Pameran

7 2 0
                                    

Pembicaraan guru-murid mengenai materi sejarah yang berhubungan dengan Hong Kong and duckling itu tidak berhenti sampai disana. Setelah kelas selesai, waktu menunjukkan untuk murid-murid dan guru break pertama. Ada waktu tiga puluh lima menit sebelum kelas selanjutnya dimulai. Biasanya Rita akan langsung ke kantin untuk membeli makanan ringan dan menenggak air putih satu botol penuh. Namun, kali ini Mr. Milo masih berada di sampingnya. Keduanya keluar bersamaan dari kelas.

"Ada satu hal lagi yang perlu kamu tahu, Rita. And surprisingly, ini masih ada hubungannya dengan duckling. Kamu tahu ada pameran museum bahari di mall tempat kamu membeli model jung Hong Kong itu? Pada dasarnya, museum bahari itu sedang kampanye sadar sejarah bahari. Maka bakal ada pameran model beragam kapal khas Indonesia, seperti jung Jawa, kapal pinisi, kapal kuno bercadik yang ada di relief candi Borobudur, dan kapal-kapal Nusantara lainnya. Selain itu, ada juga model kapal-kapal beragam ukuran dari Asia Timur dan Asia Tenggara. Dan guess what?"

"Ada model duckling dari Hong Kong?" jawab Rita cepat hampir berteriak saking semangatnya.

"Exactly!" jawan Mr. Milo puas.

Rita tak tahu lagi apa yang sedang merasukinya saat ini. Ia merasa begitu mengenal Mr. Milo. Ada chemistry aneh yang menjalar di udara diantara mereka berdua. Seakan-akan hanya sosok di sampingnya ini yang memiliki semangat dan perspektif yang sama dengan dirinya. Hanya Mr. Milo, mungkin selain William saudara kembarnya, yang berbagi excitement yang sama dengan model kapal berserta sejarah yang meliputinya. Bagaimana Rita tak melayang-layang saat ini?

"Kapan itu pamerannya, Pak?" tanya Rita dengan sepasang mata yang berbinar penuh semangat dan kebahagiaan yang meletup-letup.

"This Sunday. Jadi, pastikan saja kamu datang."

"Ehm .. Bapak juga datang?" tanya Rita ragu. Ia mendadak khawatir Mr. Milo hanya sekadar memberitahunya informasi tersebut, tetapi memutuskan untuk tidak datang. Padahal, ia sendiri sudah merasa aneh dan lancang ketika berharap ia memiliki kesempatan sekali lagi untuk bertemu Mr. Milo di kesempatan indah lainnya di luar skeolah.

Mr. Milo tersenyum lebar, manis sekali, memesonakan Rita. "Ya pasti lah. Lagipula ini 'kan pameran. Nggak perlu beli modelnya. Selain nggak punya cukup duit buat beli model kapal itu, ada kamu, bisa diborong deh model-model kapal itu. Saya juga nanti dimarahin," ujar Mr. Milo bercanda menyinggung kejadian tempo hari di toys shop.

Rita menunduk malu. Tetapi ia geli tertawa. Kata-kata Mr. Milo membuat dirinya sungguh kesengsem. Apakah hari-hari bahagia akan datang seperti ini terus-menerus ke depannya? Pikir Rita.

Ketika kepalanya kembali mendongak, Mr. Milo masih memperhatikannya dengan senyum manisnya yang berbahaya itu. Rita serasa ingin tenggelam saja ke dasar samudra, tetapi di saat yang sama ia memiliki keinginan untuk terus ditatap dengan pandangan semacam itu. Ini pertama kalinya ia menjilat ludahnya sendiri.

Segala usaha untuk tidak mengacuhkan, bahkan mencoba membenci Mr. Milo hancur berantakan gara-gara duckling. Ia kini bahkan terbuai dengan suara dan nada kata-kata Mr. Milo yang terdengar menenangkan di telinganya. Ia kini sudah memerhatikan aroma manis yang meruap dan menguap dari tubuh Mr. Milo ketika berada di dekatnya. Parfum enak apa yang digunakan guru yang satu ini, pikirnya. Rita juga dengan percaya diri telah berani mencoba memancing senyuman dan tawa dahsyat Mr. Milo dengan senyumannya sendiri.

Mungkin Mr. Milo sadar bahwa sebelumnya ia hampir tak pernah terlihat tersenyum, terutama kepada dirinya di dalam kelas. Rita berhasil menciptakan kesan dan imej dingin, jutek dan cuek selama ini. Jadi, ketika Rita tersenyum, ia sadar bahwa Mr. Milo terlihat puas. Maka keduanya bertukar senyum yang hampir tak ada habisnya.

Rita senang bila ia bisa membuat Mr. Milo puas. Ia akan terus melakukannya.

"God damnit, William! Aku bakal punya nasib seperti kau, yang sama-sama menyukai orang yang tidak mungkin berbalas. Aku malah sedikit lebih beruntung. Meski Mr. Milo tak mungkin memiliki hubungan lebih dekat selain sebagai seorang guru dan murid, paling tidak Mr. Milo menanggapi aku dengan baik, ramah, manis, dan penuh perhatian. Aku rela bila hanya bisa mendapatkan perhatian semacam itu. Tapi kau, Will. Apa yang kau dapatkan dari Rachel?" ujar Rita di dalam hati.

"So, I'll see you on Sunday?" ujar Rita lirih. Masih takut kalau-kalau ia menyampaikannya dengan cara yang salah dan awkward.

"Yep, Sunday it is," ujar Mr. Milo mantap dan pasti sembari berjalan masuk ke dalam faculty room, meninggalkan Rita dalam sebuah jebakan perasaan yang tak menentu.

Shoot! We're going to have a date? A historical date? Jerit batin Rita.

Aku tahu ini bukan kencan. Masa bodo lah, aku anggap saja ini kencan. Ya ampun, ada apa denganmu, Rita Lim?

Malam itu Rita tak bisa tidur. Mau menangis rasanya. Mungkin karena saking bahagianya, mungkin karena saking anehnya, mungkin juga karena ia merasa menjadi sosok yang paling bodoh dan dungu karena terjebak dengan perasaan konyol semacam ini.

Mengapa mahluk itu begitu mempesona, sih? Padahal Mr. Milo tidak super ganteng dan menonjol. Tidak ada secuil darah bule atau indo di dalam gambaran fisiknya. Tidak ada semburat Korea atau tampang oriental pada wajahnya. Namun, segala hal yang ada padanya, dari rambutnya yang kerap acak-acakan di bagian belakang, bajunya yang kadang kusut setelah seharian bekerja di sekolah, sampai raut wajahnya yang terlihat lelah menjelang sore hari, adalah pesona yang begitu lengkap. Rita kini memerhatikan betapa menggemaskannya kadangkala raut wajah sang guru itu.

Rita juga heran untuk mendefinisikan perasaannya. Ia masih anak remaja. Sebentar lagi baru akan menginjak usia tujuh belas tahun. Tidak ada yang bisa dipercaya dari usia seperti dirinya. Mana mungkin ia jatuh cinta. Kalau iya pun, harusnya seumuran dirinya, rasa itu hanyalah cinta monyet belaka. Atau perasaan tertarik yang sepele.

Namun, mengapa rasa ini begitu indah sekaligus menyakitkan bagi dirinya? Menyiksa karena membuatnya senang dan bahagia, tetapi di saat yang sama ia juga ingin menangis?

Kadang ia ingin mati saja rasanya. Mungkin bila ia mati, Mr. Milo akan terus mengenangnya.

Lihat 'kan? Bodoh dan gila sekali pikirannya saat ini, pikir Rita.

Ia memperhatikan model duckling bersejarahnya yang tertata rapi di salah satu lemari kacanya yang berisi model-model kapal-kapal lain, mobil klasik, dan beberapa buah model pesawat tempur Perang Dunia Pertama dan Kedua. Dalam hitungan beberapa hari kedepan, ia akan menghabiskan waktu di akhir minggu dengan Mr. Milo. Mungkin berjalan berdampingan, mengobrol panjang lebar, mungkin juga sembari bersenda gurau. Ia akan disodori terus menerus dengan senyuman maut Mr. Milo dan aroma wangi tubuhnya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang