Tamar Park

9 2 0
                                    

Luas dari Tamar Park adalah 17.000 meter persegi. Taman kota yang terletak di Admiralty, Hong Kong ini menempati 80% dari keseluruhan area yang juga ditempati oleh Kompleks Pemerintahan Pusat dan Kompleks Dewan Legislatif.

Banyak orang yang duduk-duduk, menggelar selimut atau tikar di taman yang dinaungi oleh pepohonan rindang. Matahari terang-benderang saat itu, tetapi angin yang kencang dan dingin tetap saja membuat suasana menjadi segar serta sejuk. Tidak heran pula ketika para siswa mendapati bahasa yag sangat mereka kenal digunakan oleh beberapa orang yang sedang bersantai di taman tersebut. Tidak sedikit orang Indonesia, yang biasanya adalah para migran alias tenaga kerja Indonesia, yang menggunakan waktu libur mereka untuk berkumpul bersama teman-teman sesama migran Indonesia di taman ini.

Mr. Milo menghela nafas panjang. Pemandangan gedung-gedung tinggi bersaing dengan pemandangan laut di depannya. Ada sebuah amphitheatre dengan sebuah panggung kayu serta bangku pengunjung yang dapat memuat sekitar 240 orang. Di belakang panggung itu, hamparan air laut dengan deretan gedung-gedung pencakar langit di seberangnya, juga Avenue of Stars dan Victoria Harbour, tempat persinggahan lain di Hong Kong yang juga populer dan wajib untuk dikunjungi.

Para guru memberikan waktu bagi para murid untuk kembali berswafoto dan saling mengambil potret. Taman yang luas dan hijau di tengah kota, dikelilingi gedung-gedung bertingkat, merupakan sebuah pemandangan yang luar biasa.

"Paaak ... ayo, foto-foto lagi ...," suara Rachel yang penuh keceriaan itu kembali terdengar. Namun, kali ini ia tidak hanya datang bersama anggota geng the Four Musketeersnya saja, melainkan banyak siswa lain, termasuk Jordan, Rita dan lainnya. Guru-guru juga ikut nimbrung. Tak lama kemudian barulah Silvia, Sydney dan Sandra yang meminta giliran.

Talulah memutuskan menghampiri Mr. Milo dan meminta foto bersama. Namun, ia paham bahwa akan aneh kalau ia meminta foto berdua saja. Maka ia datang bersama dua murid lain yang belum sempat berfoto dengan Mr. Milo. Ia pun datang ketika Mr. Milo sedang tidak sendirian. Ada Laoshi Stephanie, Miss Nadya, Mr. Matthew, Miss Cindy dan Pak Rian bersamanya.

"Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu, kita foto di stage, yuk. Latar belakangnya bagus. Please, with you too, Mr. Matthew," ujar Talulah, meminta para guru.

Para guru tentu menerima ajakan Talulah tersebut. Semuanya sedang bersemangat.

"Hi, Talulah. So, bagaimana menurut kamu Hong Kong?" tanya Mr. Milo di sela-sela 'sesi' foto mereka.

Talulah tersenyum lebar. "Well, the weather is nice, sih, Pak. Tempat ini juga keren. Jadi, kita bisa di sini sampai sore atau malam, 'kan, Pak?" ujar Talulah. Ia senang Mr. Milo menegur terlebih dahulu. Menunjukkan bahwa keadaan ternyat tidak lagi kaku dan awkward diantara mereka berdua.

"Yang jelas, kita nggak terburu-buru di taman ini. Kalian juga harus mengerjakan tugas dari guru-guru kalian, 'kan? Termasuk tugas sejarah dari saya," ujar Mr. Milo.

Talulah tersenyum lebar. "Iya, pasti dong, Pak."

Talulah ingat bahwa ia memiliki tugas dari Mr. Milo sebagai guru sejarah untuk mencatat penjelasan tentang sejarah Tamar Park. Ini jelas pekerjaan yang mudah bagi Talulah. Ia bahkan sudah mengerti tentang Tamar Park jauh hari sebelum sampai ke tempat dengan terlebih dahulu browsing di internet.

Para siswa sudah bubar bagai semut terkena api. Ada murid yang memutuskan untuk ikut membaringkan tubuh mereka di hamparan rumput di taman dengan dipayungi pepohonan. Ada yang langsung mengerjakan tugas mereka, mengeksplorasi wilayah dan mendapatkan informasi yang tersebar di berbagai tempat. Beberapa memutuskan untuk turun ke jalan setapak yang dilalui beragam orang. Jalan cukup luas untuk bisa dilalui banyak orang.

Mr. Milo juga memutuskan untuk turun ke sana bersama beberapa guru.

Angin masih berembus cukup kencang dan dingin sehingga cahaya terik tidak terlalu berarti. Pemandangan skyline area Tsim Sha Tsui atau Avenue of Stars terlihat begitu indah.

Talulah mengikuti rombongan guru dan murid yang turun ke bawah. Jalan setapak itu menuju kembali ke jalur utama untuk ke Victoria Harbour dan Hong Kong Observation Wheel, alias kincir ria atau bianglala raksasa untuk melihat pemandangan dari atas, yang terletak di Central Waterfront Promenade tak jauh dari Victoria Harbour.

Guru-guru masih berfoto atau sama-sama menikmati pemandangan dan suasana. Mr. Matthew terlihat mengobrol serius dengan Rian, sepertinya membicarakan ekonomi Hong Kong. Mereka menunjuk-nunjuk ke arah bangunan raksasa Bank of China dan gedung IFC atau gedung pencakar langit ICC yang terletak di seberang, yaitu wilayah Kowloon.

Laoshi Stephanie yang tadinya berjalan beriringan dengan Mr. Milo kini membantu beberapa murid untuk berbicara dengan warga lokal. Murid-murid ini tertarik dengan penggunaan bahasa Mandarin dan Kanton. Begitu juga guru-guru lain yang sibuk dengan beragam aktifitas bersama para murid.

Mr. Milo kemudian menempel di pagar, menikmati angin laut dan pemandangan tata kota di seberang sana.

"It's amazing, isn't it?" tanya Talulah yang berdiri di samping Mr. Milo, juga menempelkan tubuhnya di pagar.

Mr. Milo mengangguk dan tersenyum. "Yep," jawabnya singkat.

"You too are amazing, Pak," lanjut Talulah.

Mr. Milo mengernyitkan keningnya, kemudian melirik ke arah Talulah. "Maksudnya apa, Talulah?"

Talulah menghela nafas. Ia memandang jauh ke dapan. Talulah, tidak peduli angin yang cukup kencang bertiup seperti ini, tetap mengenakan rok. Bahkan roknya yang mekar itu cukup pendek, beberapa jari di atas lutut. Untungnya, bagian atasnya ia mengenakan sweater fashionable berwarna lembut yang cukup panjang dan tebal, sehingga menahan bagian atas roknya agar tak terbuka tertiup angin. Rambutnya yang pendek itu digerai saja. Ia tak mengenakan penutup kepala. Sinar mentari bermain-main di helai rambutnya yang kemerahan. Kulitnya yang pucat, campuran Amerika dan Filipina, bersinar seperti memiliki cahayanya sendiri.

"Bapak banyak disukai banyak orang. Murid-murid sepertinya banyak yang ngefans sama Bapak," ujar Talulah pelan nan lirih, hampir tak terdengar.

Mr. Milo sebenarnya sudah jengah dengan pembahasan semacam ini. Ia tak paham dengan penjelasan Laoshi Stephanie atau Talulah tentang banyaknya murid perempuan yang sepertinya menyukainya. Ia tak pernah merasa seperti itu.

"I don't get it, Talulah. Students like me as a teacher. And that's good, isn't it? Namanya guru, bukankah memang disukai murid-muridnya adalah sesuai yang wajar dan bagus, daripada nggak disenangi malah dibenci?" tukas Mr. Milo.

"Bukan begitu maksudnya, Pak. Maksud saya, banyak murid perempuan sepertinya naksir Bapak. Bukan perasaan suka dari murid ke guru, tetapi dari perempuan ke laki-laki."

Mr. Milo semakin terlihat geli. Ia tertawa. "Kamu ini, aneh-aneh aja. Ikut-ikutan menggosip, sih, Talulah."

"Saya nggak bohong, kok, Pak. Saya punya bukti kalau ada murid perempuan yang crush on Bapak. Yang perasaannya itu adalah perasaan antara perempuan kepada laki-laki," ujar Talulah. Ia perlahan memalingkan wajah ke Mr. Milo, guru laki-laki yang begitu disukainya itu. Ia memandang tajam dan dalam-dalam ke mata sang guru.

Mr. Milo masih terkekeh. "Masak sih. Emang apa buktinya?"

"It's me, Pak. It's me. I'm the proof. I'm one of those female students who like you so much. I really mean it. I want you to know that I like you. The feeling of a woman toward a man," ujar Talulah tegas. Ia tak tahu kenekatan apa yang membawanya sampai berani mengutarakan perasaannya. Angin laut menyapu rambut pendek kemerahannya. Talulah memang cantik. Tiada yang meragukannya. Namun, apa itu cukup untuk membuat Mr. Milo sadar hal itu dan membalas perasaannya?

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang