Remember

3 2 0
                                    

Mark tersentak melihat salah satu gadis model berjalan ke arah mereka. ia yakin dengan hal ini, karena salah satu dari rombongan gadis-gadis super menarik perhatian itu tidak sengaja melihat ke arahnya, atau paling tidak ke arah mereka berkumpul. Tak lama, gadis Asia bertubuh ramping dan tinggi itu seperti terpentok pandangannya. Hanya dalam hitungan detik, sang gadis model berjalan pelan tetapi pasti ke arah mereka.

Rombongan tim museum dari Indonesia itu duduk berkumpul mengitari meja. Mark, Joyce, Milo dan Dananjaya duduk bersamping-sampingan, sedangkan yang lain berhadapan. Milo sibuk menikmati kopi Belanda yang dihidangkan di depannya, jadi ia tidak memperhatikan terlalu berlebihan apa yang ada di sekelilingnya. Lagipula, awalnya tim museum dari Indonesia ini sudah saling canda dan ngobrol dengan seru. Satu dua hal berhubungan dengan Belanda, Amsterdam, kopi, dan spesifik tentang Tropenmuseum serta pekerjaan mereka.

Ketika Mark dan Dananjaya berbisik-bisik tetapi dengan bersemangat mengabarkan kepada Milo dan anggota tim yang kebanyakan laki-laki itu tentang kedatangan para model di coffeeshop yang sama dengan mereka.

"Yo, they're so fine," ujar Mark memuji para model tak henti-hentinya.

Milo ikut melirik, kemudian tersenyum. Joyce memukul bahu Milo pelan, mengejeknya. "Kamu ini, ya. Mau dapat cewek kayak gimana lagi, sih, Mil. Masak gadis-gadis model gitu nggak menarik perhatian kamu," ujarnya.

"Iya nih, dari beberapa hari yang lalu mereka bercokol di museum kok kayak nggak diperhatiin, Mil. Kurang apa cantik-cantiknya mereka itu?" ujar Dananjaya nimbrung.

Milo menyesap kopinya, tersenyum simpul. "Siapa bilang aku nggak perhatiin mereka? Nggak ada yang bisa menyangsikan kalau mereka semua cantik-cantik. Tapi, terus? Mereka pada model, Dan. Ya pasti lah cantik-cantik. Tapi tinggiii ... tahu 'kan maksudku?"

"Yee ... 'kan nggak harus langsung dijadiin pacar juga kalik, Mil. Dinikmati aja. Dilihat, digodain, mana tahu nyangkut," balas Dananjaya.

"Percuma kalau cuma bisa dinikmati, tetapi tak bisa digapai apalagi dimiliki," ujar Milo bercanda. Semua tertawa.

Padahal Milo setengah serius. Ia paham sekali gadis-gadis itu cantik-cantik. Tapi mereka bukan jenis gadis yang mungkin untuk kemudian memiliki kesempatan bersama Milo. Mungkin ia berlebihan berpikir seperti ini. Namun, hatinya memang sedang kosong. Sejak jatuh hati dengan Rachel, muridnya sendiri, kurang lebih setahun yang lalu, ia masih belum bisa sungguh-sungguh tertarik dengan gadis lain. Bukan berarti ia tidak kagum atau mengakui bahwa banyak gadis lain juga cantik dan menarik, apalagi para model tersebut, tetapi yang jelas, ia sedang tak terlalu bersemangat untuk coba membuka hati kembali.

Mark hanya bisa geleng-geleng kepala hampir tak percaya melihat perilaku Milo tersebut. Namun, ia tak heran, bagaimanapun ia kenal Milo cukup lama. Mark yang berdarah campuran itu, meski bertampang bule, masih sangat Indonesia. Ia warga negara Indonesia yang juga memiliki 'selera' gadis-gadis Asia dan Indonesia. Ia juga merasa belum beruntung untuk memiliki pasangan yang pas. Gonta-ganti pacara sejak bertahun-tahun lalu masih belum bisa memuaskan hasratnya untuk mendapatkan pasangan yang cocok. Nasibnya masih sama dengan Danan dan Joyce. Masalah Milo, Mark malah merasa prihatin dan iri disaat yang sama. Milo pernah mendapatkan cinta sejati, cinta sampai mati, tetapi terpaksa harus rela melepaskannya.

Maka, ia sedikit maklum bila 'selera' Milo mungkin sangat tinggi. Bukan dari segi fisik, tetapi lebih kepada kisah dan rasa yang begitu dalam diantara keduanya.

"Hey, one of the girls is coming toward us. Parah, beneran cewek itu berjalan kesini, guys," bisik Mark panik.

Dananjaya, Joyce, para anggota tim lain, termasuk Milo melihat ke arah yang ditunjukkan Mark.

Sosok ramping berbalut mini dress hitam itu berdiri tepat di hadapan Milo. Make up-nya membuat Milo tidak sadar siapa yang berdiri tersebut. Sedangkan, anggota rombongan tim itu saling lihat kebingungan dengan apa yang terjadi. Sang model tersenyum lebar dan ceria. Begitu menawan.

"Pak Milo?"

Milo hampir tersedak oleh liurnya sendiri. Untung ia berhasil menelan ludahnya. Ia menyipitkan kedua matanya untuk mencoba melihat dengan baik gadis yang baru saja menyebutkan namanya. Sedangkan, Mark, Dananjaya, Joyce, dan anggota tim yang lain sontak memandang ke arah Milo.

"Ini saya, Pak. Vivian. Vivian Joanne. Don't you remember me?"

Kelebatan memori setahun yang lalu langsung menghujam ke otak Milo. Matanya melebar. Ia kemudian tersenyum sama lebarnya dengan senyuman Vivian. "

"Vivian? Is it really you?" seru Milo.

Vivian tertawa dan mengangguk. Ia langsung mengulurkan tangannya, "Apa kabar, Pak?"

Mark memegang kepalanya tak percaya. Apalagi Dananjaya. Sekarang yang duduk di bangku mengelilingi meja di sudut coffeeshop itu bukan hanya tim museum dari Indonesia, tetapi juga lima model cantik yang sama-sama dari Indonesia pula. Itu karena Vivian, salah satu model yang paling cantik, ternyata pernah menjadi murid Milo.

"Jadi, Milo populer waktu jadi guru waktu itu?" tanya Mark kepada Vivian.

Vivian mengangguk tegas, sedangkan Milo menggeleng-geleng, sama tegasnya.

"Ih, beneran lho, Pak. Banyak murid jatuh hati sama Mr. Milo. Tapi, saya termasuk kaget bertemu Mr. Milo disini. Ternyata Mr. Milo sudah tidak mengajar di Uni-National," ujar Vivian.

Pembicaraan yang mendadak akrab dan seru itu berlangsung sampai dua jam kemudian. Semua saling berbagi cerita, tim museum dan tim model. Termasuk alasan mengapa Milo melepaskan pekerjaannya sebagai guru, dan bagaimana Vivian memutuskan cuti dari kuliahnya dan berangkat ke Amsterdam.

Mark dan Dananjaya saling melirik, memberikan sinyal bahwa Milo membuat mereka beruntung karena mulai hari ini, mereka dapat berkenalan dengan para model tersebut. Tidak menutup kemungkinan, dengan model-model menawan asal Asia lainnya.

Dua jam terasa cepat berlalu, tetapi di saat yang sama sangat pas dan padat untuk berbagi cerita. Milo benar-benar terbawa memori lagi dari kampung halaman, pada kenangan tentang profesinya yang lain, yaitu guru.

"Pak, mau dinner dimana?" tanya Vivian ketika perlahan, satu-persatu anggota perkumpulan ngopi bareng mendadak itu bubar.

"Kalau nggak ada rencana, kita makan malam di dekat sini, yuk. Saya masih mau ngobrol sama Bapak sebenarnya. Ehm ..., tapi itu juga kalau Bapak nggak ada rencana makan malam dengan teman-teman Bapak, dan kalau Bapak tidak keberatan, sih."

Milo memandang rekan-rekannya yang memandangnya balik dan memberikan sinyal pendek seperti memberikan izin.

"Aku sama Mark mau muter sebentar. Joyce juga tadi katanya mau ikut. Kita ketemuan besok, ya, Mil," ujar Dananjaya yang langsung diiyakan oleh Joyce dan Mark.

Milo sendiri dari tadi masih penasaran dengan kabar Vivian. bukan karena ia sungguh ingin tahu, melainkan nama Rachel yang kembali melewati pikirannya. Karena, ia paham sekali bahwa Vivian adalah teman satu gengnya Rachel. Kejadian ini tidak mungkin membuat Milo tidak mengingat Rachel sekali lagi. Hanya saja, kata-kata 'Rachel' sama sekali tidak terucap sedar tadi mereka mengobrol. Mungkin kesempatan ini bisa ia gunakan.

Milo mengangguk. "Ok. Saya ikut kamu saja, Vi," ujar Milo yang ditimpali senyum semanis gula-gula di pasar malam Vivian.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang