Taman

6 1 0
                                    

Rachel sudah paham salon langganan mamanya. Menurut Rachel, sang mama sebenarnya bukan jenis perempuan yang gila berdandan atau perawatan habis-habisan. Bahkan sang mama pun tidak terlalu suka berdandan. Salon dimanfaatkan sang mama sebagai media untuk merawat diri demi kesehatan kulit serta sarana relaksasi. Berbicara, berkomunikasi, dan bersosialisai dengan orang lain yang dalam hal ini adalah para pegawai salon kecantikan tersebut.

Rachel juga sebenarnya cukup suka mengantarkan sang mama ke salon langganan, karena biasanya ia bisa sekalian nongkrong di coffee shop di area tersebut, menghabiskan waktu menjelajahi internet, atau sekadar duduk-duduk sendirian. Dari beragam shop di kompleks tersebut, ada satu tempat yang sangat menarik perhatian Rachel. Ada sepetak taman kecil yang selain memiliki jalan setapak bergaya batu bata merah berserta bangku-bangku tamannya yang estetik, semuanya itu dinaungi oleh peneduh yang terbuat dari jalinan tanaman merambat. Rachel sering melihat taman kecil itu dan berharap suatu saat bisa duduk-duduk di salah satu bangkunya.

Namun, yang paling mungkin hanya mengajak Sophia. Itupun mungkin sahabatnya itu akan cenderung menghabiskan waktu untuk membaca buku dan menikmati taman itu sendirian. Sedangkan kedua sahabat perempuannya yang lain lebih senang dan akrab dengan café, mall atau window shopping. Namun, akan aneh kalau ia sendirian duduk disana semari menunggu sang mama. Ia tak terlalu suka membaca, berdiam duduk sendirian pun akan aneh tanpa secangkir kopi atau minuan dingin di sore hari seperti ini misalnya. Ia pernah memikirkan untuk melakukannya, tapi entah bagaimana, belum pernah ia coba lakukan sama sekali.

"Honey, mau tunggu Mama dimana? Coffeeshop tempat biasa? Atau, ayuk join Mama. Facial kek, sampoan kek," ujar sang mama ketika mobil sudah terparkir tak jauh dari kompleks ruko tempat salon favorit mamanya itu berada.

Rachel mengedikkan kedua bahunya. "Nggak tahu deh, Ma. Ntar Mama chat aja deh ya. Mungkin aku mau muter-muter dulu deh."

"Jangan jauh-jauh dan jangan lama-lama. Kalau masih bingung mau kemana, masuk aja ke salon. Ikut perawatan."

"Ah, Mama nih emang sengaja dari tadi ngajak-ngajak aku perawatan. Nggak mau, Ma," balas Rachel. Namun, mamanya hanya tersenyum lebar menggoda dan iseng, kemudian membuka pintu dan berjalan langsung ke salon.

Rachel menggaruk kepalanya yang tak gatal, lebih karena heran dengan perilaku sang mama.

Syukurnya, baju lengan panjangnya yang kedodoran itu nyaman sekali di tubuh. Celana pendeknya pun bukan jenis yang mini atau seksi sehingga membuat Rachel tidak terlihat terlalu udik. Lagipula, sulit untuk menghilangkan pesona gadis ini. Busana apapun yang dikenakannya selalu saja pas dan tidak pernah berhasil menutupi kecantikannya. Padahal, Rachel tidak berdandan, tidak mengenakan hiasan tertentu, bahkan rambut panjang lurus hitamnya itu dibiarkannya tergerai begitu saja.

Sinar matahari redup, tetapi hari belum merambah gelap. Angin bertiup sepoi-sepoi menyegarkan karena kompleks pertokoan dan ruko itu menyisakan banyak tempat terbuka, seperti taman kecil itu.

Rachel sungguh tak memiliki ide ingin pergi kemana, dan ia pun sedang tidak mood untuk melakukan suatu kegiatan tertentu. Jadi, ia membuka pintu mobilnya dan berjalan asal sekenanya. Kedua kakinya yang jenjang itu mendadak membawanya berjalan menuju taman kecil yang sedari dulu menarik perhatiannya tetapi sama sekali tak pernah ia kunjungi. Paling banter, Rachel melihat dari kejauhan dan berencana bahkan bertekad untuk ke taman itu suatu saat, walau entah kapan.

Dan, mungkin sekarang lah saatnya.

Angin menerbangkan helai-helai rambutnya yang lurus nan hitam ketika Rachel berjalan melewati lapangan parkir.

Rachel tersenyum ketika akhirnya ia bisa sampai sedekat ini dengan taman kecil itu. Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya penuh syukur. Entah mengapa, ia merasa nyaman setiap melihat taman kecil ini. Hanya saja, kali ini ia akan benar-benar pergi masuk ke dalam taman setelah selama ini hanya melihatnya dari jauh.

Rachel hanya mengenakan slipper untuk melapisi kedua telapak kakinya yang berbunyi halus menampar-nampar pelan ketika berjalan di atas jalan setapak taman tersebut. Ia berencana untuk duduk di atas sebuah bangku, sebentar saja, menikmati angin yang bergemerisik lembut menggoyangkan dedaunan.

Namun, senyum samar Rachel mendadak pudar. Tubuhnya kaku setelah baru beberapa langkah saja menapak jalan. Matanya yang sipit membelalak sebesar mungkin.

Di satu bangku taman, ada sosok yang Rachel sangat kenal. Tidak peduli laki-laki itu kini sedang duduk melipat kakinya yang dibalut jins belel sobek di bagian lutut, kaos oblong warna hitam dan topi kupluk alias beanie warna senada.

Mr. Milo duduk menunduk. Matanya terpaku pada buku yang sedang ia baca.

Rachel tak mungkin salah. Sosok memesona itu pasti adalah Mr. Milo. Apa sesungguhnya yang semesta lakukan pada dirinya hari ini?

Mr. Milo terlihat berbeda, tetapi tak pernah gagal menunjukkan pesonanya. Guru history-nya itu berubah menjadi sosok yang muda, trendi, tetapi terlihat memiliki jati diri. Busana yang ia kenakan memang berbeda dengan pakain formal sebagai seorang guru yang sehari-hari Rachel perhatikan.

Namun, kali ini, Mr. Milo menjelma menjadi laki-laki paling keren sejagad bagi Rachel.

Jantungnya berdetak luar biasa kencang dan telapak tangannya berkeringat. Apa yang Mr. Milo lakukan disini? Santai di taman sembari membaca buku? Kegiatan dan hobi yang keren, bukan? Pikir Rachel. Apa Mr. Milo sering ke tempat ini? Sejak kapan? Kalau tahu seperti itu, mungkin Rachel akan terus-terusan ke tempat ini untuk bertemu Mr. Milo selain di sekolah. Tapi, percuma saja bertemu langsung dengan Mr. Milo kalau tubuhnya kaku, lidahnya kelu, dan mendekat saja ia tak mampu. Apa gunanya melihat Mr. Milo dari jauh tanpa berusaha untuk berinteraksi dengannya?

Rachel tidak lagi merasakan angin sepoi-sepoi yang menggerakkan rambutnya karena semua fokus kini tertuju pada mahluk indah yang dengan santai duduk membaca buku di sebuah taman, tepat di depannya itu.

"Hi, Pak."

Rachel tak sadar kapan ia tahu-tahu sudah sampai di hadapan Mr. Milo. Kenekatan seperti apa yang sudah merasuk ke dalam dirinya sehingga ia berani memutuskan untuk melakukan tindakan yang tak tertakar dengan baik tersebut.

Mr. Milo mengangkat kepalanya pelan. Cahaya matahari yang redup menjadi latar belakangnya.

Mr. Milo tercekat. Ia terkejut dengan diri sendiri karena terpesona dengan sosok perempuan berambut panjang, lurus, hitam nan indah serta senyumnya yang mengembang manis bagai gula-gula sedang berdiri di depannya. Tubuh perempuan itu yang ramping, mempertontonkan keindahan kulit yang berwarna kontras dengan baju lengan panjang hitam kedodorannya. Ia tak pernah melihat perempuan secantik itu.

"Mr. Milo, 'kan? Bapak lagi ngapain disini?" lanjut Rachel.

Butuh waktu sepersekian detik untuk Mr. Milo sadar siapa yang sedang berbicara dengannya. Sejenak tadi ia mengambang di lautan keterpesonaan yang aneh.

"Eh, kamu ... kamu Rachel, 'kan?"

"Lho, kok tanya balik? Kita sama-sama tidak kenal sepertinya, Pak?" balas Rachel bercanda. Ia tertawa kecil, masih heran dengan keberaniannya.

Mr. Milo menggelengkan kepalanya pelan, berusaha menyadarkan dirinya bahwa sosok cantik yang sempat menyedot perhatiannya tadi nyatanya adalah salah satu muridnya sendiri. Ia bahkan sempat menyesal dan merasa konyol karena terpana oleh Rachel.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang