Singapore

6 2 0
                                    

Rachel mulai memanen rasa sepi. Hari kedua libur Natal dan Tahun Baru, dan ia merasakan rongga di dalam dadanya yang kosong semakin membesar. Ia berliburan ke Singapura kali ini. Ini pun sebenarnya sudah merupakan rencana yang ia ajukan setahun lalu kepada papa dan mamanya. Selain ingin melihat ION Orchard yang bermitra dengan Louis Vuitton membuat pohon Natal dengan tinggi 21 meter dipenuhi dengan 900 ornamen Louis Vuitton ikonis, termasuk maskot-maskot Vivienne, Gaston dan DouDou, atau ke Marina Bay Sands, melihat pohon Natal 11 meter Dior, ia juga sudah merencakan untuk meniliki LASELLE College of Arts yang bakal menjadi tujuan utama kuliahnya nanti.

Namun, setelah hari itu datang, segala semangat menguap seketika. Ia tidak perlu kemewahan lampu-lampu Natal yang wah bertebaran di seluruh sudut jalan dan gedung-gedung tinggi Singapura. Ia hanya ingin duduk di bangku taman yang sempit, di bawah pepohonan rindang, dengan Mr. Milo di sampingnya duduk berdekatan dengannya. Ia tak keberatan bila mereka hanya sama-sama membaca buku tanpa harus merayakan apa-apa.

Lampu-lampu indah berwarna lembut berbentuk awan yang terbang mengambang dipasang di atas Orchard Street tidak berhasil membuat Rachel senang. Namun, ia masih mampu membuat kedua orang tuanya tidak memahami keluh kesah di dalam hatinya. Di taksi yang berjalan lambat karena kemacetan dibanding hari-hari biasa itu, Rachel bercanda, tertawa, dan merespon kata-kata papa dan mamanya dengan baik dan normal.

Ah, andai tawa itu diciptakan oleh Mr. Milo dengan lelucon kunonya. Andai saat ini ia dapat membuat Mr. Milo kembali menggaruk alis dan menggelengkan kepalanya lagi.

Makin kesini, ia makin tidak mau melepaskan Mr. Milo. Akan tetapi di saat yang sama, kemungkinan untuk berpisah dengan sosok itu sudah semakin jelas. Rachel merasa tak mampu untuk melakukan apa-apa untuk mencegah hal ini. Ia tidak senekat dan seberani Silvia Johnson (andai ia tahu apa yang pernah Talulah lakukan). Ia tak mungkin menyatakan perasaannya kepada Mr. Milo. Jangankan kepada guru, seorang cewek menyatakan cinta kepada seorang cowok saja sudah luar biasa aneh.

Di dalam mobil diam-diam Rachel melihat hapenya, menyusuri foto demi foto, dimulai dari foto selfie pertamanya dengan Mr. Milo di taman, foto bersamanya yang kedua dengan Mr. Milo yang diambil oleh Dwi, serta foto-foto Mr. Milo lainnya yang berhasil ditangkap sengaja maupun tidak sengaja di Hong Kong. Mr. Milo dengan beanie merahnya. Mr. Milo dengan hoodie-nya, atau Mr. Milo yang sedang berada di dalam mode serius memotret obyek dengan menggunakan kameranya. Rachel mendesah. Bagaimana ia tahan jauh dari orang ini, tapi bagaimana caranya agar Mr. Milo tahu apa yang ia rasakan, pikirnya. Parahnya lagi, ia tidak hanya sekadar ingin Mr. Milo tahu apa yang ia rasakan, melainkan juga sungguh menginginkannya untuk menjadi ... kekasihnya.

Rasanya mau mati saja kalau begini.

"Ok, so, what's up, honey? Kamu sedang kepikiran apa sih sebenarnya, sayang?" bisik sang mama yang tahu-tahu saja sudah merapat di sampingnya. Sang papa sendiri sedang mengobrol dengan driver taxi.

Sang mama berhasil menangkap kemurungan serta chaos di dalam pikiran anak perempuan tunggalnya itu dan menggunakan kesempatan ini untuk langsung menanyakannya.

"Eh, Mama. Nothing happens. Why do you ask?" terbata-bata balas Rachel.

"Kamu itu anak Mama. Masak Mama nggak tahu apa yang sedang terjadi sama kamu."

Rachel mendesah. Rasa-rasanya percuma untuk menutupi gejolak hatinya di depan Mamanya. "Cuma masalah remaja biasa, Ma. Namanya juga anak baru gede."

"Is it love? Soalnya kalau masalah asmara, tidak peduli umur, tetap saja complicated."

"Memangnya Mama percaya kalau anak seumuran aku ini bisa jatuh cinta?"

"Lho kenapa tidak?"

Rachel menghela nafas panjang. "Iya, Ma. Cuma tuh, tetap aja 'kan, orang banyak berpikiran kalau cinta di masa sekolah itu cinta monyet aja. Nggak sungguhan. Anak-anak remaja baru pada masa mencoba dan merasa segala semuanya. Jadi, cinta mungkin dianggap hal baru saja bagi mereka, sehingga mereka juga semangat menikmatinya. Tapi karena itu juga merupakan hal baru, anak-anak seumuran aku gini terus gampang bosan, terus cari cinta lain lagi sebagai pengalaman baru. Gitu Ma."

"Aduh, anak Mama memang cerdas. Kamu bisa aware sama kondisi kamu. Kamu bisa merasionalisasi perasaan kamu. Berarti kamu sendiri yang bisa menakar rasa cinta kamu sendiri. Apa itu cinta monyet, apa itu cinta sejati."

"Memangnya cinta sejati seperti apa, Ma?"

Sang mama tersenyum, kemudian menyandarkan kepalanya. Ia menghela nafas. Rachel selalu kagum dengan mamanya yang selalu terlihat cantik, muda, tetapi dewasa ketika diperlukan. Sosok ibu dan sahabat ada di sana.

"Ya, Mama nggak tahu. Cinta Mama ke Papa jelas sejati, dan juga sebaliknya. Kami yang merasakannya sama-sama. Kalau kamu? Kamu yang merasakannya sendiri," jawab sang Mama penuh misteri.

"Aduh, aku nggak tahu deh, Ma. Mungkin bener ini cinta monyet aja. Nggak udah dipikirin, Ma. Nanti juga paling aku nangis, putus cinta, patah hati, terus setelah lulus dan kuliah di sini aku udah baikan. Terus jatuh cinta lagi. Terus aku ketawa karena melihat betapa konyolnya perasaan aku di masa sekolah," balas Rachel. Ia memaksakan tawa.

"Mama nggak bisa menghakimi kamu, sayang. Don't be hard on yourself. Kalau memang kamu merasa ini cinta sejati, pantas kok untuk diperjuangkan. Tidak ada yang konyol atau bodoh kalau berhubungan dengan cinta sejati. Itu kalau kamu memang merasa bahwa kamu sudah mendapatkan apa yang dinamakan cinta sejati. Untuk tahu itu, seperti kata Mama tadi, don't be hard on yourself. Jangan membuat diri kamu terlalu tersiksa. Lakukan apa yang kamu pikir harus dan bisa dilakukan. Mama percaya sama kamu, kok."

Rachel menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Syukurnya ia berhasil, dan cahaya remang di dalam mobil berhasil menutupi cerminan air di matanya itu. Ia tak mau menangis untuk urusan semacam ini. Ia malu dengan mamanya.

"Ih, Mama kok udah memutuskan kalau aku jatuh cinta? Katanya nggak mau menghakimi."

"Ya, Mama nggak tahu sih. 'Kan kamu yang kelihatan sedang galau gitu. Kalau nggak cinta, apaan coba? Sampai umur kamu yang ke-17 ini, Mama nggak pernah lihat kamu galau karena masalah-masalah biasa. Persahabatan lah, soal sekolah dan pendidikan lah, soal sosial, apalagi soal keluarga dan komunikasi, kamu baik-baik saja. Mama percaya sama kamu. Makanya, satu-satunya kemungkinan lain yang membuat kamu segalau ini, ya cinta. Kamu baru merasakannya juga, 'kan?"

Rachel berharap mamanya tidak melihat wajahnya yang memerah.

"Soh tahu ih, Mama. Hmm ... emangnya Mama tahu siapa yang aku suka?"

"Ehm ... lihat kegalauan kamu yang setinggi ini, nggak mungkin kamu cuma naksir temen sekolah. Nggak mungkin perhatian cewek secantik anak Mama ini nggak dibalas cowok manapun. Jadi, kemungkinan cinta kamu seakan nggak berbalas, ya kalau nggak artis yang sulit digapai, mungkin guru. Ada ya guru laki-laki kamu yang ganteng, sayang?"

Rachel menutup kedua matanya. Wajahnya akan meledak sebentar lagi. Ia menutup mulut rapat-rapat dan berharap ia ditelan bumi saat ini juga saking malunya.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang