Busana

7 2 0
                                    

Rachel memandang tubuhnya di depan cermin. Ia harus meyakinkan bahwa ia tidak berbusana dan berdandan berlebihan. Namun, sebaliknya ia juga tidak mau bergaya gembel seperti minggu lalu.

Syukurnya Rachel sama sekali bukan tipe gadis fashionable yang memperhatikan penampilannya secara mendetail sehingga tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk memutuskan apa yang harus dikenakan. Rachel mengenakan pegged pants yang santai berwarna abu-abu lembut, serta atasan kaos putih yang tidak terlalu ketat. Menurutnya, pakaiannya cukup sopan, rapi tetapi tidak terlalu formal. Ia juga tidak mau mengesankan diri terlalu dewasa.

Lain halnya dengan Vivian atau Silvia yang berani mengenakan pakaian serba ketat, mini, dan mungkin sedikit terbuka untuk menunjukkan pesona mereka sekaligus menawan lawan jenisnya. Mana mungkin Rachel nekat bergaya seperti kedua gadis yang memang sangat atraktif tersebut.

Anggota the Four Musketeers pasti ingat beberapa waktu yang lalu, ketika tidak sengaja mereka berpapasan dengan Silvia dan gengnya di sebuah pusat perbelanjaan. Silvia yang melihat mantan pacarnya, Jordan, berjalan bersama pacarnya yang baru, yaitu Sophia, ketidaknyamanan langsung tetlihat.

Silvia yang merupakan jenis mean girl, tentu saja tak membuang-buang kesempatan untuk bertindak. Ia melenggak-lenggokkan tubuhnya di depan Jordan dan the Four Musketeers. Pakaiannya yang memang serba mini itu memang membuatnya terlihat terlalu dewasa untuk umurnya saat itu. Tubuhnya tinggi dan berlekuk sedemikan rupa bagai wanita dewasa.

Vivian merespon dengan melepaskan cardigan-nya. Di balik cardigan itu, ia mengenakan tanktop yang ketat dan mini, memamerkan kulitnya yang putih cerah serta bentuk tubuhnya yang tak kalah berlekuk bagai perempuan dewasa. Vivian seakan ingin mengatakan kepada Silvia, "Bukan lo aja kalik yang bisa begitu!"

Sophia menutup mata Jordan yang terkikik terkekut sekaligus geli dengan tindakan Vivian. Tak lama kesemuanya tertawa-tawa tak habis pikir dengan 'perlawanan' Vivian.

Namun, Rachel cukup puas dengan gaya berpakaiannya. Rambut panjang, hitam nan lurusnya, seperti biasa, dibiarkannya tergerai begitu saja. Ia bahkan tidak menyapukan make up apapun. Pipinya sudah terlalu mudah bersemu merah.

Ia menutup mata, menghela nafas, kemudian sekali lagi memandang dirinya sendiri di depan cermin. Ia tak sabar ingin bertemu Mr. Milo.

Hari ini ia sengaja membawa dua novel. Circe milik Mr. Milo akan ia bawa untuk memberikan 'laporan' tentang sudah sejauh mana ia membacanya. Sedangkan, senjata utama Rachel hari ini adalah Animal Farm yang sudah ia selesaikan secara sempurna. Mungkin ia bisa membahas mengenai buku ini lebih dalam dengan Mr. Milo.

Rachel tak bisa menahan senyumannya. Jantungnya sudah berdetak kencang sejak semalam, tapi ia lebih bersemangat dibanding kikuk atau takut.

"Beneran kamu nggak mau berangkat sendiri aja, Rach?" tanya sang papa.

"Daaad. Are you asking me again? Kok nanya lagi sih. Udah tinggal berangkat aja, deh."

"Eh, kok gitu ngomong sama Papa? Iya, lagian Papa bercanda juga aja kok."

Rachel memerah wajahnya. Iya sadar sudah keterlaluan merespon sang papa dan terkesan tidak sopan. Walaupun memang papanya bercanda dan tidak sungguh marah dengan Rachel, tetap saja ia merasa bertindak keterlaluan. Mungkin karena terlalu bersemangat.

"Aduh, I'm really sorry, Dad. Aku minta maaf yaaa... Soalnya beneran ada perlu nih, Pa."

Sang papa tertawa, kemudian melirik ke arah istrinya. "Anakmu itu Ma kalau udah ada maunya ."

"Ih, bukannya itu kayak Papa? Kok pake heran, sih."

Papa Rachel kembali tertawa.

Rachel sendiri merasa cukup lega karena Papanya tidak sedang berniat menggodanya, mungkin karena busana yang ia kenakan dan penampilannya hari ini biasa saja dan tidak terlalu berlebihan. Bila ia habis-habisan berdandan, bisa saja sang papa meledeknya dan sengaja mengerjainya.

Tak lama, mobil sudah menyusuri jalan menuju kompleks salon dan pertokoan. Tidak ada pembahasan lagi mengenai acara apa sebenarnya yang hendak didatangi Rachel.

"Hon, nanti kalau sudah selesai urusannya chat aja ya. Kalau Mama duluan selesai, nanti Mama yang chat," ujar sang Mama.

"Siap, Maa ...," balas Rachel tetap mempertahankan semangatnya.

Rachel tidak menduga bahwa cuaca begitu bersahabat hari ini. Angin bertiup sepoi-sepoi, tetapi cahaya matahari muncul lemas dan tak menyakitkan kulit. Rachel juga tidak melihat mendung berarak. Maka, harusnya hari ini adalah hari yang sempurna.

Rachel menahan senyumannya, karena bagaimanapun masih ada satu hal yang perlu ia perhatikan.

Apakah sosok Mr. Milo ada di taman itu? Duduk di bangku taman kecil, menumpangkan satu kaki di atas kaki lainnya dengan santai sembari membaca buku? Apakah ia mengenakan beanie lagi hari ini? bagaimana dengan jins belel sobek di bagian lutut atau pahanya?

"Jadi, Papa yang pegang kunci mobilnya 'kan, Rach?"

Rachel tersentak dari lamunannya. Mereka sudah berada di lahan parkir di dekat salon seperti biasanya.

"Eh, iya, Pa. Papa aja yang bawa. 'Kan tadi juga Papa yang nyetir. Nanti aku chat deh ya, atau Papa Mama chat aku aja kalu udah selesai nyalon. Jangan terburu-buru, santai aja, Mama nikmatin aja perawatan sama massage-nya ya. Papa jagain Mama bener-bener ya, mana tahu ketemu cowok-cowok yang suka godain Mama," balas Rachel sembari bercanda.

Sang Papa menyipitkan kedua matanya yang sudah sipit itu, "Jadi, benar memang ada yang suka godain Mama, Rach?"

Rachel dan Mamanya spontan saling pandang kemudian sama-sama tertawa, membuat sang Papa semakin bingung.

Rachel keluar dari mobil, memerhatikan kedua orang tuanya berjalan bergandengan seperti pasangan pacaran saja. Rachel tersenyum melihat keduanya menghilang di deretan ruko. Ia bangga memiliki seorang mama yang cantik, dan ayah yang meski ketampanannya tidak berlebihan, papanya penuh perhatian kepada mama dan dirinya.

Rachel menghena nafas kemudian perlahan berjalan menuju ke taman kecil yang merupakan tujuan utamanya.

Tangan kanannya menggenggam dua buku, Circe yang baru dibaca beberapa halaman, serta Animal Farm yang sudah tuntas diselesaikannya. Tas kecil yang menggantung di bahu kirinya berisi dompet dan hapenya. Ia melihat lagi busana yang dikenakannya. Ia sungguh berharap penampilannya tidak berlebihan. Harapan kedua, dan yang utama, Mr. Milo ada disana.

Rachel menghena nafas panjang untuk kesekian kalinya, paling panjang kali ini. Ia membuka mulutnya lebar, senyuman terlukis di wajahnya, menarik kedua pipinya menyembul kemerahan sehingga menelan sepasang matanya.

Mr. Milo ada di sana.

Sosok itu hampir seperti gambaran di pikiran Rachel. Mr. Milo masih mengenakan beanie, berwarna merah kali ini. topi kupluk itu seperti menjadi ciri khas Mr. Milo bila sedang diluar dan tidak menjadi guru. Ia masih mengenakan celana jins, tetapi berwana hitam dan bukan jins belel. Kaos yang Mr. Milo berwarna putih polos tanpa motif atau gambar apapun. Ia mengenakan sepasang sepatu desert boots berwarna pasir. Ia tak memerhatikan kedatangan Rachel karena nampak jelas bahwa Mr. Milo sedang mengenakan sepasang earphone, sembari matanya membaca serius sebuah buku yang ada di tangannya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang