Anti Mainstream

3 1 0
                                    

Cahaya dari lampu kota yang membentang di bawah sana, terkirim melalui udara dan masa, menyinari hati kedua insan yang saling bertatapan: Milo dan Rachel.

"Saya tahu kalau saya harus ambil kesempatan ini. Hari ini saya sudah berada di tiga negara berbeda. Pagi-pagi sekali saya berangkat dari Amsterdam, Belanda, ke Singapore. Saya ke apartemen kamu, tetapi kamu tidak disana. Jadi, saya tunggu sampai sore. Maksudnya mau kasih surprise. Terus saya dapat kabar kalau kamu mendadak menghilang, tidak bisa dihubungi. Dan memang kamu nggak bisa dihubungi. Saya kemudian ambil penerbangan malam dari Singapore, karena saya tahu kamu pasti disini," ujar Milo. Pandangannya tak berhenti menatap ke arah Rachel yang malam itu begitu cantik. Mungkin karena Milo sudah terlalu rindu dan terlalu lama tak bersua dengannya, atau memang Rachel tambah cantik.

"Sekarang, kamu bukan murid saya lagi. Saya bukan guru kamu lagi. Saya harus sampaikan apa yang saya rasakan. Kamu jangan protes dulu. Jangan potong," ujar Milo ketika Rachel terlihat hendak berbicara. "Kamu boleh respon setelah saya jelaskan semua."

Walau kata-kata Milo terdengar resmi dan tegas, wajahnya lembut dan bibirnya menyunggingkan senyum. Rachel merasa jantungnya ingin jatuh sampai ke perut. Namun, ia tetap diam, membalas tatapan Milo yang malam itu meruap ketampanannya ke udara.

"Saya dari dulu suka sama kamu, Rachel. Tapi, kita berada di posisi yang tidak tepat. Seharusnya, setelah kamu tamat sekolah, kesempatan itu terbentang luas. Nyatanya, saya tidak memiliki pikiran bahwa kamu memiliki perasaan yang sama dengan saya atau tidak. Sekarang, saya memiliki kesempatan besar untuk bisa menyatakan ini. Masalah kamu mau membalas perasaan saya atau tidak, itu tidak jadi masalah. Atau kalau ternyata sekarang kamu punya pacar, atau orang yang sedang kamu sukai, itu juga tidak menjadi hal."

Deg!

Rachel mau gila. Kenapa kejadian mencengangkan ini terjadi saat ini juga? Kepalanya serasa berputar. Ia masih tak yakin seorang Mr. Milo yang menyatakan ini kepadanya.

"Terus ... ehm ... Bapak, maunya gimana?" Bodoh! Rutuk Rachel dalam hati. Apa sih maksud kata-katanya itu?

Milo tertawa pelan. Manis sekali. Rachel mau tenggelam ke dasar Bumi saja.

"Ya, saya ini sekarang sedang nembak kamu, Rachel. Kamu kamu jadi pacar saya? Itu juga kalau kamu tidak keberatan dan berhalangan. Eh, tapi saya membuka kesempatan lain lho. Misalnya kalau kamu perlu waktu untuk memikirkannya. Atau kamu mau saya pendekatan dulu. Atau ada syarat ...."

"Aku mau! Aku mau jadi pacar Bapak!" potong Rachel setengah berseru.

Kini Milo yang tersentak terkejut. Ia tak siap dengan reaksi Rachel tersebut.

"Really? Beneran kamu mau jadi pacar saya. Tapi kita ...,"

"Nggak masalah salah sekali, Pak. Aku serius mau jadi pacar Bapak," ujar Rachel hampir menjerit. "Aku sudah lama suka sama Bapak. Aku naksir Bapak dari pertama lihat, Pak. Sebenarnya, aku udah nunjukkin itu berkali-kali, tapi aku pikir Bapak menganggap itu semua karena aku bercanda saja. I'm feeling empty all this time, Pak. Selama ini aku merasa kosong, terutama setelah tidak bisa ketemu Bapak. Aku nggak peduli kalaupun kita belum benar-benar saling kenal. Soalnya aku udah merasa tahu Bapak seperti apa. Aku kaget setengah mati tahu kalau Bapak ternyata memiliki perasaan yang sama juga dengan aku. Aku nggak mau menunggu lagi, Pak. Aku udah capek," ujar Rachel. Pelupuk matanya berkaca-kaca.

Milo menghela nafas, tersenyum lebar.

"Ehm ... tapi sebelumnya, saya mau kamu tahu kalau saya dan Vivian tidak ...."

Rachel menggeleng-geleng kuat, memotong kalimat Milo lagi. "Aku nggak peduli, Pak. Nggak perlu bahas siapa-siapa lagi. Yang jelas sekarang, Bapak jadi 'kan nembak aku? Kita ini jadian atau gimana sekarang?" ujar Rachel sedikit tersedak air matanya sendiri. Ia seperti sedang desperate, hendak menangis.

Milo tertawa. Ia melihat Rachel si anak SMA, tetapi bercampur dengan sisi kedewasaan pula. Rachel yang dulu mungkin akan menjerit dan langsung menangis. Milo tahu Rachel sangat ekspresif. Namun, kini, meski Rachel desperate, ia masih bisa mengatur perasaannya.

Milo mendekat ke arah Rachel. Ia sendiri hampir tak percaya bahwa Rachel menerima perasaannya. Rachel begitu mempesona. Wajahnya memerah. Milo menyentuh pipi Rachel dengan telapak tangannya, membuat Rachel luruh dan runtuh. Gadis itu menutup matanya, menyebabkan selarik air mata tumpah. Wajah Milo semakin mendekat. Rachel membuka mata dan terpesona dengan wajah Milo yang tinggal seruas jari saja darinya.

Milo mengecup bibir Rachel. Bibir merah yang selalu membuatnya gemas setengah mati itu. Lembut terasa. Milo menekan bibirnya lebih jauh. Rachel merasakan seluruh tubuhnya meregang.

Milo salah mengartikan ini sebagai ketidaksiapan Rachel sehingga ia menarik kembali bibirnya.

Namun, Rachel mengalungkan kedua lengannya di leher Milo dan menariknya kembali mendekat. Kali ini bibir Rachel membalas ciuman Milo.

Milo merengkuh pinggul Rachel, sedangka Rachel memainkan serta mengacak rambut di bagian belakang kepala Milo.

Keduanya berciuman di tepi jalan raya, di atas bukit, dengan latar belakang skylight dan skyline pusat kota jauh disana.

Rachel menangis. Sesenggukan.

Milo tersentak, agak panik. Ia melepaskan rengkuhan dan ciumannya, kemudian menatap Rachel. "Are you okay? Kamu nggak apa-apa?"

Rachel menghapus air matanya. "Nggak apa-apa. Aku ... aku senang sekali, Pak. Maaf, malah nangis gini. I have been waiting for this. I have been picturing this scene everytime, you know."

Rachel menghapus kembali air matanya. Mendadak wajahnya menjadi ceria. Senyum lebar itu muncul kembali. Milo lagi-lagi terpana.

Rachel menarik kedua lengan Milo kembali, menempatkannya di pinggulnya. Ia memeluk Milo, dengan begitu erat. Merasakan bentuk tubuh sang kekasih, menciumi aroma tubuhnya yang masukin sekaligus manis dan lembut.

"Kiss me again, Pak. Supaya aku yakin Bapak benar-benar nyata," ujar Rachel. Ada kerlingan nakal nan cerita di kedua matanya.

Tanpa dikomando, keduanya kembali terlibat dalam ciuman bergelora. Hanya saja, kali ini, keduanya saling bertukar senyum, tawa dan cinta tanpa ada lagi air mata.

"Jadi, kita pacaran ya sekarang?" tanya Milo.

Rachel mengangguk. "Iya, Bapak pacar."

"Ehm ... ada yang aneh, deh. Kok kamu masih panggil saya Pak, ya?"

"Nggak apa-apa. Anti mainstream, Pak. Dibanding sayang, atau ... apa ya, Mas mungkin? Bapak bisa panggil saya Ibu kalau mau. Jadi Bapak dan Ibu. Sekalian persiapan buat nanti kita kawin. Jadi nggak panggil mommy dan daddy, atau mama dan papa. Seru 'kan?"

Milo tertawa.

"Pelan-pelan, Rach. Masak baru jadian udah mau kawin aja?" protes Milo.

"Biarin. Abis kelamaan sih Bapak nembak saya."

Keduanya tertawa.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang