Papan Atas

5 2 0
                                    

Rachel mulai khawatir dan gelisah karena Vivian sudah sama sekali tidak berkomunikasi dengannya, ataupun anggota geng the Four Muskeeters lainnya. Ia pernah sekali mencoba menelepon Vivian, tetapi juga tidak diangkat. Awalnya ia merasa ia yang harus tahu diri karena berbeda dengan dirinya, Vivian tidak sibuk kuliah, ia sibuk bekerja, secara profesional pula. Vivian sekarang mungkin masuk ke dalam deretan model papan atas di Amsterdam sana.

Namun, Rachel sudah tidak berusaha untuk meyakinkan sahabat-sahabatnya bahwa sebenarnya semua baik-baik saja mengenai Vivian. Itu karena suka tidak suka mereka semua sudah dewasa sekarang. Tidak mungkin terus-menerus berada pada masa keakraban dan keceriaan anak sekolah. Mereka tidak bertemu setiap hari lagi. Mereka tidak menghadapi pelajaran, guru, dan sekolah yang sama lagi. Kehidupan mungkin berhasil menyadarkan mereka pada kenyataan.

Rachel kembali merasa kosong dan hampa. Ia tidak menyalahkan Vivian untuk memutuskan menjadi sibuk. Ia hanya sugguh berhadap sahabatnya itu baik-baik saja disana. Mungkin ia juga sudah memiliki kekasih. Mana ia tahu, 'kan? Kalau memang iya, meski ia, Dwi dan Sophia akan merasa dikhianati karena Vivian tidak berkabar, tetap saja ia bakal ikut senang. Berarti ada orang di samping Vivian yang dapat membuatnya bahagia menghadapi hari-hari. Ia ingat betul seperti apa sifat dan kehidupan Vivian. Gadis itu seperti memiliki semuanya: kecantikan dan pesona, bahkan juga kaya. Tetapi ia haus akan perhatian. Jiwanya kerontang.

Rachel mendadak terkekeh. Bukannya sekarang ia juga sedang merasa kosong? Sok prihatin dengan kehidupan Vivian lagi, pikirnya.

Rachel menghela nafas panjang. Ia jauh lebih beruntung. Ia harus bersyukur karena memiliki sepasang orang tua yang luar biasa keren dan penuh cinta. Ia juga masih memiliki Dwi dan Sophia, bukan?

"Woy, apa kita ke Amsterdam aja. Kita lihat dia lagi ngapain sih sebenarnya?" ujar Dwi ketika ketiga sahabat itu sedang mengobrol di group chat video call.

"Udah lah. Let her be. Kalau Vivi nggak bisa dihubungi, berarti memang nggak mau atau nggak bisa dihubungi," respon Sophia.

"Tapi, dia eksis banget di sosial media, kok. Tiap berapa hari pasti ada post foto barunya. Gue udah komen juga disana, nggak ada respon sama sekali, beda sama dulu," seloroh Dwi dengan kesal.

"It means she's just fine. Itu artinya dia memang baik-baik aja disana. Gue udah tenang. Dibanding dia bener-bener menghilang. Lagian, who knows who posted the picture. Mana tahu adminnya yang upload foto, 'kan?" lanjut Sophia.

"Nggak usah pakai pembenaran lah, Sof. Nggak usah dibela. Mang udah nggak mau temenan sama kita aja dia. Mungkin karena dia udah populer sekarang."

"Shhh ... kok ngomong gitu sih, Dwi," protes Sophia.

"Buktinya, tu, Rachel aja nggak komen. Iya, 'kan, Rach? Lo 'kan yang paling tahu anaknya gimana."

Rachel memandag kosong layar. "I don't know what to say, guys," ujar Rachel lesu.

Ketiganya menghela nafas hampir bersamaan.

Rachel tak ingin membahas ini sebenarnya. Ia sudah merasa bersyukur dengan apa yang ia miliki sekarang. Namun, ia juga jadi merasa egois. Ia bukan jenis orang pendendam yang gampang merajuk serta mengikuti emosi sesaat.

"Let's give her time, guys. Kita bener-bener nggak ngerti apa yang sedang terjadi disana. Tapi nggak bijak kalau kita menghakimi. Kita juga harusnya senang dia baik-baik saja disana," lanjut Rachel.

Vivian memang baik-baik saja, malah lebih dari itu. Ia merasa inilah momen dimana ia merasa hidup. Mencintai seorang Milo mungkin adalah hal terbaik di dalam hidupnya selama ini. Vivian sudah lupa bahwa ia memiliki Rachel yang penuh perhatian padanya dulu. Ia lupa ada Dwi dan Sophia yang juga selalu menyokongnya. Ia sudah terlanjur tenggelam di dalam asmara yang berkobar-kobar.

Sayangnya ia masih tak paham bahwa Milo tidak merasakan hal yang sama dengannya. Milo masih merasakan kekosongan besar di dalam jiwanya, ditambah kebingungan yang luar biasa atas hadirnya seorang Vivian. Ia senang dengan Vivian. Gadis itu jelas cantik dan menarik, tetapi ia membutuhkan lebih dari sekadar pendapat. Ia memerlukan rasa yang membuat jantungnya berdetak keras, atau jantungnya mencelos. Ia tak mau begitu saja memberikan harapan bagi Vivian.

Mungkin benar bahwasanya waktu bisa menjawab. Lalu, bagaimana bila waktu menjawab 'tidak'? Apakah Milo sudah keterlaluan kali ini? Apakah ia secara 'sadar' memberikan harapan kepada Vivian, seperti sewaktu dulu secara 'tak sadar' ia memberikan harapan kepada Talulah?

"Are you crazy? She's fine, she's hot!" ujar Mark agak kurang ajar ketika mengetahui bahwa Milo tidak terlalu bersemangat ketika berada di dekat Vivian. "She's in love with you, everybody knows that. Semua orang tahu itu, Mil. What are you thinking? Kalau gue jadi lo, gue bakal bikin pesta besar-besaran bisa disukai sama model level atas dengan kecantikan bak dewi itu," ujarnya lagi dengan bahasa Indonesia yang sempurna, walau wajahnya juga bule sempurna.

Joyce memutarkan kedua bola matanya sebagai respon ucapan Mark. Namun, selebihnya, ia setujua. "Kamu mikir apa sih sebenarnya, Mil. Maksudku, Vivian selalau terlihat bersemangat setiap ketemu kamu. Matanya berbinar-binar. Tapi kamu biasa aja. Selama berteman dengan kamu, aku tahu sikapmu ini berarti kamu nggak ada rasa tertarik dengannya."

Di dalam hati, ia sadar bahwa Milo bisa menjadi sosok yang sangat rumit dan sulit dipahami. Apalagi masalah percintaan, hanya Katherine lah yang pernah terekam memiliki hubungan dengannya. Padahal, tidak sedikit wanita cantik dan menarik yang rasa-rasanya memiliki ketertarikan kepada Milo yang bagai magnet itu, termasuk dirinya, tetapi Milo seperi batu karang yang sulit digoyahkan. Mengenai Vivian, meski Joyce tidak terlalu mengenal gadis itu, tetapi siapa yang sanggup menolak kecantikannya yang tiada tara itu. Mungkin sekali ia akan iri dan cemburu bila sampai Vivian benar-benar menjadi kekasih Milo. Akan tetapi, bila mau jujur, Vivian lah yang pantas bersanding dengan sang laki-laki.

Milo tersenyum kecut. "Iya, iya. It's my fault. Ini salah aku karena nggak tahu diri. Aku juga bingung."

Milo tidak memiki gambaran fisik pria tampan menurut standar umum, menurutnya. Tetapi memang Milo sangat menarik. Jadi, tidak mungkin ini diakibatkan karena Milo merasa rendah diri dan tak pantas bersma Vivian yang cantiknya selangit itu. "Memangnya mau cewek secantik apa sih yang bisa menundukkan hatimu itu?" ujar Joyce sedikit berbisik, seakan takut didengar Mark ataupun Dananjaya yang juga ada bersama mereka saat itu.

"Iya, cewek seperti apa, sih, Mil? Vivian is a top level model. She's gorgeous, you know?" ujar Mark yang nimbrung dengan puja-pujinya kepada Vivian – rupa-rupanya ia mendengar jelas apa yang ducapkan Joyce.

"Seperti Rachel Loh," jawab Milo, di dalam hati.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang