Dominic berjalan keluar dari ruang baca lima menit setelah Hervé pergi terlebih dahulu dari perpustakaan. Raut wajahnya tegang sementara tangannya mengepal, kini ia memiliki satu tujuan dalam pikirannya. Ia baru saja berbelok dari koridor satu ke koridor lain saat melihat Arthur berjalan ke arahnya.
Emile Arthur, hendak menghampiri Dominic karena ia akan mengingatkannya untuk makan. Namun karena mereka berpapasan, Arhur segera berhenti didepannya, "My Lord, Anda ingin makan siang ditempat lain atau di ruang makan?"
Dominic hanya berhenti untuk beberapa detik. "Not now."
"My Lord, Anda mau kemana?"
Tidak ada jawaban apapun yang keluar dari Dominic kecuali fakta bahwa pria itu berjalan semakin jauh dari posisinya. Arthur berbalik, setengah berlari mengikuti Dominic yang ia sendiri masih tidak tahu kemanakah pria itu pergi dengan aura segelap itu. Pria tersebut masih tidak mengatakan apapun, bahkan ketika mereka sampai di basemen. Dominic tidak ingin repot-repot meminta mobil miliknya disiapkan oleh pekerja istana.
"Yang Mulia," tangannya yang hendak membuka pintu mobil tertahan oleh Arthur. Bulir-bulir keringat mulai bermunculan, seiring dengan nafasnya yang naik turun. "Anda ingin kemana, Yang Mulia?"
Mata Dominic berkilat tajam, "Versailles."
"Biarkan saya yang menyetir." Arthur menggunakan sebelah tangannya untuk mengambil kunci mobil. "Jantung saya tidak tenang kalau Anda yang menyetir. Bukan berarti saya meragukan Anda, tetapi saya harus mengawal Anda."
Dominic setuju, berusaha meredakan emosi dalam hatinya. "Secepat yang kamu bisa, Arthur."
Arthur mengangguk. Ia memutari mobil, membukakan pintu samping pengemudi karena ia tahu Dominic kurang suka apabila ia duduk sendirian di bangku belakang.
Itu adalah kenangan masa kecilnya, saat ia berusia sembilan tahun. Hervé memakai kemeja biru muda, tengah bermain bola dengan Olivier dan dirinya, sementara Charleen duduk di atas tikar yang digelar di rerumputan, posisi yang cukup pas untuk melihat pemandangan danau bersama Jeanne. Hari itu mereka berpiknik di Chantilly, sehari setelah Hervé kembali dari luar negeri menyelesaikan kunjungan kenegaraan. Dominic – dengan kaus berwarna cokelat – bersemangat sejak malam sebelumnya, bersikeras mereka akan bermain sepak bola dan membuat janji kepada ibunya untuk tidak menendang sembarangan agar tidak terkena Charleen yang masih kecil. Satu minggu terakhir ia menyukai olahraga sepak bola, setelah mendapatkan materi sejarah Piala Dunia dan mengetahui bahwa Perancis pernah menjadi tuan rumah sebanyak dua kali.
Ia menendang bola – berdecak, menurutnya laju bola tidak kencang – karena Hervé menerimanya dengan mudah, Kepalanya bergerak mengikuti operan bola dari ayahnya ke Olivier yang memakai kaus putih – mereka sempat saling mengolok karena Olivier tidak ingin bajunya terkena noda sementara Dominic mempertanyakan kenapa memakai baju yang silau dimatanya nanti – tertawa setelah berhasil menendang cukup jauh, bola bergulir mendekat ke tempat dimana Jeanne dan Charleen duduk. Charleen melihat bola yang bergulir, adiknya mendekat tertarik kepada benda tersebut namun Dominic bergerak lebih cepat. Ia segera mengambil bola tersebut, melemparkannya ke Olivier dan berlari kembali ke posisinya, mengabaikan Charleen yang kebingungan.
Warnanya terlalu nyata, terlalu indah hingga hal pertama yang dilakukan Dominic adalah memejamkan matanya kembali. Berharap berlanjut walau itu mustahil. Dominic menganggap kedatangannya ke Chantilly – melihat tempat ia tumbuh – membuat ia mengingat kembali beberapa kenangan di masa kecil.
Kali kedua ia membuka mata, mobil mereka melaju cepat membelah jalanan.
Kali ketiga ia membuka mata, mobil mereka berhenti di gerbang Istana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Endless Lullaby
Chick-LitEndless Lullaby | Mint Series #1 © 2020 Grenatalie. Seluruh hak cipta.