Caramel Macchiato

2 1 0
                                    

Perjalanan rombongan murid-murid Uni-National dimulai pukul delapan waktu Hong Kong, setelah mereka sarapan di restoran hotel. Meski para murid sudah bisa dianggap cukup dewasa sehingga para guru tidak perlu menjaga jalan mereka seperti menjaga rombongan anak TK, para guru tetap harus memperhatikan semua hal. Perjalanan ke Singapore International School memakan waktu sepuluh menit sampai lima belas menit dari hotel. Perkiraan ini bila para murid sungguh hanya berjalan. Nyatanya, jumlah siswa yang banyak dan tidak sedikit yang memiliki keperluan lain selama perjalanan, membuat satu jam yang disiapkan oleh Rian di dalam jadwal mereka dirasa cukup.

Sepanjang Yip fat Street, ada beberapa tempat yang disinggahi para murid. Satu buah mini swalayan, Circle-K, disinggahi beberapa murid untuk membeli minuman dan Octopus, yaitu kartu sistem pembayaran elektronik yang dapat digunakan untuk beragam keperluan, seperti untuk transportasi bis dan MTR, termasuk taksi. Octopus juga bisa digunakan untuk belanja, membeli makanan, dan hampir semua hal yang memerlukan pembayaran. Beberapa murid sudah memiliki Octopus karena pernah ke Hong Kong sebelumnya. Para guru memang tidak meminta murid untuk membeli dan mengaktifkan Octopus selama di Hong Kong, tetapi melihat kemampuan ekonomi dan keperluan para siswa, tentu saja membeli Octopus bukan hal yang sulit. Octopus ini juga serupa dengan EZ-Link di Singapura, atau dompet digital semacam GrapPay, DBS payLah! Atau FavePay. Bedanya, Octopus benar-benar merupakan sebuah sistem pembayaran elektronik yang terkoneksi di hampir semua lini pembayaran dan bisnis.

Beberapa murid juga memutuskan untuk memesan kopi dan croissant di Starbucks, tak jauh dari Circle-K. Sepertinya sarapan di hotel tadi belum lengkap bila mereka tidak membeli sesuatu yang lain untuk menemani jalan kaki mereka sampai ke Singapore International School, Hong Kong. Mr. Milo juga kemudian memutuskan membeli Caramel Macchiato panas sembari menunggu para murid yang sedang antri membeli makanan dan minuman di salah satu gerai kopi paling terkenal di seluruh dunia tersebut. Mr. Milo sebenarnya penasaran dengan rasa kopi di Hong Kong, yang malah sejatinya lebih terkenal dengan cita rasa teh Tiongkok premiumnya.

Satu gelas Caramel Macchiato di Starbucks Hong Kong ini dihargai HKD46, empat puluh enam dollar Hong Kong yang bila dirupiahkan menjadi berkisar Rp. 91.000, yang memang lebih mahal dibanding di Indonesia yang dihargai Rp. 60.000 untuk ukuran Tall, Grande Rp. 65.000, dan Venti Rp. 65.000.

"Ah, why am I not surprised of you buying a coffee? You love coffee, do you?" tanya Silvia yang mendadak sudah ada di samping Mr. Milo, tepat di luar Starbucks yang menghadap ke arah sebuah pusat olahraga yang besar. Angin menghembus kencang dan dingin di Hong Kong saat itu, bisa mencapai 20°C.

Mr. Milo melirik ke arah Silvia, tersenyum, kemudian meniup sedikit lapisan atas kopi di cangkir kertas Starbucks-nya. "Yep. I like coffee," jawab Mr. Milo singkat, kemudian menyesap kopinya pelan.

Silvia menelan ludahnya. Bahkan ketika sedang menenggak kopi seperti ini, Mr. Milo terlihat mempesona. Ia benci ketika gaya berpakaian Mr. Milo pagi ini disama-samakan dengan Rachel. Namun, memang beanie merahnya terasa pas di wajah Mr. Milo yang tegas sekaligus ramah di saat yang sama itu.

"Did you buy something, Silvia?" tanya Mr. Milo balik.

