Keluarga

9 1 0
                                    

Rachel masih membiarkan tubuhnya ditelan tumpukan bantal. Ia tidak bisa menggunakan waktunya di Sabtu ini untuk tidur atau beristirahat. Tangannya menggenggam gawai pintar, tetapi masih tak berhasil untuk membangun kata untuk menyapa Mr. Milo. Ternyata sungguh tak semudah itu untuk menghubungi idolanya tersebut, meski ia benar-benar niat sekalipun.

Waktu sudah menunjukkan hampir pukul empat sore dan gadis ini masih saja terbaring dengan sepasang mata sipitnya yang membuka awas. Walau secara tidak langsung dan penuh dengan pemaksaaan, Rachel sudah mendapatkan 'izin' dan secuil dukungan dari Sophia atas keinginannya untuk menghubungi Mr. Milo, sebagai sebuah sarana pedekate. Perdebatan panjang antara dirinya dan Sophia memang menghasilkan sebuah pemahaman bersama, yaitu, bahwa Rachel memang memiliki rasa terhadap Mr. Milo. Meski sepertinya tidak pantas, tidak masuk akal dan mustahil, Rachel memiliki hak untuk menyukai siapa saja, sama seperti perasaan Sophia terhadap sang pacar: Jordan.

AC di dalam kamarnya mendengung pelan, menyebarkan hawa sejuk, tetapi dadanya bergemuruh liar membuat suasanya di ruangan ini menjadi panas. Rachel hanya bisa berguling-guling tak jelas di atas kasur. Bantal, guling, tumpukan boneka yang selalu menyertainya tidur digilas oleh tubuhnya. Ia nyatanya masih tak mampu untuk membuka percakapan lebih dahulu melalui gawainya tersebut.

Tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul empat, tidak kurang tidak lebih, bahkan sampai ke detiknya, terdengar bunyi ketukan di pintu kamarnya.

"Honey, masih tidur, apa udah bangun?" suara seorang perempuan terdengar. Suara itu berkarakter lembut, tetapi nyaring terdengar.

Rachel langsung melemparkan gawainya begitu saja di atas tempat tidur, kemudian menyelipkan kepalanya di bawah salah satu bantal. Ia pura-pura masih tertidur. Ia yakin mamanya pasti sedang ingin mengajaknya untuk pergi ke sebuah tempat. Rachel sudah paham sekali gejalanya.

Tidak ada ketukan kedua kalinya. Pintu kamar Rachel terbuka. Seorang perempuan cantik masuk ke dalam kamar Rachel. Ia tersenyum melihat Rachel yang tersembunyi di lautan bantal dan boneka.

"Eh, Rach, masih tidur?" suara sang mama yang lembut itu ternyata cukup tajam sampai menembus lapisan empuk bantal.

Mama Rachel memiliki garis-garis yang serupa dengan Rachel. Hanya saja sang mama memang memiliki bentuk wajah yang lebih tegas. Sepertinya Rachel lebih banyak mengadopsi sisi-sisi rupa sang papa. Namun begitu, mama rachel sama cantiknya. Rambutnya tak kalah hitam, dan senyumnya tak kalah memesona. Mama Rachel bahkan masih terlihat muda meski busanya yang ia kenakan saat ini tidak juga terlalu muda untuk umurnya.

Mama Rachel menikah pada saat usianya duapuluh satu tahun, sedangkan sang papa saat itu berusia duapuluh tujuh tahun. Maka, memang mama Rachel sekarang masih terbilang muda, belum genap empatpuluh tahun. Ia juga ramping dan tinggi seperti Rachel, tetapi gerakan lebih cepat dan gesit.

Rachel membuka bantal yang menutupi wajahnya. "Kalau aku masih tidur pun pasti bangun denger suara Mama," ujar Rachel terlihat kesal.

Sang mama tertawa. Ia bahkan sebenarnya tahu bahwa Rachel tidak sedang tidur. "Ayo, udah, bangun. Take me to the beauty salon. Mama mau perawatan. Kamu juga tuh sekalian. Perawatan tipis-tipis aja, biar tetap terawat cantiknya," ujar sang mama.

"Ah, Mama. Ganggu aku aja, ih. 'Kan bisa berangkat sendiri. Lagian aku tuh masih muda ma, teenager. Nggak perlu banyak-banyak dandan segala. Masih natural."

"Siapa ngomong soal dandan? Perawatan, honey. Lagian, Mama nggak mau ah kalau berangkat sendirian. Nanti dipikir masih lajang lagi. Ingat 'kan ada yang goda Mama minggu lalu pas kita ke mall. Dipikirnya Mama tu kakak kamu."

Rachel melotot, meski gagal. Ia menunjukkan wajah kesal dan tidak terima. "Mamaa ... Mama nih mengeluh apa sedang bragging sih. Malah nyombong, ih."

Sang mama kembali tertawa renyah. Memang walau sang mama sedang bercanda, kenyataan bahwa secara fisik sang mama masih terlihat muda serta cantik, tak bisa ditolak. Tidak sedikit orang yang menganggap sang mama tidak memiliki gap umur yang terlalu jauh dengan Rachel. Dan memang ada benarnya pula sang mama minta ditemani Rachel ke salon. Yah, agar tidak digoda atau diperhatikan oleh lawan jenis secara berlebihan.

"Come on, Rach. Ayo honey, bangun dong. Udah, nggak usah ganti baju segala. Cuci muka sebentar. Mama tahu kamu nggak tidur tadi."

"Mama nih. Cantik sih iya, tapi kok jorok gitu? Masak aku cuma disuruh cuci muka doang."

"Emangnya mau berharap ketemu siapa nanti di jalan?"

"Lah, emangnya harus ketemu seseorang dulu buat mandi, bersih-bersih, terlihat pantas?"

"Ya udah, ya udah. Sana mandi. Mama tunggu."

"Enggak ah. Males. Aku cuci muka aja sebentar."

Sang mama kini memandang Rachel tidak percaya. Ia tidak bisa berkata-kata, melainkan menggeleng dan meringis tipis. "Ni anak sama papanya sifatnya kok bisa sama, ya?"

"Ya, 'kan memang anaknya Papa," balas Rachel puas berhasil membuat mamanya kesal kali ini.

Rachel akhirnya memang hanya membasuh wajahnya dan bahkan tetap mengenakan pakaiannya yang terdiri atas kaus lengan panjang putih oversized bergambar Minnie Mouse bergaya abstrak, dengan celana pendek hitam bertali di pinggangnya.

"Rachel anak mama yang cantik! Seriusan kamu cuci muka doang sama pakai baju yang kamu pakai tidur tadi?" seru sang mama histeris melihat kelakuan anak satu-satunya itu.

Rachel memandang dingin ke arah mamanya. "Pertama, Mama sendiri tadi yang bilang kalau aku cuci muka aja. Kedua, Mama kan tahu juga kalau aku nggak tidur dari tadi. Jadi pakaian ini bukan pakaian yang kupakai tidur."

Rachel melenggang kangkung meraih kunci mobil yang tergantung di ruang tengah, kemudian meloyor pergi saja ke garasi. Sang mama sudah tidak mampu menggeleng. Ia megikuti arah kepergian sang putri tunggal.

Walaupun anak semata wayang, perempuan pula, Rachel tidak tumbuh didalam keluarga yang memanjakannya berlebihan. Sang papa, Jonathan Loh, sudah dibesarkan oleh kedua orang tuanya yang kaya raya. Meskipun begitu, Jonathan sama sekali tidak memiliki sifat bossy dan sombong. Dalam usianya yang masih sangat muda, ia sengaja membangun perusahaan keluarga dengan menyerap lebih banyak pegawai dan keuntungan secukupnya. Ia tidak tamak dan serakah. Hanya saja, Jonathan adalah sosok pemilik perusahaan yang cerewet dan menuntut pegawainya untuk menigkatkan kualitas diri. Namun, walaupun begitu, Jonathan tidak pernah memandang latar belakang ekonomi, suku dan budaya, agama atau politik setiap orang yang berkerja dengannya, menjadi rekan kerja, atau di dalam pergaulan. Jonathan adalah sosok laki-laki yang menghargai manusia dari kualitas dirinya.

Sang mama, Vanessa Kwan, adalah sosok perempuan yang selain luar biasa cantik bagi Jonathan, adalah figur istri dan ibu yang memiliki frekuensi yang sama dengan dirinya. Memiliki sifat yang berbeda, tetapi Vanessa tidak pernah berhenti percaya bahkan mendukung setiap keputusan suaminya. Itu sebabnya, pasangan suami istri ini membesarkan Rachel dengan penuh kasih sayang, tanggung jawab, tetapi juga dengan membangun pikiran yang terbuka serta tentu saja pendidikan keluarga yang jauh dari kesan memanjakan anak, walaupun mereka memang berkecukupan.

Keluarga kecil Rachel ini memenuhi gambaran keluarga bahagia, harmonis, bahkan sempurna.

Nyatanya, keluarga Rachel tidak terlalu disukai keluarga besar Loh maupun Kwan. Alasannya sederhana, mereka terlalu terbuka dan mampu bersosialisasi dengan siapa saja. Tidak hanya bergaul dengan orang dan keluarga dari latar belakang budaya yang sama.

Lini MasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang