Hong Kong

6 2 0
                                    

Hong Kong International Airport teletak di pulau Chep Lap Kok di bagian Barat Hong Kong. Maka bandara ini juga disebut sebagai Chep Lap Kok Airport. Bandara dengan salah satu terminal penumpang paling banyak di dunia ini dibangun di sebuah pulau buatan dengan cara meratakan atau menimbun pulau-pulau kecil yang sudah ada sebelumnya, yaitu pulau Chek Lap Kok dan Lam Chau.

Rombongan murid-murid kelas 12 Uni-National sampai pada malam hari. Dari angkasa saja, lampu-lampu pulau Hong Kong sudah terlihat begitu terang dan berwarna-warni. Namun, mereka masih harus sabar. Walau hampir 4 jam penerbangan dengan Singapore Airlines, karena padatnya jadwal penerbangan di bandara ini, bahkan ketika sudah landing pun, pesawat mereka masih harus antri dengan pesawat-pesawat lain untuk memarkirkan pesawat mereka. Sebuah pemandangan yang luar biasa melihat pesawat-pesawat besar dari seluruh penjuru dunia berbaris satu satu di dalam satu garis lurus, kemudian berjalan pelan berkelok-kelok sampai ke space mereka yang ditentukan. Ini saja membutuhkan waktu sampai lebih dari 30 menit.

Milo meregangkan tubuh. Ia sudah menghabiskan waktu menonton film di dalam kabin. Selain itu, AC di dalam pesawat luar biasa dingin. Sebagai orang Asia Tenggara normal seperti dirinya, yang juga tidak terlalu sering bepergian ke luar negeri yang memiliki cuaca berbeda, ini adalah sebuah tantangan. Memang AC di dalam pesawat distel dingin, karena diluar pun, cuaca Hong Kong sedang memasuki musim dingin. Untung Milo juga sudah siap dengan beanie-nya seperti biasa untuk membuat kepalanya tetap hangat, meskipun selembar jaket tebal juga ia kenakan.

Ketika pesawat telah benar-benar berhenti, para guru langsung memberikan instruksi kepada murid-murid mereka untuk keluar dengan rapi dan tertata, sesuai dengan apa yang telah direncanakan pada saat persiapan sebelumnya. Milo dan Laoshi Stephanie berkeliling memantau dan memeriksa murid-murid di dalam kelompok mereka. Sekali lagi, Silvia juga langsung menawarkan diri untuk ikut membantu mengecek nama-nama dan kondisi murid-murid di dalam kelompok kami.

Butuh waktu tambahan untuk membawa rombongan ini dalam satu kesatuan. Belum lagi antri yang panjang dan berkelok-kelok di depan immigation check. Para guru harus kembali mengingatkan murid-murid dengan surat-surat penting mereka, seperti paspor dan kartu izin masuk kawasan Hong Kong yang harus ditulis dengan tangan sebelum diperiksa di bagian imigrasi. Kertas kecil ini memiliki fungsi seperti aplikasi MyICA di Singapura.

Milo, Cindy, Rian, Laoshi Stephanie, Mr. Matthew, Miss Nadya, Mr. Fredi, dan Miss Jean melihat keadaan ini sebagai hal yang akan berujung baik. Anak-anak sekadar ramai bercanda dan mungkin karena excitementnya saja. Perjalanan awal dari Singapura sudah berjalan sesuai dengan harapan dan rencana. Begitu pula sesampainya mereka di Hong Kong airport ini. Miss Jean bahkan berani bertaruh bahwa murid-murid tidak akan menuntut apa-apa lagi, apalagi rewel, setelah mereka sampai di hotel nanti. Mereka akan langsung tertidur karena sudah terlalu lelah dua jam di Changi, menunggu jam penerbangan sekaligus mengunjungi Jewel, empat jam di atas pesawat, ditambah satu jam antri dan mengurus imigrasi di bandara Hong Kong.

Benar saja. Murid-murid diangkut dengan tiga buah bus untuk langsung melanjutkan perjalanan yang memakan waktu kurang lebih satu jam, ke wilayah distrik Hong Kong Selatan, tepatnya di Wong Chuk Hang. Dan semuanya sudah mulai tenang di salam. Tidak seperti keributan mereka ketika mengantri untuk pengecekan imigrasi di bandara tadi. Beberapa melanjutkan tidur mereka, beberapa sudah mulai sibuk bermain dengan hape mereka.

"Hari ini masih belum selesai ya Pak. Kita masih harus distribute siswa kita ke kamar-kamar hotel mereka. semoga tidak ada drama apa-apa deh nanti," ujar Laoshi Stephanie yang duduk di samping Milo di dalam bus.

Milo tertawa kecil, tapi juga mengangguk.

Laoshi Stephanie duduk di dekat jendela. Milo yang duduk disamping memandang melewatinya ke arah bangunan-bangunan tinggi bertumpuk-tumpuk padat dengan lampu menyala terang di sana-sini.

"Hong Kong luar biasa padat ya, Laoshi?" tanya Milo.

"Iya. Saya pikir hampir tidak ada yang punya rumah di sini. Sama dengan Singapore. Itu, kalau Bapak lihat, semua gedung-gedung yang kayak lego itu adalah apartemen dan tempat tinggal. Semua warga Hong Kong menyewa kamar-kamar itu. Hanya orang kaya yang punya rumah."

Milo memerhatikan gedung-gedung tinggi terserak di tepian laut yang menjorok ke dalam, atau berjejer rapat di sepanjang jalan seperti mainan Lego saja. Jalan yang mereka tempuh terus berkelok-kelok. Kadang panjang, kadang pendek. Kadang lebar, kadang cukup sempit. Mereka melewati beberapa ruas jalan tol, kemudian masuk ke dalam terowongan bawah tanah bahkan bawah air. Kendaraan lain berseliweran laju di samping mereka. Bus dan truk-truk besar juga ikut memenuhi jalan. Namun hebatnya, tidak seperti Jakarta dan kota-kota besar lain pada umumnya, jalan yang dilewati rombongan Uni-National ini tidak macet. Taksi-taksi yang berwarna merah khas Hong Kong sejak dari tahun 70-an itu, berkendara dengan begitu cepat. Bahkan bus ini juga bisa dikatakan dipacu sangat laju.

Mungkin karena sistem transportasi Hong Kong juga sama majunya. Sekali dua Milo dapat melihat MTR atau Mass Transit Railway berjalan cepat di atas atau di samping ruas-ruas jalan. Ini membuat warga atau penduduk Hong Kong yang bepergian termasuk untuk bekerja, memiliki banyak pilihan transportasi publik serta sangat tertata.

Hong Kong tidak bisa juga dikatakan sebagai sebuah kota yang sama sekali rapi. Banyak bangunan yang semrawut pula. Kepadatan yang luar biasa jelas menciptakan permasalahan tata ruang kota itu sendiri. Bangunan besar-besar yang kumuh atau kosong juga terlihat di mana-mana. Belum lagi ditambah pekerjaan konstruksi yang sepertinya tak henti-hentinnya dikerjakan. Namun, jelas Hong Kong jelas merupakan sebuah kota yang kaya nan maju. Industri dan bisnis yang berpusat di kota ini menghidupi masyarakat dan siapapun yang tinggal serta bekerja di sini. Posisi istimewanya di dalam administrasi negera Tiongkok menempatkan Hong Kong sebagai salah satu kota kaya di dunia yang masih terus berkembang dan maju dengan cepat serta pesat.

Laoshi Stephanie tak tahu apa yang ada di dalam pikiran Milo saat ini ketika rekan gurunya itu diam saja memperhatikan gedung-gedung tinggi dan besar-besar yang sepertinya tak ada habis-habisnya di sepanjang jalan yang bus mereka lewati tersebut. Yang jelas, Laoshi Stephanie tahu Milo sedang menikmati pemandangan ini.

Laoshi Stephanie menahan senyumnya. Ia hanya berani mengintip melalui ujung matanya ketika wajah Milo berada cukup dekat dengannya. Yang ia hanya bisa rasakan sekarang adalah ikut menikmati apa yang hadir di dekatnya. Akan tetapi, alih-alih gedung-gedung di Hong Kong dan perjalanan itu sendiri, Laoshi Stephanie sedang menikwati wajah rupawan seorang Mr. Milo.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang