Lorong

10 2 0
                                    

Rachel berteriak kegirangan di kamarnya, meski sembari menutup wajahnya dengan bantal. Senin pagi ia juga berteriak di dalam kamar mandinya, meski harus menutupnya dengan handuk. Di sekolah, ia tak bisa menutupi senyum lebar sumringahnya. Ia tak sabar untuk menceritakan pengalaman luar biasanya ini kepada para anggota Four Musketeers lainnya. Hari Sabtu itu, ia menghabiskan waktu sampai sang mama sungguh selesai menyalon. Itu artinya lebih dari satu jam ia berbicara dengan Mr. Milo. Secara intim, dekat dan akrab.

Rachel melayang-layang. Ia tak malu untuk berpikir lebih jauh: jangan-jangan Mr. Milo berjodoh dengannya. Sabtu malam dan seharian penuh di hari Minggu ia sudah berkhayal bagaimana rasanya pacaran dengan Mr. Milo, sang guru muda nan menawan tersebut.

William dan Rita berjalan berdampingan. Rachel sudah melihat keduanya dari jauh di lorong sekolah tempat mereka menuju ke kelas masing-masing. Mendadak ada rasa tidak nyaman ketika harus berpapasan dengan kedua kakak beradik tersebut, lebih tepatnya kepada William. Rachel tidak membenci cowok itu. Tidak ada yang salah dengan William. Namun, ia tidak punya rasa terhadapnya. Padahal, semua orang tahu betapa William melakukan beragam cara untuk mendekati dirinya. Bahkan cara-cara itu kadang terlalu menonjol. Rachel menjadi kerap tak enak hati.

"Hi, Rach," sapa William.

Rachel mengembangkan senyumnya dan membalas. "Hi, Will. Hi, Rita."

Rita mengangguk. Tetapi kemudian langsung berjalan meninggalkan William dan Rachel.

Rachel tidak heran dengan perilaku saudari kembar William tersebut. Rita bukan gadis yang selalu dingin, tapi sepertinya ia hanya bisa berbunga di lahan tertentu. Hanya bersama beberapa temannya saja Rita kadang-kadang melihat Rita tertawa ceria dan seperti menjadi dirinya. Bahkan bersama William pun, Rachel tidak terlalu sering melihatnya dalam keadaan senang dan bersinar. Atau mungkin Rachel saja yang tidak terlalu memerhatikan Rita.

Gadis itu cantik sebetulnya. Tentu saja, karena William pun punya sisi good-looking-nya sendiri. Garis-garis wajahnya lembut, sayang air mukanya cenderung datar.

Sebaliknya, William, selalu memandang Rachel dengan mata yang berbinar. Sulit untuk tidak merasa tidak enak dipandang seperti itu.

"Ehm, ngapain aja weekend kemarin, Rach?" tanya William.

"Biasa lah, Wil. Tiduran aja. Paling antar Mom sebentar keluar. Kalau you?" Ujar Rachel tanpa mengurangi senyum dan keceriaan di wajahnya.

"Just the old same days. Sama aja, Rach. Tiduran di rumah."

"Helooow, Rach ...," seru seseorang dari jauh.

Rachel kini yang matanya memancarkan binar. Ia sudah merasa bahwa percakapan akward-nya dengan William entah akan berakhir dimana, kini mendapatkan harapan besar. Dwi muncul berlari kecil, kemudian sengaja menubrukkan tubuhnya pelan ke arah Rachel. Tidak hanya Dwi, Vivi juga muncul di belakangnya. Gadis tinggi semampai nan langsing itu ikut sok-sok-an meniru Dwi menubrukkan tubuhnya.

"Ih, apaan sih kalian ini," ujar Rachel pura-pura protes.

"Nggak kangen sama kami?" ujar Dwi sengaja dibuat-buat manja.

Tak lama, sosok Sophia juga muncul, berjalan berbarengan dengan Jordan.

"What's up?" ujar Jordan menyapa William, kemudian mengangguk dan tersenyum kepada semua anggota Four Musketeers lainnya.

Sophia yang wajahnya memang sudah selalu judes sejak dilahirkan, memandang tajam ke arah Dwi dan Vivian.

Yang dipandang dengan tajam untuk sepersekian detik mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan sahabat mereka yang satu itu. Dwi dan Vivian kemudian melihat ke arah William dan sontak sadar bahwa kehadiran mereka telah mengganggu momen kebersamaan William dan Rachel. Semuanya tahu bahwa William menyukai Rachel setengah mati dan mencari cara untuk sebisa mungkin bertemu dengan gadis itu.

"Ah, I suddenly I feel an urgent need to go to the restroom. You come with me, Dwi?" ujar Vivian mendadak. Tanpa perlu persetujuan siapapun, termasuk Rachel, Vivian menarik lengan Dwi dan menyeretnya menjauh.

Sophia membetulkan kacamatanya, kemudian melakukan hal yang sama seperti Vivian. Hanya saja, ia menyeret tangan Jordan yang terpaksa ikut sembari melemparkan pandangan bingung dan tak paham kepada Rachel dan William.

Rachel menahan emosi dan perubahan wajahnya yang kesal. Sebaliknya ia menghela nafas dan memalingkan wajah ke arah William. Ia tersenyum. "Well, those guys are weird. I know. But, it's just because I'm also weird."

"There's nothing weird about you, Rach. You're good, just what you are," balas William. Juga tersenyum.

He's not a bad guy. William juga bukan tidak menarik. Tapi, bagaimana ya, pikir Rachel. Ia memang tidak memiliki larik-larik rasa suka kepada saudara kembar Rita Lim itu.

Kini keduanya berjalan berdampingan di lorong sekolah menuju ke kelas masing-masing. Rachel sudah tidak mungkin memiliki alasan atau kesempatan untuk menghindari William.

William tampak menikmati kebersamaan mereka. Ia beberapa kali berpaling memandang wajah Rachel yang memantulkan sinar mentari di pagi hari yang menembus jendela kaca sekolah mereka tersebut.

"Jadi, kalau weekend kamu memang jarang kemana-mana, ya?" tanya William.

Akan aneh kalau Rachel sekadar mengangguk. Maka ia menatap mata William. "Iya nih, Wil. Paling tiduran di kamar. Atau main hape deh," ujarnya, meringis.

"Ehm, gimana kalau minggu depan, ehm, kita kemana, yuk. Nonton film, atau nongkrong di café?"

William sudah pernah mengajaknya kencan. Tiga kali. Dua kali ia tolak mentah-mentah dengan alasan bahwa ia sibuk membantu mamanya. Sekali ia tolak karena memang ia memiliki rencana dengan para anggota Four Musketeers. Namun, untuk yang terakhir ini, akan sulit baginya untuk menolak ajakan William. Lagipula, ia sudah mengatakan bahwa weekend-nya akhir-akhir ini memang sering dihabiskan di atas tempat tidur saja. Sialnya, sahabat-sahabatnya sendiri yang dikomando Sophia, sepertinya mendukung agar hubungannya dan William agar segera terjadi.

Ini pasti pekerjaan Sophia yang sedari awal keberatan dengan ketertarikan Rachel terhadap Mr. Milo. Itu pikir Rachel.

"We'll see, Wil. Seharusnya sih memang gak ada rencana apa-apa weekend ini," ujar Rachel jujur.

William tersenyum lebar. "Great. Let me make the plan. I yang jemput and everything is on me," kata William sedikit bersemangat.

Di depan, Mr. Milo berjalan ke arah Rachel dan William. Ada Talulah di sampingnya. Gadis jangkung itu tersenyum sumringah menghadap Mr. Milo, mendengar setiap ucapannya sembari memeluk beberapa buah buku di dadanya.

Rachel kali ini tak mungkin mampu menahan perubahan pada raut wajahnya. Mukanya langsung memerah, terutama di kedua gundukan pipi dan sepasang bibirnya yang membuka lebar, tersenyum. Mr. Milo di depan sana, juga melihat ke arah Rachel kemudian membalas senyumannya.

"Hi, Pak," sapa Rachel. Ia hanya berharap suaranya tak bergetar. Di pikirannya masih segar gambaran Mr. Milo tempo hari. Setiap detil garis-garis wajahnya yang tegas tetapi lembut di saat yang sama. Manis senyumannya yang lebar, dan aroma tubuh sang guru pada saat mereka duduk saling berdekatan di bangku taman itu.

"Hi, Rach. Oh, soal Circe, saya kasih besok ya. Mungkin sorean gitu. I have finished reading it, actually. Tapi saya lupa bawa hari ini," ujar Mr. Milo.

Rachel mengangguk-angguk cepat.

Mr. Milo berlalu, tetapi entah mengapa Rachel seperti sempat menangkap perubahan aneh di raut wajah Talulah.

"You baca novel, Rach? Kok I baru tahu. I juga punya Circe sih sebenarnya. Kalau I tahu you suka baca novel, I bisa pinjamkan. Ada di rumah tuh, banyak banget," ujar William bangga.

Ah, damn! Rachel baru sadar bahwa William juga adalah penggila novel. Mungkin juga itu sebabnya Sophia pada dasarnya setuju dengan William.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang