Uni-National

13 2 0
                                    

Rachel berjalan gontai menyeret tubuhnya ke sekolah. Bukan karena ia sedang tidak ingin ke sekolah, sebaliknya ia malah semakin senang berangkat ke sekolah akhir-akhir ini. Dulu alasannya karena di sekolah lah ia bisa bertemu dengan sahabat-sahabatnya, berbicara hal yang seru-seru serta merencanakan hal-hal yang sama serunya.

Sekarang, Mr. Milo adalah sosok utama yang membuatnya begitu cinta sekolah.

Masalahnya, hari ini tidak ada jadwal pelajaran history yang diampu guru baru tersebut. Ia baru bisa melihat Mr. Milo dua hari lagi, hari Jumat, ketika ada pelajaran sejarah di kelasnya.

Memang ia begitu malu dan merasa berantakan kemarin setelah kejadian di taman kantin. Tapi, itu sama sekali tidak mengubah fakta bahwa ia selalu menginginkan untuk bisa melihat dan bertemu dengan Mr. Milo. Hanya saja mungkin dengan kondisi yang lebih subtle, yang lebih ringan, biar jantungnya bisa memompa dengan kecepatan normal serta wajahnya tak terlalu merah.

"Woy, napa lemes gitu?" seru Vivian dari jauh. Tubuh rampingnya berjalan cepat memotong jarak menyamai Rachel. Yang dituju enggan memperlambat langkahnya yang memang sudah lambat.

"You sakit beneran ya? Tadi malem nggak ada balas chat di group sama sekali. Hari ini juga you masih kelihatan pucet gini," tanya Vivian dengan prihatin.

Nampaknya ia sudah melupakan percakapan semalam di chat group tentang efek Mr. Milo terhadap pucatnya Rachel.

Karena sudah kepalang basah, lagipula ia masih belum ada sedikitpun kehendak untuk menjelaskan apa-apa, maka Rachel mengambil jalan berbeda. "Nggak tahu nih, mungkin juga. Lemes dari kemarin. Makanya langsung tidur. Nggak sempet baca chat segala."

Padahal, Rachel sungguh tidak bisa tidur semalaman. Rasa malu sekaligus detil wajah Mr. Milo mengambang-ambang di dalam benaknya.

"Beneran you mau sekolah? Nggak pengin izin aja atau gimana? Aku telponin mommy-mu aja ya biar dijemput?" ujar Vivian kembali, menawarkan untuk membantunya.

Rachel langsung menggeleng cepat-cepat. Mr. Milo mungkin tidak mengajar di kelasnya hari ini. Tapi ada waktu istirahat, yang mana mungkin sekali ia masih bisa melihat sosok itu di kantin. Itulah harapan satu-satunya. Namun, memang perasaan aneh yang saling bertolak belakang ini ruwet sekali di pikirannya. Ia mungkin harus melawan rasa gugup dan malu ketika kelak bertemu dengan Mr. Milo lagi karena memang ia begitu menginginkan untuk dapat melihat sosok itu sesering mungkin.

"I'll be just fine," respon Rachel pendek.

Sebenarnya Vivian dan Sophia tidak satu kelas dengan Dwi serta Rachel. Sejak kelas 10, Vivian dan Sophia sudah mengambil mata pelajaran science seperti chemistry alias kimia, physics alias fisika dan biology. Sedangkan Dwi serta Rachel memang cenderung berbagai kemampuan dan ketertarikan yang sama di bidang ilmu-ilmu sosial. Makanya, sejak bertemu dengan sosok Mr. Milo, Rachel yakin ia sudah mengambil keputusan yang tepat.

Maka, meski menyebalkan, cukup wajar bagi Rachel ketika Sophia tidak ikut ambil pusing dalam gegap gempita popularitas ketampanan Mr. Milo. Pertama, jelas ia sudah memiliki pacar, seorang idola sekolah pula. Kedua, ia tidak mengambil mata pelajaran sejarah. Vivian, di sisi lain, tidak mau ketinggalan dengan keramaian ini. Meski ia satu kelas dengan Sophia, tetapi ia tak berbagi pendapat dengan sahabatnya itu. Ia setuju bahwa Mr. Milo sungguh memesona. Aura ketampanannya satu paket dengan senyuman mematikan, aura positif dan semangat kemudaannya. Ia tidak tahu bagaimana cara Mr. Milo mengajar, tetapi kaget juga bahwa gosip berputar di dalam kelompok siswa laki-laki pula. Tidak sedikit anak laki-laki dari kelas sosial yang terang-terangan mengatakan bahwa Mr. Milo adalah sosok guru yang seru.

Dwi sudah menyambut Rachel di depan pintu kelasnya. Gadis manis berkulit kuning langsat itu tersenyum lebar ke arah Rachel.

"Lo napa sih senyum-senyum gitu?" ujar Rachel.

Vivian mengernyit. "Idih, pagi-pagi udah aneh. Udah deh ya, aku masuk dulu. See ya guys di break pertama, ya," ujar Vivian sembari berlalu. Ia beranjak ke kelas science, meninggalkan Dwi dan Rachel.

"Rach, Rach. You udah lihat Mr. Milo hari ini?" tanya Dwi dengan berbisik-bisik. Sepasang matanya berbinar terang.

Kini Rachel yang mengernyit. Ada apa anak ini sepagi ini sudah membahas mengenai idola mereka bersama itu?

Rachel menggeleng.

"He's sooo fine today. I lihat dia sudah shave, cukur kumis dan jenggot. Wajahnya jadi kinclong lagi, tambah muda dan makin good looking," ujar Dwi masih berbisik-bisik tetapi dengan semangat yang sulit untuk ditutupi.

Deg!

Mendengar cerita Dwi, Rachel kembali merasakan sulit bernafas. Ia menahan perasaan agar wajahnya tak memerah. Namun, sebagai hasilnya, sepasang matanya yang sipit itu kini diusahakan melebar. Tujuannya agar Dwi melihat bahwa Rachel merasakan excitement yang sama dengannya.

"Really? Lihat dimana tadi?"

"Dia sampai pagi-pagi banget ternyata. I lihat dia lagi ngobrol gitu sama Talulah. Tahu 'kan, si paling sejarah," ujar Dwi dengan sedikit sinis.

Rachel paham maksud Dwi, meski dia tidak terlalu suka dengan cara Dwi menyebutkan nama Talulah.

Walau memiliki wajah yang hampir selalu terlihat tersenyum, tidak ada yang tahu bahwa Talulah tidak nyaman bersekolah di Uni-National. Satu-satunya hal yang membuat hidupnya berarti adalah pelajaran sejarah dengan Mr. Rahman. Untuk itu Talulah habis-habisan mempelajari dan berusaha di pelajaran itu. Itu sebabnya, Talulah malah menjadi siswi berprestasi di Uni-National dalam bidang sejarah. Ia sering ikut lomba dan kompetisi sejarah lokal, bahkan nasional. Dan tentu saja, ia juga sering memenangkan kejuaraan tersebut.

Itu sebabnya, tidak heran bila Dwi melihat Talulah 'menempel' Mr. Milo, bahkan sedari pagi. Ia menduga Talulah pasti membicarakan materi sejarah setiap waktu dengan guru baru itu, plus Mr. Milo memang sedap dipandang.

Namun, Rachel tidak merasa adil melihat Talulah dari kacamata yang buruk. Sesungguhnya, memang tidak hanya Dwi yang berpikiran sama mengenai Talulah. Siswi-siswi Uni-National banyak yang berpandangan tidak terlalu positif mengenai gadis berdarah Texas itu.

Rachel menduga itu lebih karena iri semata. Sekolah Uni-National adalah satu dari dua sekolah internasional di kota yang tidak terlalu besar ini. Imej yang tercipta adalah bahwa sekolah Uni-National adalah gudangnya siswi-siswi cantik dari keluarga yang kaya, atau campuran warga asing. Itu yang membuat banyak wajah-wajah para siswi cukup unik dan menarik.

Rachel mengakui itu ada benarnya. Meski tidak semua murid secondary berasal dari keluarga campuran, bisa dipastikan semuanya adalah orang kaya. Talulah, selain Silvia, dan Vivian sahabatnya, bisa dikatakan adalah tiga besar siswi paling cantik di sekolah ini. Talulah memiliki darah dari seorang ayah kebangsaan Amerika Serikat dan ibu yang berdarah Filipina, tetapi warga negara Indonesia.

Tubuhnya yang tinggi nan tegak itu sepertinya masih terus bertumbuh. Ia semakin hari semakin tinggi semampai saja. Wajahnya yang cantik dengan raut wajah seperti selalu tersenyum dan sepasang pipi yang kerap merah merona, serta kemampuan akademisnya yang mumpuni, membuat keberadaannya sangat menonjol. Entah sudah berapa siswa laki-laki yang ia tolak ketika menyatakan cinta.

Begitu legendanya.

Namun, hanya karena ia cantik, populer dan pintar, tidak semestinya para murid perempuan merasa iri dengki, cemburu atau tidak nyaman dengannya. Talulah tidak pernah melakukan hal buruk, menurut Rachel. Bila kini pun gadis itu dekat dengan Mr. Milo, sudah menjadi kewajaran. Dari dulu memang Talulah memiliki banyak prestasi di bidang sejarah.

"Jangan gitu ih, Dwi. Just let the girl be. Lagian Mr. Rahman 'kan udah resign dan diganti Mr. Milo. Talulah pinter di bidang sejarah, jadi ya maklum kalau mereka langsung nyambung," ujar Rachel.

Ia sungguh tak peduli dengan hal-hal yang berhubungan dengan Talulah. Tidak pantas Talulah dibawa-bawa seperti sebuah masalah. Tapi, sesungguhnya, dibanding mendengar cerita Dwi tentang Mr. Milo yang sudah mencukur kumis dan jenggotnya, ia ingin sekali melihat sosok tersebut secara langsung.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang