa hidup remaja mereka ini adalah sesuatu hal yang konyol dan perlu ditertawakan.
"Aku senang kamu paham perasaan aku, Rach. Tapi, sebaliknya, aku kasihan juga. Aku mau yang terbaik buat kamu, sumpah."
"Iya, aku juga kok, Will. Aku mau yang terbaik buat kamu, dan buat dia. Walau kamu nggak sama aku, dan dia juga nggak sama aku, aku mau kalian sama-sama mendapatkan orang yang pas di masa depan. Lagian, kita masih muda, 'kan? Why so serious?"
Keduanya kembali tertawa.
William tidak bertanya-tanya tentang siapa orang yang dimaksud Rachel dan apa cerita di baliknya. Ia tidak peduli. Ia hanya lega bahwa akhirnya bisul yang sudah lama menyaktinya, kini sudah meledak.
Hari itu dihabiskan keduanya dengan menyenangkan. Keduanya berbagi cerita dengan semangat, dengan ceria dan bahagia. William menikmati keindahan orang yang teramat ia sukai di depannya sebaik-baiknya, sebelum kemudian mereka sungguh berpisah.
Rachel tak menduga sebelumnya bahwa semua ini akan berjalan lancar. Ia lega, dan ia senang William pun lega. William baginya adalah cerminan dirinya sendiri, mencoba menggapai sesuatu yang tak mungkin diraih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lini Masa
RomanceRachel Loh sepertinya sungguh suka dengan Mr. Milo. Bukan hanya suka, Sophia Chang, sang sahabat, mencurigai bahwa Rachel sedang jatuh cinta pada guru baru mata pelajaran history di sekolah mereka tersebut. Rachel sendiri tidak malu-malu mengakui ba...