Changi

3 2 0
                                    

Bandara Changi Singapore yang begitu lebar dan luas membuat para guru Uni-National harus bekerja ekstra. Mereka membawa puluhan murid remaja yang masih gampang sekali excited dan ekspresif. Padahal, bisa dikatakan semua murid kelas 12 ini pernah paling tidak sekali dalam hidupnya ke Singapore. Namun, kebersamaan dengan teman-temanlah yang membuat suasana ini berbeda.

"Pak, kita masih punya banyak waktu lho sebelum flight ke Hong Kong. Kira ke Jewel dulu yaaa?" ujar Nadya kepada Mr. Milo. Di belakangnya rombongan siswa dan siswi juga sudah siap membujuk Mr. Milo.

"Wait, guys. Saya tanya sama guru-guru yang lain. Soalnya koordinasi penting. Jangan kalian pergi kayak anak ayam gitu," ujar Mr. Milo.

Mr. Milo berjalan cepat selagi murid-murid sedang mengurus luggage alias bagasi pesawat yang sudah dalam bentuk digital. Tidak ada lagi petugas khusus yang mengurusi tas-tas para penumpang pesawat. Setiap penumpang langsung menimbang sendiri barang-barang mereka yang dimasukkan ke bagasi pesawat, terpisah dengan kabin, serta mengambil tiketnya. Semua dilakukan sendiri.

Mr. Milo berjalan cepat karena bandara internasional terbaik di dunia itu sangat besar dan luas. Ia mencari Rian dan guru-guru yang lain untuk membahas permintaan murid-murid mereka tersebut. Mungkin juga murid-murid yang ada di dalam pantauan mereka juga merasakan dan menginginkan hal yang sama.

Mendadak ada seorang siswi yang berjalan tepat di samping Mr. Milo. Silvia yang jangkung itu dengan mudah mengikuti langkah Mr. Milo yang panjang-panjang.

"So, are we going to the Jewel, Pak?" tanya Silvia. Gadis itu terlihat dewasa sekali. Tidak ada satu murid pun mengenakan seragam sekolahnya tentu saja. Silvia, dengan berani mengenakan kaus ketat dengan lengan yang sangat pendek, hampir seperti sleveless. Pakaiannya ngepres, menempel erat dan membentuk lekukan tubuhnya dengan sempurna. Di bagian bawah, ia mengenakan celana jins ketat ¾ yang tidak kalah memamerkan kedewasaannya.

"Ah, Silvia. I don't know. Hopefully. We need to discuss this first with the teachers. It's not in the initial plan actually."

"Yes, that's right. Can I accompany you, Pak?" tanya Silvia meminta izin untuk menemani gurunya tersebut mencari guru-guru yang lain.

Tentu saja Mr. Milo tak merasa keberatan. Ia tak tahu niatan apa yang ada di balik tawaran Silvia. Ia toh memang tak terlalu mengenal Silvia. Ia adalah siswi bidang science yang berbeda kelas dengan Rachel, Rita, atau Talulah. Silvia satu kelas dengan Jordan, pacar Sophia, dan Vivian, anggota the Four Musketeers.

Tak jauh dari situ, Vivian, Dwi dan Sophia sempat melihat Silvia memberikan semacam kode kepada dua teman akrabnya, yaitu Sydney dan Sandra. Berani sumpah, Vivian, Dwi dan Sophia paham dengan kode itu. Silvia seperti sedang pamer dengan kedua teman dekatnya bahwa ia sedang dalam misi memikat mangsa. Seakan-akan Silvia mengatakan, "You'll see, don't call me Silvia if I can't captivate Mr. Milo. Jangan panggil aku Silvia kalau tidak bisa memikat seorang Mr. Milo."

Sydney dan Sandra, yang sama-sama blasteran tetapi jelas lebih terlihat bule dibanding keturunan lainnya itu tertawa-tawa girang sembari menutup mulut dengan tangan mereka, seakan-akan ini adalah sebuah permainan yang sangat menghibur.

"Gila, parah! Silvia ikutan godain Mr. Milo?" seru Dwi tertahan.

"Gue nggak bisa terima ini. Meski gue juga nggak setuju-setuju amat sama niat sama usaha nekat Rachel, dibanding Silvia, gue lebih baik dukung Rachel sekalian," ujar Sophia geram.

Vivian menggenggam tangan Dwi erat. "Bagi sesama penggemar Mr. Milo, mungkin lebih baik kita sama-sama berusaha untuk menyukseskan misi Rachel sobat kita. Much better than that b**ch!" ujar Vivian tak kalah geramnya sampai mengeluarkan kata-kata kasar. Maklum saja, Silvia adalah sosok antagonis bagi mereka. Ia adalah mantan pacar Jordan yang sekarang adalah pacar Sophia. Tidak jarang Silvia memandang sinis kepada gerombolan geng ini, terutama jelas kepada Sophia yang dianggap menjadi saingannya. Silvia merasa aneh bahwa Jordan bisa memilih seorang Sophia, gadis berkacamata dan berwajah kejam itu setelah putus dengannya. Padahal masih banyak gadis lain yang dianggapnya 'pantas' menggantikan posisinya.

Dwi membalas genggaman tangan Vivian kemudian mengangguk mantap.

Sophia masih merasa bahwa ini bukan hal bakal berujung baik. Namun, ia harus setuju dengan kedua sahabatnya itu dalam hal ini. "Kita jangan bilang-bilang Rachel dulu ya guys. Melihat dari fenomena di sekolah kita ini, bukan tidak mungkin Talulah juga punya niat yang sama. Dia 'kan sebenarnya yang paling dekat dengan Mr. Milo di sekolah. Nggak tahu dengan cewek-cewek lain. Yang jelas Rachel masih terlalu naif buat tahu hal ini."

Ketiganya mungkin tak menyangka bahwa dugaan mereka benar adanya. Bahkan tidak hanya Talulah, Rita pun memiliki perasaan yang kurang lebih sama dengan Rachel dan Talulah. Bedanya, Rita tidak melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan seperti Talulah, Silvia, termasuk Rachel.

"Rian, anak-anak pengin ke Jewel nih. Kita masih punya dua jam sebelum check in sebenarnya. Kalau menunggu di luar terlalu lama, tapi kalau masuk check in langsung, terpaksa anak-anak nunggu di dalam," ujar Mr. Milo ketika langsung bertemu dengan Rian. Cindy, Miss Nadya, dan Mr. Matthew mendekat. Mereka juga sibuk mengurus anak-anak lain yang berada di bawah tanggung jawab mereka.

"Iya, sama. Di sini anak-anak juga pada minta ke Jewel. Masalahnya, kita harus bagi tim, bro. Nggak semua mau ke Jewel. Butuh lima sampai sepuluh menit berjalan dari sini. Tahu sendiri anak-anak kita nggak sedikit yang manja," balas Rian.

"That's fine. I'll be the one who's responsible for those who stay here," celetuk Mr. Matthew. Setelah lama tinggal di negeri ini, ia sebenarnya cukup paham berbahasa Indonesia. Namun, ia enggan menggunakannya karena lingkungan sekolah internasional membuatnya terus berbahasa Inggris. Maka, tidak sulit juga memahami percakapan Mr. Milo dan Rian.

"Are you sure, Sir?" tanya Mr. Milo meyakinkan karena Mr. Matthew menawarkan dirinya untuk menjaga anak-anak yang tidak ikut ke Jewel.

"Sure, why not? Been there many times actually. Kinda bored, ya know?" ujar Mr. Matthew sembari terkekeh, mengatakan bahwa ia sudah terlalu sering ke Jewel di Changi airport ini, membuatnya agak bosan bila harus kembali ke tempat itu.

"Thanks, Sir. I will also help Mr. Milo and the teachers to manage this," kali ini Silvia yang nyeletuk dan menawarkan dirinya untuk membantu guru-guru pula.

Kalau sampai Vivian dan Dwi tahu hal ini, mereka pasti murka luar biasa atas cara Silvia mencari muka Mr. Milo dan para guru. Ini berarti misinya untuk dekat dengan Mr. Milo akan berlangsung dengan baik.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang