Jodoh

2 2 0
                                    

Pagi yang cerah. Matahari manja bersinar dengan angin yang lagi-lagi bertiup kencang nan dingin. Mr. Milo merasa ia mimpi buruk tadi malam. Ia tidak terlalu ingat, tetapi mimpi buruknya itu sangat infantil, alias kekanak-kanakan. Dulu waktu masih kecil, ia kerap bermimpi sesuai dengan keinginannya. Misalnya ketika ingin makan permen, orang tuanya melarang, maka ketika bermimpi, ia sungguh bermimpi memakan permen satu keranjang. Tadi malam juga, seingatnya ia bermimpi disidang oleh sekolah karena dituduh memilki hubungan dengan murid perempuannya. Apa lagi kalau bukan gara-gara kejadian dengan Talulah.

Ketika sudah siap berkemas, Mr. Milo keluar dari kamar hotelnya bersama teman guru satu kamarnya, yaitu Rian. Tanpa diduga ada Rachel yang sudah menunggu di luar kamar dengan senyum ceria yang mengembang. Keduanya terkejut, tetapi kurang dari dua detik keduanya tertawa. Rachel yang terbahak-bahak sampai berlutut di lantai.

Bagaimana tidak. Rachel bertaruh dengan anggota geng the Four Muskeeter-nya bahwa hari ini ia dan Mr. Milo akan kembali mengenakan pakaian atau busana yang sama, atau paling tidak mirip dan serupa. Tentu saja sahabat-sahabatnya menyepelekan hal ini. "It won't happen twice, my dear. I appreciate your spirit and excitement. Kalau sampai mirip, minimal warna pakaian kalian sama, gue bakal yakin kalau lo pada emang jodoh," ujar Vivian. Ia memang mendukung perasaan dan usaha Rachel, tetapi tetap saja kejadian semacam ini hanya memiliki kemungkinan yang kecil.

Berbeda dengan Sophia yang maju mundur mendukung Rachel. Ia sadar gadis itu memang serius menyukai Mr. Milo, tetapi status, umur, dan keadaannya masih sangat tidak memungkinkan bagi Mr. Milo dan Rachel untuk menjadi sepasang kekasih. "It's just an impossibility!" seru Sophia.

"Kalau mungkin? Apa lo mau dukung gue jadinya?" sindir Rachel sembari meringis.

Sophia mengedikkan kedua bahunya.

"Sudah kuduga," balas Rachel dengan menirukan cara aktris sinetron berbicara.

"Gue juga gak bakal percaya lagi, Rach. Lo gak bakalan pakai baju yang sama dengan Pak Milo. Kecuali, diam-diam lo chat dia. Ngaku deh, lo." Kali ini Dwi yang berujar.

"Yee ..., ngapain juga kayak gitu. Gue juga nggak kegatelan gitu. Kalau ada perlu baru gue hubugin Mr. Milo. Biar kata gue suka, nggak setiap saat juga kalik," balas Rachel.

Pagi ini ia yakin sekali bahwa Mr. Milo akan mengenakan pakaian persis seperti yang ia kenakan. Rachel sendiri tak tahu mengapa ide ini ada di dalam pikirannya. Mungkin ia kekanak-kanakan dan norak, tetapi ia merasakan jenis perasaan yang menghentak pagi ini, perasaan yang luar biasa. Ia tak peduli bila orang lain tak percaya konsep jodoh, atau bisa konsep jodoh memiliki penjelasan yang berbeda. Yang jelas, ia yakin bila pakaian Mr. Milo serupa dengannya pagi ini, Mr. Milo pastilah jodohnya.

Rachel tertawa sendiri dengan pikiran gilanya itu.

Ia mengenakan celana panjang jogger pants berwarna gelap, abu-abu tua. Kemudian ia mengenakan baju lengan panjang yang tidak terlalu tebal, juga tidak setipis kaos oblong, berwarna hitam. Ia juga menutupi kepala dengan beanie merah yang sama, serta terakhir, sepatu sneakers yang juga berwarna gelap.

Vivian menggeleng. "Gue taruhan deh. Paling-paling yang sama beanie-nya aja, sisanya Mr. Milo pasti pakai hoodie atau jaket. Itu udah gayanya deh. Terus ya mungkin pakai jins hitam, atau biru."

"Ih, sok tahu amat lo, Vi," protes Rachel.

"Tapi, kalau Mr. Milo pakai kaos lengan panjang dan warnanya sama kayak lo, gue akui kalian jodoh, deh."

"Bener ya, Vi?" tantang Rachel serius. Vivian mengangguk mantap.

Tak berapa lama kemudian Vivian menutupi mulutnya hampir menjerit melihat bahwa Mr. Milo tertawa bersandar di dinding dengan beanie merah, kaos lengan panjang hitam, jogger pants abu-abu tua dan sepatu sneakers-nya yang serupa dengan apa yang dikenakan Rachel (gadis itu baru saja berdiri setelah terbahak-bahak berlutut di lantai). Perbedaan dari kedua orang ini hanyalah tas yang dibawa Rachel adalah sling bag atau tas selempang kecil untuk menaruh dompet, hape dan peralatan perempuan lainnya. Sedangkan Mr. Milo membawa tas punggung.

Tawa Rachel disusul oleh tawa murid-murid lainnya yang juga sudah keluar dari kamar mereka.

"Ok, ok. Enough everyone. We didn't plan this. It's funny, but we have to go downstairs to the lobby. Meet the teachers there," ujar Mr. Milo membubarkan murid-murid yang tertawa. Ia mengatakan bahwa mereka tidak berencana mengenakan pakaian yang sama untuk kedua kalinya.

Dwi melongo, Sophia menggelengkan kepalanya pelan. "Gue gak tahu harus bilang apa lagi. Rachel bakal habis-habisan kali ini berusaha untuk mendapatkan Mr. Milo. Kita tahu gimana Rachel, 'kan, guys?" keluh Sophia.

"Oh my God. It's just sweet," sela Vivian tanpa memperdulikan apa yang baru saja diucapkan oleh Sophia. Sophia sendiri tidak heran. Meskipun ia yang terbukti sedang pacaran dan jelek-jelek paham dengan masalah yang mungkin dihadapai pasangan, Vivian lah anggota mereka yang paling suka dengan romantisisme. Vivian merasa bahwa cinta sungguh ada beserta dengan beragam aspeknya, tentu saja seperti jodoh, nasib, kesetiaan dan sebagainya. Oleh sebab itu, kini ia sedang tercengang. Masuk ke dalam dunia fiksi percintaan yang menjadi nyata.

Vivian masih memandang terpesona ketika Mr. Milo dan Rachel berjalan berdampingan menuju ke lift diantara riuh rendah murid-murid dan guru lain. Entah mengapa, Vivian yakin Rachel kali ini bisa saja benar, bahwa mereka berdua memang cocok dan jodoh. Padahal, Vivian juga tahu, sama seperti Dwi dan Sophia, bahwa kemungkinan untuk keduanya berpasangan memang jauh dari kenyataan. Bagaimanapun hubungan semacam itu bukan sesuatu yang awam.

"Jadi, gimana perasaannya pakain Anda serupa dengan murid perempuan untuk kedua kalinya di Hong Kong ini, Pak Milo?" tanya Rachel sembari mengatupkan jari-jariny membentuk kepalan seakan sedang memegang mic. Ia menyodorkan tangannya itu kepada Mr. Milo dan menggunakan mimik serius ala seorang jurnalis.

Mr. Milo tak tahan untuk tak tersenyum melihat tingkah Rachel yang tak pernah gagal membuatnya geli sendiri.

"Biasa saja sebenarnya. Kebetulan memang selalu terjadi, bukan, saudari Rachel?" jawab Mr. Milo.

"Hmm ... tetapi, bukankah dua kali kejadian yang sama, bahkan persis sama, terulang bukanlah sebuah kebetulan lagi, Pak Milo?"

"Lalu, kalau bukan kebetulan, apa yang Anda bisa jelaskan?"

"Jodoh! Ya, jodoh, Pak Milo. Saya rasa itu adalah jawaban satu-satunya yang bisa diterima," jawab Rachel lantang. Ia kembali tersenyum lebar.

Mr. Milo menggeleng dan menyerah dengan candaan dan godaan Rachel tersebut. Ia nyaman dengan cara Rachel berkomunikasi dengannya. Ia senang juga dengan kehadiran sosok murid perempuannya itu. Apakah itu yang bernama 'nyaman'? Mr. Milo masih bersengketa dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia masih dengan kuat mampu mengusir perasaan yang lebih dari seorang guru kepada muridnya. Berbeda dengan Rachel yang sudah semakin mantap ingin memiliki Mr. Milo meski ia masih belum tahu apa yang harus ia lakukan.

Untung saja Mr. Milo meredam keinginannya untuk mencubit pipi Rachel ketika gadis itu menggodanya tadi. Ia masih tahu diri dan profesional serta penuh kontrol atas dirinya sendiri. Bila sampai ia melakukan kesalahan, Rachel sudah pasti akan terbang ke angkasa saking girangnya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang