Milo memang tidak menyangkal atas paras ayu milik Rachel. Lagipula apa salahnya mengakui bahwa muridnya cantik? Banyak sekali siswi cantik di Uni-National, begitu juga di sekolah tempatnya mengajar sebelum-sebelumnya. Wajar-wajar saja. Masalahnya, sebelumnya ia tidak begitu memerhatikan Rachel sedemikian rupa, karena memang seperti itulah seharusnya sikap seorang guru. Tidak peduli bila gurunya masih lajang seperti dirinya. Itulah sikap profesional, beretika dan layak.
Namun, yang membuatnya merasa sedikit aneh dan tidak enak adalah bahwa tanpa sungguh disengaja, kehadiran Rachel yang mendadak tepat di depannya itu sempat merenggut segala perhatiannya. Rachel hadir apa adanya. Terlihat sekali bahwa ia bertemu Milo dalam keadaan yang memang tidak disengaja. Pakaian yang ia kenakan santai dan tidak seperti dipersiapkan sebelumnya seperti layaknya gadis-gadis yang hendak bepergian ke mall, coffeeshop atau café.
Masalahnya, Rachel terlihat sangat cantik, menarik, mempesona dan bahkan stunning. Rambut panjangnya yang tergerasi dan jatuh lurus sedemikian rupa itu membat senyuman lebar Rachel semakin menawan. Matanya menyipit terhimpit oleh sepasang pipi yang mengembang naik. Wajah Rachel memerah, membikin manis wajahnya semakin kentara, apalagi dengan bantuan sinar mentari sore yang keemasan menjadi latar belakangnya.
Perasaan ini menciptakan rasa menyesal dan rasa bersalah di dalam hati Milo. Bisa-bisanya ia naksir muridnya sendiri, yang toh tercipta dalam sebuah kejadian sepersekian detik?
"What are you doing here, Rachel?" tanya Milo, setelah menahan emosi dan kegugupannya sekejap tadi.
Rachel tertawa lepas. "Are you asking me back? Again?" ia kembali tertawa.
Sungguh semesta bekerja dengan cara yang tak terduga.
Rachel sama sekali tak tahu bahwa "Mr. Milo-nya" sedang menyembunyikan rasa terpesonanya pada kemunculan dirinya. Milo terlihat seperti Mr. Milo normal yang terkejut saja karena bertemu salah satu muridnya tanpa sengaja. Sedangkan, Milo pun tak tahu sama sekali perasaan acak adul dan detak jantung bergemuruh yang disembunyikan mati-matian di balik senyuman menawan Rachel tersebut.
"Aku kebetulan sedang antar Mama ke salon. Yang itu tuh, Pak," ujar Rachel sembari menunjuk ke arah salah satu bangunan ruko.
Mata Milo mengikuti telunjuk Rachel, kemudian mengangguk-angguk asal, sebagai bentuk respon saja.
Gosh! Mengapa bahkan telunjuk anak ini terlihat indah? Jerit Milo.
Ia ingin menampar wajahnya sendiri atas ide liar yang dengan sembrono menerobos pikirannya itu.
Aku sudah gila! Dasar freak! Umpatnya kembali. Milo berusaha meyakinkan dirinya bahwa kejadian aneh ini adalah akibat dari keterkejutannya melihat sosok Rachel yang berbeda dibanding ketika ia berada di sekolah. Ia jelas terlihat lebih dewasa dibanding ketika sedang mengenakan seragam sekolah. Mungkin juga karena Milo sudah terlalu lama menjomblo. Jadi, secara tidak sadar, ada rasa sepi yang mengendap di dalam jiwanya. Itulah sebabnya Milo menggunakan taman ini untuk menikmati waktu kesendiriannya selama ini. Lalu, ketika mendadak seseorang perempuan cantik mendadak datang menyapanya, mungkin sekali rasa akan kehadiran seseorang itu langsung mengguyur hati dan perasaannya.
Itulah pembenaran yang Milo rasakan.
"Bapak sendiri sering kesini, ya?"
"Iya. Saya sering kesini. Baca buku, duduk, santai. Apalagi Sabtu-Sabtu gini," ujar Milo sudah mulai mampu berbicara dengan santai.
"Wah, lucu ya. Serius, Pak. aku sering lho kesini. Tapi belum pernah sekalipun lihat Bapak. Ya, cuma antarin Mama ke salon, sih. Dan aku belum pernah masuk ke taman sini. Biasa nongkrong di coffeeshop, atau lihat-lihat barang-barang lucu-lucu di shop yang itu tuh, Pak," balas Rachel sembari kembali menunjuk satu tempat dengan jari yang sama dengan yang ia gunakan untuk menunjuk salon tempat perawatan mamanya.
"Ooo ...," respon Milo.
Rachel menahan nafas. Wajah Milo lucu baginya ketika menyebutkan "Ooo ..." itu tadi.
Sudah kepalang tanggung. Basah, sekalian mandi saja, pikir Rachel.
Ia duduk di samping Milo.
Bangku itu mungkin hanya dirancang untuk tiga orang, itupun benar-benar pas. Makanya, biasanya hanya orang-orang yang akrab saja yang duduk di atas bangku taman yang sama. Sedangkan orang asing dan tak saling kenal akan memilih untuk mencari bangku lain bila satu bangku sudah digunakan orang lain, meski hanya seorang.
Bisa dibayangkan bahwa Rachel dan Milo sekarang duduk berdekatan.
Rachel kembali dapat mengendus aroma nyaman dan menenangkan dari Milo. Entah parfum apa yang Mr. Milo gunakan, pikirnya. Ia menyelipkan helaian rambut ke belakang telinganya, membuka wajahnya yang bersemu merah. Rachel sudah kadung nekat.
"Buku apa sih, Pak?" kata Rachel menunjukkan rasa penasarannya.
"Oh, ini. Novel. Circe judulnya. Adaptasi legenda Yunani gitu."
Rachel tertawa kecil. "Tetep ya. Nggak jauh-jauh dari sejarah, legenda, mitologi."
"Seru kok novel-novel kayak gini. Nggak selalu baca argumentasi sejarah. Sekali-kali boleh kok baca karya fiksi, meski kadang masih ada hubungannya. Tapi lebih bebas aja, nggak perlu sibuk menghubungkannya dengan bukti segala."
Rachel menikmati wajah Milo. Sepasang matanya tak lepas menelusuri setiap sudut orang yang ia sukai itu.
"Mau pinjam setelah saya selesai baca?" tanya Milo.
"Eh ..., ehm ... boleh deh, Pak. Tapi ... tapi saya jarang baca. Kalau nanti bacanya pelan-pelan dan agak lama balikinnya gimana, Pak?" dengan terbata-bata Rachel menjawab. Ia jujur. Ia bukan seperti Sophia yang kutu buku. Jadi, membaca mungkin sekali menghabiskan waktu lebih lama dari orang-orang yang hobi membaca. Tapi di sisi lain, ia tidak mungkin menolak kemungkinan untuk terus melanjutkan berhubungan dengan Milo.
Milo tersenyum dan mengangguk. "Nggak masalah. Tapi saya selesaikan dulu ya."
Rachel tersenyum, memalingkan kepala. Wajahnya terasa terbakar karena efek dari senyuman Milo yang benar-benar dahsyat itu.
Setelah meredakan rasa terbakar yang melingkupi wajahnya, Rachel kembali memberanikan diri menatap Milo. "Terus, sampai jam berapa biasanya Bapak disini?"
"Ya tergantung. Kalau sendirian, bisa lama. Suka-suka aja. Paling kalau udah gelap sama lapar saya pergi sendiri."
"Ooh, jadi kalau ada temannya, Bapak mau cepat pulang, nih, ceritanya."
"Eh, bukan gitu maksudnya."
Rachel tertawa lepas karena melihat perubahan mimik wajah Milo yang terkejut dan terlihat tidak enak. Padahal ia sedang bercanda saja.
Satu hembusan angin mengibarkan beberapa helai rambut Rachel sehingga sedikit menutupi bagian depan wajahnya. Rachel merapikannya kembali, menyelipkannya di belakang telinganya. Satu larik cahaya menembus dedaunan dan ranting-ranting pepohonan, tepat menyinari wajah Rachel yang terbuka tersebut. Wajah gadis itu dari tadi selalu kemerahan, kontras dengan kulitnya yang putih, cenderung pucat. Bahkan sepasang bibir Rachel terlihat bagai bara yang bersinar memerah di malam hari. Semua itu menjadikan rupa Rachel bercampur antara cantik, menawan, manis, imut dan sekeranjang kata-kata yang berhubungan dengan pesona lainnya.
Milo menahan nafasnya, kemudian memalingkan wajah. Ia merasa konyol dan tidak nyaman dengan keadaan ini. Milo merasa ia sekarang menjadi seekor kijang yang berada di dalam sebuah jebakan. Tak bisa lari.
"Beneran saya pinjam ya, Pak. But, please not in a rush. I'll be waiting," ujar Rachel kemudian. Ia masih tersenyum, tetapi matanya menatap lurus ke dalam mata Milo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lini Masa
RomanceRachel Loh sepertinya sungguh suka dengan Mr. Milo. Bukan hanya suka, Sophia Chang, sang sahabat, mencurigai bahwa Rachel sedang jatuh cinta pada guru baru mata pelajaran history di sekolah mereka tersebut. Rachel sendiri tidak malu-malu mengakui ba...