Silvia menggeleng. "I don't like coffee, and I don't like Starbucks," jawabnya.

"Hi, Silvia, did you buy something?" suara Rachel yang ceria dan cenderung polos tanpa direm itu terdengar tepat di belakangnya. Silvia berpaling ke arah datangnya suara dengan agak enggan dan ogah-ogahan. Senyum lepas Rachel terlihat di wajah cantiknya yang dihiasai beanie merah di kepalanya yang identik dengan Mr. Milo.

"No, Rachel. I told Mr. Milo that I don't like coffee, and I don't like Starbucks either," ujar Silvia dengan senyum pura-pura yang dipaksakan, walau masih terlihat sangat alamiah.

"You know what, I don't really like coffee either. That's why I don't buy any. I don't want any of our friends accusing me to imitate Mr. Milo this whooole day," ujar Rachel sembari tertawa. Ia mengatakan bahwa iapun tak suka kopi, dan sembari bercanda menolak untuk membeli kopi agar tidak dituduh teman-teman mereka bahwa ia mencoba meniru Mr. Milo. Karena memang toh, pagi ini, siapa yang tidak melihat persamaan busana keduanya yang menonjol.

Silvia tak tahan dengan ini. "Alright, Mr. Milo, enjoy the coffee. We'll continue the trip ASAP, right?" ujar Silvia. Ia tersenyum kepada Rachel dan Mr. Milo, kemudian beranjak pergi, kembali berkumpul dengan dua orang anggota geng terdekatnya.

"Jadi, kamu nggak suka ngopi? Bukannya kamu sendiri yang bilang sering nongkrong di coffeeshop kalau sedang nunggu mama kamu di salon?"

Rachel tersenyum lebar tetapi malu-malu. "Ya, 'kan aku bilang nggak terlalu suka kopi, Pak. Bukan nggak suka sama sekali. Lagian, tahu darimana aku beli kopi di coffeeshop? 'Kan nggak semua minuman di coffeeshop itu kopi," balas Rachel.

Mr. Milo menggaruk-garuk dagunya. "Iya juga, ya. Waktu ketemu terakhir itu, kamu pesan teh matcha dingin, 'kan ya?"

"Iya, dan Bapak seingat saya sudah minum espresso, terus tambah lagi dengan cappucino. Tukang ngopi nih, Bapak. Eh, tunggu. Kok Bapak ingat saya minum apa waktu itu? Cieee, Bapak merhatikan saya rupanya. Sampai hapal gitu," ujar Rachel. Sepasang mata sipitnya berbinar nakal.

Mr. Milo hampir tersedak kopinya. "Lah, kamu juga hapal saya minum apa saja malahan."

"Ih, Bapak. Kalau itu memang karena saya merhatiin Bapak. Masak nggak sadar, sih. Isn't it obvious?"

"Bercanda mulu kamu, nih," balas Mr. Milo singkat. Ia menenggak kopinya kembali. Asap dari kopinya yang panas menyapu wajahnya. Rachel menghela nafas dan ingin berterimakasih kepada semesta karena telah memberinya pemandangan indah di pagi hari di jalan kecil Yip Fat Hong Kong ini.

"Aku nggak bercanda, Pak. Aku memang memperhatikan Bapak, kok. Lagian, kita 'kan udah jodoh," ujar Rachel sembari terkikik. Ia nampaknya telah semakin nekat dan mengembangkan kemampuan berbicara serta menggodanya. Ia sudah tak peduli lagi karena dunia seakan memberikannya kemampuan dan kesempatan semakin dekat dengan guru pujaannya tersebut.

Mr. Milo tersenyum kecut dan menggeleng pelan. Ia masih menganggap Rachel adalah gadis yang usil dan sengaja terus-terusan mengganggunya. Meski lucunya, Mr. Milo tidak merasa terganggu atau risih. Ia senang dengan celetukan-celetukan Rachel yang dulu di kelas cenderung pemalu. Ia ingat pipi dan bibirnya memerah setiap kali bertemu tatap dengan dirinya. Rachel yang sekarang, mungkin sudah menjadi jati dirinya setiap bertemu dan berbicara dengan Mr. Milo.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang