Bijak

10 2 0
                                    

"What the hell were you thinking, Rach?" protes Sophia tanpa babibu. Sepasang matanya membulat dari balik kacamata.

Rachel mengela nafas. Ia sadar bahwasanya keputusannya untuk berbicara mengenai hal ini kepada Sophia mungkin bukanlah keputusan yang paling bijaksana yang pernah ia buat. Namun, bagaimanapun Sophia adalah sahabatnya. Bila ia berbicara dengan Dwi dan Vivian, sudah barang tentu mereka akan memiliki respon yang sama sekali berbeda.

"Sof, gue sengaja cerita ke lo karena gue merasa lo yang punya pendapat berbeda. Iya sih, gue lebih ke nggak punya pilihan, apalagi abis lihat respon lo yang kayak gini."

"Ya gimana respon gue nggak kayak gini, Rach. Lo tu beneran nekat ya. Jangan main-main, please. Apalagi sama perasaan. Mr. Milo itu guru, Rach. Dan dia lebih tua dari lo."

"Kok, diulang-ulang mulu sih, Sof. I'm legal, OK. I'm seventeen now."

"Legal? What does it suppose to mean? Legal untuk apa? Lo mau ngapain sama Mr. Milo?" ujar Sophia hampir-hampir menjerit. Wajahnya menggambarkan syok yang luar biasa.

Rachel tiba-tiba meledak dalam tawa. Padahal jelas-jelas sepasang mata yang dipaksa melotot milik Sophia itu menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak sedang bercanda.

Sebagai akibatnya Sophia menunduk, menggeleng-gelengkan kepala dan meremas dahinya depresi.

Rachel terbatuk-batuk kecil, membetulkan rambutnya, kemudian menenangkan diri. "Gini lho, Sof. Coba deh lo pikir baik-baik. Sebenarnya salah gue apa sih? Gue jatuh cinta? Mungkin. So what? Lo bisa jatuh cinta, bahkan punya pacar sekarang. Setiap orang boleh jatuh cinta, termasuk setiap anak sekolah lainnya. Kalau yang lo takutkan adalah pacaran gaya dewasa ..," Rachel membuat tanda petik dengan jari telunjuk dan jari tengah kedua tangannya di udara ketika mengucapkan kata "dewasa", " ..., memangnya pacaran gaya dewasa dengan sama-sama anak secondary atau sebaya itu bener dan bisa diterima? Tetap salah 'kan?"

"Iya, gue nggak bilang kalau pacaran dengan gaya dewasa itu bener dan bisa diterima, tapi sekali lagi, Mr. Milo itu udah lebih dewasa daripada kita. Lo 'kan nggak tahu gimana gaya pacarannya. Belum lagi sangkut-pautnya dengan profesinya sebagai guru. Apa kata anak-anak Uni-National? Apa kata orang tua kita kalau sampai tahu? Gimana reaksi sekolah? Mr. Milo nggak hanya bakal dipecat, dia bisa aja masuk penjara karena dianggap pedo dan bikin khawatir orang tua lainnya, Rach!"

"Jeez, Sof. It's not like we're dating now. Gila lo, mikirnya sampai sejauh itu, Sof." Kini Rachel yang malah geleng-geleng kepala. "Gue cuma mau cerita dan minta tolong sama lo, gimana cara chat Mr. Milo duluan. Gue udah nekatin dapatin nomer hapenya, sekarang gue harus hubungin dia. Gue sengaja nggak ngomong sama Dwi dan Vivian. Bisa heboh mereka. Bukannya bantuin, mereka malah duluan yang rebutan hubungin Mr. Milo. Padahal mereka bisa aja usaha sendiri," ujar Rachel.

Sophia menghela nafas. Rasa jengkel dan frustasinya sudah berada di ubun-ubun. "Now, let me ask you this. Tujuan lo minta nomer hape Mr. Milo untuk apa? Untuk pedekate 'kan? Cari perhatian 'kan?"

"Normal 'kan?" jawab Rachel pendek.

"Rachel Loh! Lo gimana sih. Susah banget bilanginnya. Hubungan lo dengan Mr. Milo itu nggak akan terjadi dan nggak boleh terjadi. Jadi lo ngapain pakai usaha beginian? You'll waste your time and energy, and it will drain your emotion, darlin'."

"Sophia Chang, sahabat gue yang gue sayang. Gue emang lagi tergila-gila sama Mr. Milo. Menurut gue dia tuh mahluk paling menarik yang pernah gue lihat selama gue hidup tujuh belas tahun lamanya. Iya, gue mungkin jatuh cinta. Tapi itu normal 'kan ya? Emangnya ada aturan kalau jatuh cinta atau naksir seseorang harus sama-sama anak sekolahan. Atau harus sama yang tinggi, jago basket, populer di sekolah dan bule pula?" ujar Rachel menyindir.

Sebelum Sophia bisa protes, Rachel mengangkat jari telunjuknya di udara, kemudian menggerak-gerakkannya secara dramatis, sebagai tanda bahwa ia belum selesai berbicara. "Lagian, siapa yang berpikir sampai sejauh itu. Gue nggak mikir mau pacaran apa gimana sama Mr. Milo. Pertama, karena jelas, itu nggak mungkin. Secara profesi seperti yang lo bilang, kemudian juga secara sosial, juga seperti yang lo bilang. Kedua, Mr. Milo belum tentu mau sama gue. Mungkin seleranya perempuan yang mature, yang sudah dewasa. I'm totally aware, Soph. Perhaps I'm in love, but I'm not stupid."

"But love makes us stupid," potong Sophia.

Rachel kembali mengangkat jari telunjuknya ke udara. Kali ini wajahnya juga berbicara, menuntut Sophia untuk menghentikan protesnya.

"Yang gue nggak terima, why can I have the time to enjoy this feeling? Toh, gue dan Mr. Milo nggak bakal pacaran juga. Gue mau sesering mungkin bisa deket sama laki-laki itu, Soph. Aromanya enak, soothing. Dia good-looking, pake banget. Sangat laki-laki, tapi nggak terlalu terlihat kasar. You know what I mean, right, Soph? I just want to be around him, all the time. Atau paling nggak, selama mungkin. Sampai kita lulus, mungkin. Sampai dia dapat pacar, mungkin. Sampai dia kawin, mungkin."

"But, you'll be broken-hearted, my dear Rachel." Kali ini tatapan mata Sophia tidak lagi galak, malah sebaliknya meredup, penuh keprihatinan.

Rachel menyipitkan matanya yang memang sudah sipit itu. "Are you afraid of loosing Jordan, Sophia Chang?" ujarnya penuh selidik.

Sophia menjatuhkan kedua bahunya. "Why now it's about me?" ujarnya pelan dan lirih.

Rachel mengenainya, tepat.

Rachel mendekat, kemudian merangkulkan lengannya di kedua bahu sahabatnya itu. "I know you have a great concern about me. But I'll be fine, Sof. Lo takut gue bakal merasakan sedihnya patah hati, karena lo juga takut itu bakal terjadi dengan lo. Dan lo tahu, gue mungkin bener-bener serius sama Mr. Milo, sama seperti lo serius sama Jordan. Jadi, dibanding kita sama-sama pusing, kenapa nggak kita jalani aja semua, Sof. Lo pacaran yang baik-baik sama Jordan. Dia cowok baik kok, cerdas juga. Buktinya, dari Silvia Johnson yang super duper populer dan cantik se-alam raya itu, dia mati-matian deketin lo. Pasti lo super spesial, jauh lebih spesial dari Silvia atau cewek populer manapun. Dan gue, ijinin deh buat merasakan gimana rasanya berbunga-bunga bisa dapat sapaan dan balasan chat dari Mr. Milo. Soal nanti, kita lihat aja. Lagian, 'kan ada lo, Vivi dan Dwi buat jagain gue bila sampai beneran patah hati ketika Mr. Milo nanti nikah," ujar Rachel panjang lebar. Sepasang matanya kembali tenggelam di balik pipinya yang menggembung merekah merah ketika ia tersenyum lebar.

Sophia menghela nafas pelan. "So, apa alasan lo buat chat Mr. Milo? Please jangan yang norak. Jangan juga sok-sok-an pinter bahas materi mulu kayak Talulah," ujar Sophia.

"Idih, tahu darimana chat-nya Talulah dan Mr. Milo?"

"Ah, kayak nggak tahu aja. Mungkin bisa tiap hari Talulah chat Mr. Milo nanyain esai lah, terminology lah, citation and source lah. Lama-lama dikawinin aja dua orang itu."

"Ih, lo kok gitu, Sof. Sama Talulah Mr. Milo diokein aja. Ama gue lo larang-larang. Gue yang bakal dikawinin Mr. Milo, tauk!"

"Language, girl! Language!" jerit Sophia benar-benar menjerit.

Tak lama kedua sahabat ini tertawa bersama, dalam kehangatan dan keceriaan. Kamar Sophia yang penuh dengan koleksi novel dan berbau kertas yang khas itu tetap menjadi salah satu tempat ternyaman Rachel. Mungkin keputusannya bercerita dan meminta pendapat kepada Sophia bukanlah hal yang salah. Mungkin kali ini ia memang cukup bijak.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang