Sejarah

8 2 0
                                    

Rachel tak bisa dan tak akan pernah bisa mengatur rona kemerahan di wajah dan kulitnya itu. Memang semuanya sudah menjadi bagian tak terlepaskan dari fisik dan pribadinya. Namun, ia sudah mampu memberanikan diri menghadapi Mr. Milo. Walau wajahnya selalu terasa terbakar ketika sepasang matanya bertatapan dengan milik Mr. Milo.

"How do you think the wars justify history?" tanya Rachel ketika Mr. Milo melewati sisinya. Tentunya ia telah mengangkat tangan sebelumnya, walau sedikit malu-malu. Bahkan pertanyaannya pun diucapkan pelan-pelan.

Dwi mengernyit. "What the hell did you just say? How did you get that type of question?" ujarnya dalam hati, tidak percaya seorang Rachel mendadak berani sengaja bertanya kepada Mr. Milo dengan pertanyaan yang tidak biasa pula. Apakah temannya itu sudah sengaja mempersiapkan pertanyaan tersebut jauh-jauh hari?

Mr. Milo berhenti, kemudian mundur sehingga berada tepat di depan Rachel. Ia jelas menatap Rachel dengan tertarik, atas pertanyaan yang diajukan. Pipi Rachel merona parah. "Would you like to elaborate?" respon Mr. Milo.

Rachel mendehem dan sadar Dwi sedang memerhatikannya dari belakang. "So, basically, I personally think that the history is recorded, divided and separated by wars. The wars are the signs of how the timeline is written. Even the chapters in our history books are divided based on what wars happened. You know, World War I, World War II, Cold War, Spanish Civil War. Uhm ... If you know what I mean, Sir," ujar Rachel. Ia sekarang malah jadi ragu apa ia sungguh sudah menjelaskan pertanyaannya atau malah terlihat sok pintar.

Mr. Milo memijat pangkal alisnya. Rachel seperti melihat ada satu sudut senyuman kecil yang terbentuk samar di bibirnya. Jantung Rachel berdegup kencang secara mendadak. Mr. Milo terlihat begitu memesona.

"Very interesting, Rachel. Honestly, I can't say it's not. But I get your point, and it does make sense. However, to see history simply from the conflicts and wars is pretty unfair. Yes, wars justify changes, but it makes us forget what civilization is made of. The history records invention, ideas and the era of knowledge and experts and thinkers, cultural events, religious and political movements, and many more. So, wars are not the only way to divide the chapters on your history book, Rachel," balas Mr. Milo panjang lebar dan dengan excitement yang sama. Ia menutup jawaban itu dengan senyum ramahnya. "Do you get it?"

Dada Rachel bergemuruh, senang, excited dan bangga. Ia mengangguk-angguk paham dan tersenyum lebar. "Yes, Sir. I get it."

Setelah Mr. Milo berlalu, Dwi mencolek bahu Rachel dan menusuk punggung sahabatnya itu dengan jarinya habis-habisan dari belakang. "Bagaimana reaksi Talulah kalau sampai tahu ada murid perempuan yang punya pertanyaan mengenai sejarah yang langsung dijawab Mr. Milo dengan semangat semacam itu selain dia? Lagian, darimana lo bis mikir pertanyaan kayak gituan, sih?" seloroh Dwi tidak percaya tetapi juga kegirangan.

"Ih, jangan overacting sama overreacting, deh. Cuma pertanyaan biasa aja dibandingkan dengan kepintaran Talulah. Lagian, I really learned this material, ok."

"Tapi 'kan, lu sejak kapan peduli sama history?"

"Ya sejak ada Mr. Milo."

Keduanya tertawa terkikik.

Padahal sebenarnya Rachel dan Dwi bukan dua siswi yang malas apalagi bodoh. Pelajaran apapun mereka ikuti dengan baik. Tugas dan ujian pun dihadapi dengan normal pula. Namun, memang penjelasan gaya Mr. Milo ini memberikan angin segar kepada semua siswa. Selain enak dipandang, menurut Rachel, Mr. Milo dinggapnya knowledgeable dan pandai menjelaskan sesuatu. Maka, sedikit ekstra dalam mempelajari sejarah, bukanlah hal yang merugikan baginya. Maka, keberanian Rachel perlahan tapi pasti memuncak.

Saat ini ia belum merasa percaya diri. Tidak ada sesuatu hal yang membuatnya berpikir lebih jauh dibanding sekadar bisa memandang Mr. Milo, lebih dekat. Ia masih merasa getaran luar biasa pada kedua lututnya, darah yang berdesir cepat sehingga membuatnya pusing, atau jantungnya yang berdetak begitu laju setiap saat bertemu pandang dengan Mr. Milo. Namun, ia sudah mulai dapat menikmati semua hal-hal kecil tersebut. Meski semuanya seperti sebuah proses yang Rachel sendiri tidak paham kemana arahnya, yang jelas ia sudah mampu membuat dirinya lebih bersemangat dan berani, atau malah nekat?

Buktinya, tak lama sejak tadi berada di dalam kelas pada pelajaran sejarah, ia sekarang sedang melihat Mr. Milo di kantin pada saat jam lunch break dengan kerlingan aneh di kedua matanya yang sipit itu. Saat ini, Rachel terpisah dengan anggota gengnya karena ia hendak membeli minuman sejenak untuk kemudian kembali berkumpul dengan teman-temannya lagi di tempat bisa, yaitu taman kecil yang dibangun diantara kantin dan bangunan secondary.

Rachel sedang ingin berjalan ke salah satu stand penjual minuman tetapi merasakan tubuhnya gemetaran. Satu hal karena hal itulah yang wajar dan selalu terjadi setiap kali ia berdekatan dengan Mr. Milo. Sekarang memang jaraknya dan guru sejarah barunya itu masih belum bisa dikatakan dekat, tetapi, hal lain yang membuat ia gemetaran adalah karena apa yang akan ia lakukan sebentar lagi.

Dengan segenap keberanian dan kenekatan, Rachel berjalan lurus ke arah Mr. Milo. Langkahnya begitu berat dan ia yakin wajah, terutama kedua pipi dan bibirnya memerah karena ia merasakan perasaan terbakar di sana.

Sesampainya di hadapan Mr. Milo yang sedang tertunduk menikmati makanannya, Rachel membuka mulutnya. "Hi, Pak ..., Sir," sapa Rachel sedikit gagap. Ia berharap nada gugupnya itu tidak ketahuan.

Mr. Milo mendongak, kemudian tersenyum. "Hi, Rachel. Do you need something?"

Melihat senyum gurunya itu, Rachel seperti mau gila. Namun, ia berhasil sekali lagi mengendalikan diri.

"Ehm ... Can I have your phone, ehm ... WhatsApp number? Soalnya ada banyak yang mau saya tanyakan soal esai, Pak, ehm ... Sir."

Rachel Loh, mengapa kamu senekat ini? Pikir Rachel.

Mr. Milo meraih botol minumannya dan menenggak air dari tempat itu. Ia sepertinya masih ingat bahwa Rachel memberikan sebuah pertanyaan yang lumayan menarik di kelas tadi. Jadi, bila ada seorang murid lagi yang juga memberikan perhatian lebih kepada mata pelajaran yang ia ampu, mengapa tidak?

"Kamu bawa HP?" tanya Mr. Milo.

Rachel mengangguk cepat, mungkin terlalu cepat. Ia meraba saku kemeja seragamnya dan mengambil gawai pintarnya. Dengan cepat pula Rachel mengetik nomer telepon yang diucapkan oleh Mr. Milo kemudian.

"Just chat me, let me know what I can do," ujar Mr. Milo pendek.

Rachel mengangguk dan tersenyum malu-malu. Namun, sesungguhnya senyumannya tulus. Ia sebenernya sangat girang dan mulai dengan lancang memikirkan rencana-rencana nekat lainnya. Tentu saja ia akan menghubungi Mr. Milo secepat mungkin.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang