Feeling

5 2 0
                                    

Keterpanaan akan pemandangan yang tidak hanya luar biasa, tetapi mendebarkan ini, Mr. Milo dan Rachel berjalan bersama mendekat ke pembatas jalan.

Tangan keduanya terlepas, setelah jari-jari mereka sebelumnya bertautan cukup lama.

Mr. Milo mimiliki alasan wajar dan alami untuk melepaskan jari-jarinya yang bertautan dengan jari-jari Rachel karena kini ia sudah menggenggam kameranya. Rachel lega karena kejadian ini membuatnya tidak merasa ganjil dan gugup. Padahal tadi ia tak menyangka bahwa Mr. Milo menggenggam tangannya, kemudian berjalan menyongsong pemandangan lampu-lampu kota serta puncak gedung-gedung di kota sana yang bertabur cahaya dari balik bebukitan.

Mr. Milo sudah mulai memotret beberapa kali.

"Saya tahu kamu pasti belum pernah berhenti di tempat ini," ujar Mr. Milo sambil sepasang matanya tetap menatap ke depan.

"Kok Bapak tahu?"

Mr. Milo mengedikkan bahunya. "Feeling aja."

Rachel melirik Mr. Milo yang begitu menawan dengan jas hitamnya itu. Rachel semakin terpesona melihat rambut di bagian belakang kepalanya yang acak-acakan.

"Rach, sepertinya seru kalau dapat siluet kamu dengan latar pemandangan ini." Tiba-tiba Mr. Milo menatap ke arah Rachel sembari tersenyum tipis.

"Bapak mau foto aku?" ujar Rachel sedikit tersentak.

"Kamu keberatan?"

"Eh, eh ... nggak kok, Pak. Tapi jangan lupa buat kirim hasilnya nanti, ya?"

"Iya, seperti biasa, Rach."

Rachel langsung mengikuti arahan sang fotografer. Ia memandang ke arah depan, atau samping, sehingga Mr. Milo dapat mengambil gambarnya dengan gaya tertentu.

Mr. Milo mengabadikan tidak hanya siluet sosok Rachel, melainkan juga memori ini. Ia beruntung Rachel adalah gadis yang selalu positif dan menyenangkan sehingga ia masih bisa merekam kejadian yang berharga ini dengan lensa kameranya.

Rachel melihat hasil dari bidikan Mr. Milo yang menurutnya memuaskan itu. Mungkin Mr. Milo bukan fotografer profesional, tetapi setiap hasil jepretannya sangat memuaskan Rachel.

Di dalam frame itu, ia berdiri memandang ke samping. Mimik wajahnya sukar untuk diketahui, akan tetapi latar belakang foto yang indah itu membawa serta aura kedewasaannya. Ia terlihat cantik, mempesona, sekaligus matang. Ia sendiri heran Mr. Milo mampu menangkap hal-hal tersebut yang diterjemahkan di dalam foto.

"Aku cantik, ya, Pak?" ujar Rachel kembali ke sifatnya yang memang senang menggoda Mr. Milo.

Mr. Milo tertawa renyah. Ia tak menjawab. Meski hatinya ingin sekali menjawab bahwa ia setuju dengan Rachel. Namun, tentu saja tidak ia lakukan.

"Pak, doakan aku lancar-lancar aja melanjutkan studinya ya. Terimakasih atas segala dukungan yang sudah Bapak berikan buat aku. Semua ini sangat berharga. Aku nggak ngerti harus kasih Bapak apa buat menunjukkan rasa terimakasih aku," ujar Rachel mendadak, menjadi sedikit serius.

Keduanya kini memegang pembatas jalan, sama-sama menikmati pemandangan di depan mereka setelah Mr. Milo memotret Rachel. Angin malam yang tidak terlalu kencang dan udara yang untungnya tidak terlalu dingin membuat keduanya merasa nyaman.

"Pasti saya doakan. Yang terbaik buat kamu. Fokus saja di studinya nanti. Nggak perlu kasih apa-apa ke saya. 'Kan saya guru. Sudah tugasnya, kok. Oh, iya, satu lagi pesan saya. Jangan ragu untuk ambil keputusan. Kalau kamu ragu, jalannya nggak enak. Apapun yang sudah diputuskan mengenai pendidikan kamu, jalani saja, selesaikan, deal with it. We can't have everyting in the world. We need to let some of them go, we need to face the reality. Kalau sudah dewasa, kamu pasti tahu maksud saya." Mr. Milo mendengus mendengar ucapannya sendiri. Sejatinya, ia juga sedang berbicara kepada dirinya, memberikan dirinya sendiri wejangan bahwa sebagai orang dewasa, ia tidak bisa bersifat emosional belaka. Ia harus logis dan mampu menerima kenyataan.

Rachel mengangguk, menyelipkan helaian rambutnya di belakang telinga. "Thanks a lot, Pak," jawabnya singkat.

Mr. Milo menatap Rachel. Malam ini sekali lagi ia harus mengakui bahwa mungkin ia memang tertarik dan jatuh cinta pada seorang Rachel. Gadis ini sangat cantik, tidak pernah kurang di matanya. Mr. Milo sepertinya telah mengenal Rachel sedikit lebih baik. Ia sudah melihat Rachel sebagai murid. Ia sudah menyaksikan perilaku Rachel sebagai pribadi yang lain ketika sedang tidak berada di sekolah. Kejailan, kenakalan, keisengan sekaligus keceriaan dan sifat positifnya itu membuat Rachel menjadi individu yang memiliki tempat khusus di hati Mr. Milo. Apalagi sekarang, Rachel menjelma menjadi seorang perempuan dewasa dengan segala pesonanya. Rambut panjang, hitam kelam nan lurusnya itu sudah kembali tergerai, meski sebelumnya sempat diikat sederhana. Kulit putihnya bersinar di keremangan malam, memantulkan cahaya lampu jalan dan sinar alam dengan indahnya.

Di saat yang sama Mr. Milo menghela nafas lega, karena ia sudah berani mengakui rasa ini pada dirinya sendiri, sekaligus berhasil menjaga diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas dan tidak profesional. Ia sudah merasa cukup dengan apa yang terjadi diantara mereka selama ini.

Rachel jelas memiliki perasaan yang bahkan lebih. Ia baru saja menyecap apa yang dinamakan cinta. Maka, semua ini begitu menyedihkan bagi dirinya. Ia tak sanggup untuk menunjukkan perasaannya dengan lebih gamblang lagi. Maka ia hanya bisa menerima apa yang akan terjadi.

"Bapak masih bakal mengajar lama di Uni-National, 'kan?" tanya Rachel.

"Mau saya jujur?" Mr. Milo balas bertanya.

"Iya, dong. Lagian, memangnya kenapa pertanyaan sederhana kayak gini Bapak perlu bilang begitu?"

"Ya, soalnya, nggak ada yang tahu. Maunya ya saya mengajar tetap di Uni-national, tapi ...."

"Tapi apa? Ada hal apa yang membuat Bapak berpikir untuk tidak mengajar lagi di Uni-National?"

Mr. Milo mengedikkan bahu. "Yuk, saya antar pulang. Maaf pakai berhenti segala di sini," ajak Mr. Milo, memotong pembicaraan begitu saja.

Rachel mengangguk. Namun, ia tetap tersenyum lebar. Mr. Milo merasakan hatinya tersobek. Ia pasti merindukan senyuman manis Rachel yang membuat kedua matanya hampir hilang ditelan sepasang pipinya yang menggelembung memerah tersebut. Rachel tak sempat mendapatkan jawaban dari Mr. Milo atas pertanyaannya itu. Namun, ia tak memiliki hak untuk mendesaknya.

Mr. Milo mengantarkan Rachel sampai rumahnya dengan selamat sentausa. Mereka melewati jalan berkelok menuruni bukit. Keduanya bahkan masih menggunakan waktu di dalam mobil untuk bersendagurau dan tertawa bahagia.

Sesampainya di rumah, Mr. Milo juga langsung meminta Rachel untuk menghubungi Vivian dan sahabat-sahabatnya yang lain dengan segera. "Biar mereka tahu kamu sudah sampai rumah, dan nggak saya culik."

Rachel tertawa.

Mr. Milo melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobil.

Ketika mobil yang dikendarai Mr. Milo sudah hilang dari pandangan, Rachel merasakan malam itu kembali hampa. Sisa-sisa tawa dan keriangan baik dari prom night maupun kebersamaannya dengan Mr. Milo masih terasa manis di dalam hatinya, seperti after taste yang menempel di bibirnya setelah meminum matcha tea: hanya tersisa kesan, bukannya kenyataan.

Rachel memandang gaunnya yang cukup membuat ia puas. Ia berharap Mr. Milo sempat mengingat paling tidak sedikit saja pesonanya di malam ini.

Rachel menghena nafas panjang, memandang pintu rumahnya. Tak lama ia bergumam, "Aku nggak keberatan Bapak culik."

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang