Chapter 7 - Moment of truth

8.7K 493 28
                                    

Langsung aja guys....

***

REYNA POV

Entah kenapa aku mengatakan pantai saat dia bertanya kemana aku ingin pergi. Itu tiba-tiba terlintas di pikiranku.

Bayangan tentang pantai dengan air jernih dan ombak, pasir pantai yang lembut, angin yang bertiup sepoi-sepoi membuatku ingin bermain dengan ombak. Dan lebih dari itu, suasana di sana sepertinya tepat untuk membicarakan hal itu dengan sesantai mungkin.

Saat sampai di pantai, aku langsung keluar dari mobil. Aku benar-benar ingin bermain kejar-kejaran dengan ombak dan merasakan pasir yang lembut itu.

Entah kenapa aku tidak merasa canggung sedikitpun menunjukkan sisi kekanak-kanakkan dalam diriku dengan melakukan ini di hadapannya. Aku merasa bebas, sangat-sangat bebas.

Sampai aku melihatnya yang hanya bersandar pada kap mobil. "Zio, sini!" teriakku agar dia bergabung denganku.

Dia masih tidak beranjak dari tempatnya. "Zio, sini!" teriakku lagi lalu dia menghampiriku dan bergabung bermain ombak denganku.

Setelah lelah bermain ombak, kami duduk di pasir sambil memandang ke arah laut dan saat itulah dia menanyakannya, kenapa akhirnya aku mau menerima perjodohan ini. Seketika aku sadar jika bukan hanya aku yang butuh bicara dengannya tapi dia juga.

Aku menjawabnya dengan jujur, jika akupun tidak tahu kenapa aku berakhir dengan begitu saja menerimanya saat mom membujukku kemarin.

Tapi tentu saja aku tidak bilang jika terdapat kesepakatan antara aku dan mom. Toh aku juga tidak menerimanya karena hal itu, meski akhirnya aku mulai memikirkannya karena menyadari kemungkinan aku bisa lepas dari semua ini.

Dan setelah itu aku katakan maksudku yang sejak awal ingin memastikan kebenaran tentangnya.

Dia sempat menggodaku dengan sebutan yang kuberikan pada kekasihnya dan itu membuatku tidak enak. Karena jujur, itu terucap begitu saja karena kesal dengan sikap kekasihnya yang menyebalkan.

Dan akhirnya jawaban itu keluar dari mulutnya, yang awalnya tidak kumengerti hingga aku harus menanyakannya. Dia menjawabnya dengan begitu jelas tapi aku masih tidak yakin hingga dia menjelaskan alasannya.

Tapi itu malah membuatku tidak mengerti dengan reaksiku sendiri yang hanya mengatakan 'oh' setelah mendengar penjelasannya bahwa wanita itu bukanlah kekasihnya. Dan lebih tidak mengerti lagi saat aku begitu saja percaya.

Entah kenapa aku langsung percaya dengan ucapannya. Tapi saat kulihat ke dalam matanya, hanya ada kejujuran di sana. Membuatku tidak lagi menanyakannya lebih lanjut bahkan meragukannya.

Kukira pembicaraan ini telah selesai, tapi ternyata itu masih berlanjut dan pertanyaan selanjutnya benar-benar membuatku kesulitan menjawab.

"Rey, kenapa waktu itu kamu menolak perjodohan ini?"

Apa aku harus jujur dan bilang, jika aku sempat mengira dia bukanlah pria setia karena mau menerima perjodohan ini padahal dia sudah punya pacar? Yang baru kuketahui kebenarannya tadi, bahwa itu tidaklah benar.

"Emm... sebenarnya...." kataku menggantung, ragu mengatakannya.

"Sebenarnya... apa?" kejarnya.

"Sebenarnya... waktu itu, kukira kamu sudah punya kekasih makanya aku nggak mau. Karena aku paling benci dengan lelaki playboy."

"Jadi kamu mengira aku seorang player?" tanyanya dengan wajah serius.

"Abis mau gimana lagi? Orang yang sudah punya kekasih__"

"Eits... orang yang kamu kira sudah punya kekasih, lebih tepatnya," Ralatnya.

"Iya-iya. Orang yang kukira sudah punya kekasih dan menerima dijodohkan dengan wanita lain, itu apa namanya kalo bukan playboy?"

"Tapi kan aku nggak punya kekasih. Jadi aku bukan playboy!" bantahnya.

"Ishh... nih orang! Aku bilang waktu itu, bukan sekarang!" kataku geregetan.

"Jadi, sekarang kamu sudah nggak nganggep aku playboy?" tanyanya sambil tersenyum.

"Iya kali," jawabku kesal.

Untuk beberapa saat kami hanya saling diam sambil kembali melihat ke arah laut.

"Rey, aku lelah!" katanya tiba-tiba.

"Ya udah, kita pulang sekarang!" kataku masih kesal lalu berdiri hendak pergi, tiba-tiba dia menahan tanganku.

"Duduk!! Bukan itu maksudku." Ziovan menarik tanganku untuk kembali duduk.

"Terus apa?" tanyaku mencoba bersabar.

"Apa kamu tidak lelah seperti ini terus? Kita akan menikah, bukan? Tapi kamu masih tidak bisa menerimaku," katanya dengan mengalihkan pandangan ke arah laut.

Aku sempat melihat sorot kesedihan di matanya sebelum dia mengalihkan pandangan dariku. Tapi bagaimana itu mungkin? Apa mungkin ini karena sikapku yang terlalu kasar padanya saat di kampus kemarin?

"Bisakah kita berteman?" katanya tiba-tiba melihatku.

"Hemm...."

"Berteman sebagai langkah awal hubungan kita. Tidak mungkin kan kita nanti menikah dan tidak ada hubungan baik satu sama lain. Setidaknya kita bisa memulainya dengan menjadi teman sekarang agar nanti kita merasa nyaman."

Dia benar karena cepat atau lambat kami akan menikah, aku sudah tidak punya alasan lagi untuk menolaknya karena satu-satunya alasanku tidak terbukti benar.

Dan aku juga sudah berjanji pada mom, aku tidak ingin mengecewakannya. Ya, mungkin kami memang harus berteman agar kami bisa nyaman satu sama lain ke depannya.

"Rey, kok malah nglamun?!" Ziovan mengguncang lenganku pelan.

"Oke, kita berteman!" kataku sambil mengulurkan tanganku. Semoga ini yang terbaik!

"Oke, teman!" katanya sambil membalas uluran tanganku.

"Oke, teman!" katanya sambil membalas uluran tanganku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


***
Selasa, 21 Maret 2017

Vommentnya guys, aku tunggu!! Jangan jadi silent reader terus!

Kalo votenya udah 10 dan commentnya 5 bakal aku lanjut chapter berikutnya hehe....

My Destiny With You [Completed] TERSEDIA DI GOOGLE PLAYSTORETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang