Harapan

8 3 0
                                    

Rachel paham bahwa wajahnya sudah memerah sedari tadi. Setiap kali Mr. Milo mengedarkan pandangan ke seluruh kelas dan berserobok dengannya, Rachel tak mampu menahan reaksi itu. Namun, ia sudah nekat. Terlalu nekat bahkan.

Bukan mengapa, Rachel telah membujuk Shirley untuk bertukar posisi tempat duduk dengannya. Kini Rachel sudah duduk si bangku paling muka, di depan Dwi yang menggeleng tak percaya.

Rachel melawan rasa malunya untuk mendapatkan yang ia inginkan, yaitu lebih mendekatkan diri kepada sang idola. Langkah ekstrem yang bisa ia lakukan adalah duduk di depan sehingga dapat melihat Mr. Milo lebih dekat.

Pada saat pertama Mr. Milo masuk ke ruangan kelas, ia terlihat segar, paling tidak di mata Rachel. Padahal baju kemejanya sudah tidak rapi, rambutnya sedikit acak-acakan di bagian belakang, dan ini adalah jam terakhir pelajaran dimana energi serta semangat murid-murid pun sudah menguap.

Mr. Milo menebarkan senyuman, seperti biasa. Rachel tersengat. Ia heran bagaimana laki-laki itu dapat mempertahankan pesonanya?

Dalam menjelaskan sejarah abad ke-19, Mr. Milo lebih memberikan narasi dibanding melulu angka tahun dan tanggal. Tubuhnya berjalan mengitari kelas sembari terus memberikan poin-poin utama di dalam materi yang ia sampaikan.

Sepasang mata Rachel mengekor keberadaan sosok guru tersebut.

Dwi berkali-kali mencolek bahu Rachel dari belakang kemudian keduanya terkikik ketika berhasil berbagi sinyal dan makna, terutama ketika Mr. Milo lewat di samping atau depan mereka.

Rachel sudah tersengat berkali-kali. Entah semerah apa wajah dan pipinya saat ini. Ia sendiri merasa terbakar, tak mampu lagi menyembunyikan perubahan perasaannya yang semakin menjadi-jadi. Bahkan Rachel tak ragu untuk sengaja membalas senyuman Mr. Milo yang meskipun diarahkan ke seluruh kelas, terdampar kepadanya.

***

"Lu sadar 'kan kalo Mr. Milo itu udah dewasa, usianya jauh lebih tua dari kita?" tanya Sophia gemas.

"Ih, apaan sih, Sof?" bukan Rachel yang merespon, melainkan Vivian. Keempat anggota the Four Muskeeters itu berkumpul di McDonald's setelah pulang sekolah. Vivian yang menyetir mobil sendiri ke sekolah hari ini. Keempatnya sebelumnya memang telah sepakat untuk nongkrong di restoran makanan cepat saji itu untuk sekadar ngobrol dan berbagai cerita di sore ini. Namun, Sophia membuka percakapan dengan pernyataan tersebut.

"Lagian kenapa Rachel yang diserang terus. 'Kan kita juga suka sama Mr. Mailoo ...," ujar Vivian sembari memonyongkan bibirnya. Bukannya terlihat konyol, Vivian malah semakin kelihatan cantik dan menggemaskan.

Dwi dan Rachel saling berbagi pandang dan tertawa geli. Sophia sendiri tidak mengacuhkan ucapan Vivian. Sepasang matanya yang tajam di balik kacamata bulat itu mengunci Rachel.

"Please, coba hitung berapa beda usia lu dengan dia? Anggap saja dia sekarang, berapa, duapuluh enam, dua puluh tujuh? Jarak usia kita dengan dia, what, nine years? Ten?" ujar Sophia kembali. Namun, kali ini ia merendahkan suaranya berharap agar Rachel saja yang mendengar.

Rachel menatap mata sahabatnya itu. Kemudian tersenyum tipis. "Iya, gue tahu kalik."

"Nah, kalau udah tahu, kenapa lo masih nekad deketin Mr. Milo, sih?"

Rachel menghela nafas. "Sof, kenapa lo bersikap gini ke gue aja, sih? 'Kan bukan cuma gue yang suka sama Mr. Milo. Dwi sama Vivi juga. Cewek-cewek lain juga, kok. It's just for fun. Nothing serious about it."

Sophia menatap tajam mata Rachel. Kemudian menggeleng keras-keras. "No, no, no. Lo serius kali ini. You beneran suka Mr. Milo. Perhaps you're falling in love, hard! Vivi tu cewek populer, idola. Memang bisa aja dia seru-seruan. Dwi apalagi. Dua-duanya pernah pacaran. Tapi, lu, belum pernah, Rach. Sekali pas suka sama cowok, malah guru sendiri."

Rachel tersenyum lebar. Sepasang pipinya yang bersenu merah muda menyembul, menyembunyikan kedua matanya yang sipit. Ia kini yang menggeleng-geleng, menunjukkan bahwa ia menganggap lucu ucapan dan 'tuduhan' Sophia. Namun, hatinya kembali mencelos. Ia seperti telanjang di depan Sophia.

Sesungguhnya ia tak tahu apakah perasaan yang sedang ia rasakan ini cinta? Mana tahu ia soal beginian. Yang jelas memang ia suka sekali dengan Mr. Milo. Yang ada di otaknya setiap detiknya adalah Mr. Milo. Masalahnya adalah ia tak kenal betul siapa Mr. Milo. Bagaimana sifatnya, apa kesukaannya, bagaimana cara dia berkomunikasi selain mengajar di kelas, atau hal-hal detil lainnya. Ia hanya tahu seujung kuku saja dari Mr. Milo. Itupun karena sosok itu adalah guru. Apa mungkin ia jatuh cinta kepada orang yang tak ia kenal dengan baik?

"OK. Anggap saja kalau usia Mr. Milo jaraknya sembilan sampai sepuluh tahun. Lalu kenapa? Gue udah tujuhbelas tahun. Tahun depan, sebelum lulus, gue udah delapan belas. It means, I'm legal, right?"

Sophia menutup mata dan menghembuskan nafasnya dengan kesal. Ketika ia membuka mata, pandangannya meneduh, bukannya terlihat semakin marah. "You don't know what you are saying, my dear."

Sebelum Sophia melanjutkan protesnya, Rachel menyentuh tangannya dan meremasnya pelan. "Please, don't you worry about it, Sof. Kalau pun gue suka beneran sama Mr. Milo, dia 'kan guru. What can I do about it? Lagian, seperti yang lo bilang tadi, anggap aja gue memang jatuh cinta. Biarin gue mengalaminya. Vivi dan Dwi udah pernah, dan lo sekarang malah jadi gambaran pasangan idola. Gue yakin hubungan kalian langgeng. Jadi, sekali lagi, don't worry."

"Gue gak masalah lo jatuh cinta dengan siapa aja. Masalahnya, lo bakal patah hati, Rach. Dia guru, jauh lebih tua dari kita. Kesempatan buat pacaran sama dia itu jauh banget, Rach. Dia bakal dituduh nggak.profesional, bahkan bisa dipecat, dituduh pedo juga. Kalau dia beneran pedo, gimana?"

Rachel menghilangkan senyumnya. "Jangan ngomong yang aneh-aneh ah Sof. Gue nggak sampai mikir sejauh itu. Jangan nuduh yang aneh-aneh juga. I'm legal, tho, remember? Kalau pun gue sampai bisa pacaran sama Mr. Milo, ya, nggak masalah 'kan? Gue udah punya KTP lho, Sof."

"Tuh, 'kan. Lo masih berharap bisa pacaran sama dia, 'kan?"

Rachel tertawa melihat reaksi Sophia.

Vivian dan Dwi yang sudah terlewat percakapan antara Sophia dan Rachel juga sudah terlambat untuk nimbrung. Tetapi melihat reaksi Sophia yang sepertinya terus-menerus protes dan menyerang Rachel, Dwi merespon keras. "Udah ah, Sof. Kalau nggak suka Mr. Milo, gak usah ngompor-ngomporin yang lain, deh. Kita tahu Mr. Milo bukan selera lo. Dia 'kan bukan bule, nggak tinggi, nggak keren, bukan bintang basket."

Sophia tidak terpengaruh ejekan dan sindiran Dwi. Ia paham sifat temannya itu. Lagipula, ia sendiri kerap berucap tajam dan bersikap kaku serta serius. Jadi, ia hanya menatap ke arah Dwi kemudian membalas, "Emang. Pacar gue yang paling ganteng!"

Mendengar ini, ketiga temannya berteriak secara bersamaan secara spontan, "Huuuu ...."

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang