Alexander Benedict Grenaldo Canale keluar dari studio berlantai dua miliknya yang tidak terlalu besar, tempat dimana selama ini ia melakukan pekerjaannya. Langit mendung sejak pagi dan ia baru keluar dari gua batu – julukan yang diberi oleh ayahnya kepada studio – saat Benedict baru menyelesaikan pekerjaannya – memilah dan mengedit foto yang akan ia kirimkan ke majalah life-style yang deadline-nya adalah besok siang.
Dan ia menyelesaikannya lebih awal, Benedict tersenyum puas dan emnganggap ini adalah hari keberuntungannya. Dua puluh menit kemudian ia menaiki tangga sebuah kafe kecil tetapi nyaman baginya – Benedict menjadi langganan disini sejak beberapa bulan yang lalu atas rekomendasi temannya, Gabrina.
Gerimis turun tepat saat ia berdiri didepan meja kasir untuk memesan. Rambutnya yang sedikit panjang terlihat sedikit berantakan karena Benedict sendiri tidak memedulikan penampilannya. Ia berada didalam studio selama dua hari berturut-turut, tanpa mandi dan tidur. Siapa yang mengharapkan ia memakai jas?
"Hari ini ada apa?"
"Pasta," jawab kasir yang sudah hapal dengan pertanyaan Benedict yang menjadi pelanggan tetap kafe kecil ini dan ia menyebutkan menu harian mereka. "Sup tomat kami out of stock."
"Oke, pasta." Benedict menyelesaikan pembayarannya dan ketika ia sudah mendapatkan minumannya, Ice Americano, ia tinggal menunggu makanan datang. Benedict memutar tubuhnya dan mendapati seorang wanita yang familiar baginya duduk di meja pojok – tempat favoritnya. Benedict kemudian mendekati meja itu, "Darimana kamu mendapatkan ini?" sebuah suara yang cukup familiar baginya membuat ia memantapkan langkahnya.
"Sepatunya aneh, Jim. Can't you see it? Aku tolak yang ini, nomor tiga juga. Cari sabuk kotak untuk yang pertama, Jim. Ya, cepat ambil kertasnya sebelum kamu lupa dengan kata-kataku. Aku tidak suka dengan orang yang lamban, Jim. Oh ya, tadi pagi aku memeriksa final draft, kenapa ada kupu-kupu?"
Dengan penuh percaya diri Benedict duduk di kursi meja itu yang kosong sambil menyesap minumannya. Ia tersenyum hingga membuat matanya menyipit dan entah kenapa ia tersenyum semakin lebar saat melihat raut tidak suka dari wanita didepannya.
Gabrina menyipikan matanya, "Jimmy, sekarang ada iblis didepanku. Let's finish our conversation first, aku tidak pernah meminta kamu untuk membuat desain kupu-kupu, bukan? This is my work and I would appreciate it if you give me any suggestions or criticism. Tetapi aku tidak pernah membiarkan orang lain seenaknya menambahkan atau mengurangi sesuatu tanpa persetujuanku, Kanianatha bahkan tidak melakukannya, Jimmy. Why do you do that? Masih untung aku melihatnya tadi."
" ... " Benedict tersenyum kepada pelayan kafe saat pasta pesanannya datang dan ia kini lebih sibuk dengan makanannya daripada menggoda wanita ini. Gabrina menyeramkan kalau ia marah dan Benedict tidak ingin mati karena ia membuat mood Gabrina lebih jelek. Ia menyayangi dirinya sendiri.
"Aku tidak ke kantor hari ini walaupun aku sangat ingin membicarakan tentang kupu-kupu yang kamu letakkan didesainku, let's talk about that tomorrow, shall we?"
"Renata," panggil Benedict setelah ia menunggu wanita itu menyelesaikan pembicaraannya dan memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia meletakkan garpu di piring dan menatap wanita itu.
Wanita yang dipanggil Benedict kemudian menoleh sebelum mengabaikannya begitu saja. Benedict tidak menyerah, kali ini ia memanggilnya lebih keras. "Renata."
"Berisik. Tidak ada wanita yang namanya lo panggil disini."
Benedict mencibir dan tidak malu untuk bertanya balik, "And who are you?"
"Namaku Gabrina."
"I'll still call you Renata."
"Gabrina."
"Renata."
"Orang gila, namaku Gabrina."
"We're both crazy, I remember your name dan gue bisa menyebutkan setiap hurufnya disini. Amyla Renata – what are you doing in here?" tanya Benedict dengan santai sebelum ia menyuapkan makanan ke mulutnya. Gabrina Clo menghela napas panjang, hari ini ia berkata kepada Jimmy bahwa ia libur tetapi sebenarnya adalah ia tidak ingin datang ke kantor karena ia tahu ia tidak dapat mengalihkan pikirannya dari tawaran film dokumenter. "Bekerja – more show more money you know?"
Benedict menyesap Americano miliknya sendiri, "Apa yang ingin lo bicarakan sampai mengirim lima pesan yang sama dan menganggu ketenangan gue hari ini?"
"Ben, gue sangat bingung."
"Renata bingung sampai menghubungi gue adalah momen langka – wait, shall I take this photo? God, I'm just kidding Renata, ada apa?"
Gabrina tahu temannya, Benedict adalah manusia menyebalkan karena pria itu selalu memanggil nama lamanya – nama yang ingin ia lupakan – tetapi ia harus bercerita kepadanya juga. "Dua hari yang lalu gue dapat tawaran untuk main di film dokumenter. Netflix akan menayangkannya dan baik menurut Atha maupun Charleen ini adalah kesempatan emas, memang begitu kan?"
"Film apa?"
"Dokumenter. Temanya Wanita Inspiratif Indonesia. Lima wanita dari background profesi yang berbeda akan diwawancara. Dan mereka juga memilih gue."
Lama berteman dengan Gabrina membuat Benedcit terkadang lupa betapa hebatnya wanita itu. Gabrina adalah salah satu fashion designer yang diperhitungkan setelah kemunculannya di Milan Fashion Week, relasinya dengan banyak keluarga berpengaruh, kontribusinya terhadap perkembangan sustainable fashion di Indonesia, dan desainnya yang unik – selalu menjadi produk paling laris nomor dua setelah Kanianatha di bawah brand Dic'I. "Dan apa yang bikin lo bingung?" tanya Benedict.
"Nama gue, Ben." Gabrina menarik napas panjang karena ia berusaha mencari-cari alasan yang tepat untuk tidak ikut ke proyek film ini. "Gue tidak keberatan dengan mereka yang mungkin suatu hari nanti akan berrtanya-tanya kenapa nama gue berubah, tapi gue takut pertanyaan wawancara mereka."
"Pakai pengacara dan minta surat tertulis untuk mereka agar pertanyaan wawancara tidak menyimpang dari tema."
Gabrina mendesah, "Atha juga bilang begitu."
"Lalu? Gue tidak paham, Ren. That's a big chance, you know? Sutradaranya si Oskar, kan? Temen gue jadi director of photography film itu dan minggu lalu ia menawarkan gue untuk ikut kerja dengan mereka, tapi gue tolak. Lo menjelaskan dengan gue berputar-putar, tidak jelas. What's the problem?"
" .... " Ia takut kisahnya akan terungkap.
"Atau ada sesuatu yang membuat lo kurang waras sampai berpikir ulang tentang film ini? Come on, this is like a golden ticket to make more money."
Gabrina menatap piring kosong Benedict dan ia berdecih, "Lo membuat gue terdengar seperti cewek matre."
"Renata yang gue kenal memang matre – tetapi ia melakukannya sendiri. The second most independent woman I have met after my mother."
"Dan Fanny? Apa pacar lo tidak mandiri?"
Benedict tertawa kecil, "Pacar gue manjanya saat di ranjang saja, Ren. And I like it."
"Eww," Gabrina mengerutkan dahinya. "Jadi gimana menurut lo tentang dokumenternya?"
"Ya ambil, Ren. Tidak semua orang mendapatkan tawarannya dan tidak semua orang mau bekerja keras seperti lo. Lo bercerita tentang bagaimana gilanya lo di Parsons tanpa harus menceritakan kesusahan lo yang lainnya, selesai kan?"
" ... "
Benedict mengamati dengan hati-hati oerubahan ekspresi Gabrina yang tidak biasa, "Renata, tidak ada yang seharusnya membuat lo malu. Hanya kita yang tahu tentangnya – dan Tuhan – lo sedang membiasakan diri untuk menerima kehilangannya, tetapi apa itu harus membuat lo tidak melangkah maju? She must be proud of you."
"Ren, maaf gue berbicara seperti ini – tetapi gue hanya ingin lo mengubahnya menjadi kenangan yang membuat lo belajar banyak hal -"
"I lost her - "
Sial, Benedict mengutuk mulutnya yang terus berbicara. "Renata."
Dan Benedict melompat dari kursinya saat tiba-tiba Gabrina menjatuhkan kepalanya begitu saja ke atas meja.
____

KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
ChickLitEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.