Concrete Jungle

4 2 0
                                    

Sisa hari field trip di Hong Kong berjalan relatif aman. Tidak ada drama berlebihan antar para murid, atau murid dan guru. Mr. Milo tahu cara untuk tidak melebih-lebihkan situasi ini. Ia bersikap wajar dengan Talulah, Silvia, Rita atau Rachel. Ia juga berlaku sama dengan murid yang lain, siapapun mereka. Itu sebabnya, walau kejadian outfit yang serupa antara Mr. Milo dan Rachel terjadi sampai dua kali, tidak ada yang berlebihan menanggapinya. Mereka memang tertawa dan terhibur, akan tetapi sepertinya tidak ada yang curiga bahwa ada semacam hubungan khusus antara guru-murid tersebut. Sekali lagi memang karena Mr. Milo dapat berlaku profesional, kedua, karena Rachel pun paham ia tidak bisa berlebihan menanggapi hal ini.

Peran Mr. Milo sebagai guru sejarah sekaligus salah satu penanggung jawab kelompok para murid dilaksanakan dengan baik. Kerjasamanya dengan Laoshi Stephanie serta guru-guru lain sangat efektif.

Mr. Milo tidak mau berpikir apa yang terjadi dengan Talulah. Ia tetap memperlakukan murid perempuan itu dengan wajar. Talulah pun seperti sudah kembali seperti biasanya: semangat dalam semua hal yang berhubungan dengan sejarah di Hong Kong, serta tugas yang harus ia lakukan. Mr. Milo tidak mau tahu. Ia lega dengan perubahan mendadak ini, yang sebelumnya ia khawatirkan tidak akan terjadi. Ia sudah berjaga-jaga bila Talulah harus sampai terus-terusan bersikap aneh dan dramatis. Ia tak mau satu orangpun dari Uni-National baik murid maupun guru tahu kejadian diantara ia dan Talulah, terutama di malam itu.

Yang jelas, sekarang Mr. Milo merasa bisa melaksanakan kegiatannya seperti biasa dan sewajarnya seorang guru. Ia tak tahu bahwa Rita merasa sudah cukup bahagia bisa mendapatkan perhatian dari Mr. Milo serta kesempatan yang akan ia kenang selama-lamanya bersama gurunya itu. Silvia mungkin masih mencoba mencari cara untuk dapat mendekati Mr. Milo kembali, paling tidak sebelum ia berani merasa kalah atau gagal dalam misinya kali ini. Namun, Rachel, tak pernah berubah. Ia masih memuja Mr. Milo, merasa bahwa dunia dan semesta mendukung penyatuan antara seorang Milo dan Rachel.

Besok pagi adalah penerbangan kembali ke bandara Changi Singapura. Memang tidak terasa, segala kegiatan dan keceriaan menyelimuti para siswa dan guru yang merasa puas dengan pengalaman mereka di Hong Kong. Siang ini, kembali para murid berada di restoran di tengah kota. Sebuah gedung pencakar langit yang membuat mereka mampu melihat tata kota Hong Kong yang berserakan dengan concrete jungle, alias hutan gedung.

Setelah makan, murid-murid dan guru masih memiliki waktu sekitar 40 menit sebelum beranjak ke tempat terakhir yang hendak mereka kunjungi hari ini.

Mr. Milo membawa gelas berisi minuman bersodanya ke balkon restoran. Ia meletakkan gelasnya di sebuah meja bulat disitu, kemudian meraih kamera DSLR-nya. Skyline Hong Kong memang tak pernah mengecewakan. Deretan gedung-gedung tinggi beragam ukuran dan bentuk serta gaya itu berjejer dengan indahnya di dalam lensa kamara Mr. Milo.

"Aku udah lihat post terbaru Bapak di Instagram. Keren, pak," ujar Rachel. Membuat Mr. Milo berbalik.

Mr. Milo tidak terlalu memperhatikan Rachel hari ini. Maka ia terkejut ketika Rachel muncul di belakangnya.

Bila mau jujur, jauh di dalam hatinya, Mr. Milo masih beranggapan bahwa Rachel memang luar biasa cantik dan menarik.

Hari ini Rachel mengenakan pakaian terusan, dress sederhana yang jatuh dengan sempurna di tubuhnya yang tidak seramping Vivian atau Talulah, tetapi juga tidak bisa dikatakan gemuk. Motif floral dress-nya itu terlihat ceria, santai, tetapi tidak berlebihan. Angin mengembus cukup keras. Mr. Milo malah yang khawatir bahwa pakaian Rachel tidak tepat sehingga helai-helainya akan terempaskan dengan cara yang dramatis. Nyatanya tidak. Pakaian itu pas, tidak repot, terlihat nyaman dan sopan di tubuh Rachel. Padahal, Rachel juga mengenakan sepatu sneakers yang sejatinya bertubrukan dengan dress yang ia kenakan. Namun, tetap saja, kulitnya yang putih dan segar itu memantulkan cahaya matahari Hong Kong yang lebut di sekujur tubuhnya. Bahkan Mr. Milo yang berusaha untuk tidak memikirkan hal ini, terpaksa untuk mengakui kembali pesona murid perempuannya itu.

"Kamu sudah lihat, Rach?" tanya Mr. Milo.

"Sudah, Pak. 'Kan juga sudah saya like. Bapak gimana sih, nggak merhatiin banget," respon Rachel.

Mr. Milo tertawa pendek. "Iya, iya, maaf. Eh, tumben sampai hari terakhir ini di Hong Kong, pakaian kita nggak serupa lagi," ujar Mr. Milo. Ia menyampaikannya dengan pandangan kini sudah berada di bidikan kameranya.

Rachel mendekat, kemudian menopangkan kedua lengannya di pagar balkon. "Sengaja, Pak. Nggak enak terus-terusan sama. Takut diomongin teman-teman. Terus nanti anak-anak perempuan jadi cemburu, deh. Kasian sama mereka. Cukup kita berdua yang tahu bahwa kita sudah jodoh," ujar Rachel santai. Mr. Milo tergelak mendengar kata-kata Rachel tersebut.

"Pak, nggak kerasa sudah akhir tahun ya. Sebentar lagi tahun baru, terus bulan April itu terakhir anak-anak grade 12 di sekolah. Kami sudah tidak aktif berangkat ke sekolah lagi dan pada sibuk mengurusi universitas atau pendidikan tinggi lanjutan," ujar Rachel. Mr. Milo mampu mendapatkan selarik nada getir di dalam ucapan Rachel.

Mr. Milo menurunkan kameranya setelah beberapa kali mengambil foto. "Bagus dong. Berarti sudah bisa lanjut ke kampus, punya pengalaman baru lagi, terus meninggalkan SMA."

"Dulu aku juga mikirnya kayak gitu, Pak. I had been thinking of leaving high school as soon as possible. Tapi, akhir-akhir ini berbeda. Kayak aneh aja kalau aku harus lulus terus ninggalin sekolah ini."

Mr. Milo memandang Rachel yang setengah menunduk, memandang ke bawah. Rambut panjang nan lurusnya yang hampir selalu digerai selama mereka di Hong Kong itu berkibar pelan.

"Is it about your friends? Your best friends? Karena kamu bakal berpisah dengan mereka?"

Rachel tidak menjawab. Ia hanya menyelipkan helai-helai rambutnya di belakang telinga.

Mr. Milo membalikkan tubuh, kemudian menyenderkan punggungnya di pagar balkon. "Memangnya rencana kamu gimana setelah lulus? Lanjut ke universitas mana?"

Rachel melirik ke arah Mr. Milo. Kemudian ia membalikkan tubuh dan ikut menyender di pagar balkon. "Dari dulu rencananya mau ke Singapore, Pak. Dulu pengin ke LASALLE College of Arts. Aku suka design gitu. Sebenarnya lebih ke interior design. Banyak pilihan di Inggris atau negara-negara Eropa lainnya. Cuma kalau Singapore aku pikir paling deket dengan Indonesia. Gampang kalau pulang."

"Hmm ...," Mr. Milo mengangguk. "Kamu anak keberapa di keluarga?"

"Tunggal, Pak. Cuma saya anak orang tua saya. Satu aja sih, tapi juga yang paling nyusahin," ujar Rachel tertawa.

"Jadi, ceritanya bakal gampang kangen sama keluarga, ya?"

"Sebenarnya nggak terlalu sih, Pak. Saya juga udah dididik mandiri sama Papa Mama. Sama teman-teman segeng juga memang saya bakal kangen, tapi nggak seberat itu. Soalnya mereka punya mimpi yang juga harus dicapai. Dwi maunya ke Inggris buat pursue ketertarikannya di linguistics. Vivian mungkin sekali ke Prancis, belajar fashion business. Sophia sama Jordan malah sepakat sama-sama melanjutkan ke kampus yang sama di Amerika. Awalnya kau tahu apa yang aku mau, Pak. Tapi, akhir-akhir ini ada yang bikin aku mikir. Sebenarnya bagi banyak orang, bahkan teman-teman aku, hal yang bikin aku galau ini sepele dan mungkin terlalu dibuat-buat. Cuma aku serius mikirannya," jelas Rachel panjang lebar.

"Kalau boleh tahu, memangnya apa yang bikin kamu sampai jadi ragu gitu?"

Rachel menghela nafas panjang. "Aku juga nggak terlalu paham, Pak. Lagian, bapak juga nggak akan menganggap serius alasan aku."

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang