#27# - Twenty Seven

1.1K 135 5
                                    

Benedict tidak lupa apa yang harus ia lakukan hari ini.

Ia memasuki lobby hotel Mulia dengan sedikit tergesa-gesa sembari memastikan semua kancing kemeja flannel yang ia pakai terletak pada lubang yang benar. Semalam ia tidak pulang ke rumahnya melainkan ke studio untuk menyelesaikan editing foto dan Benedict yang tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk membantu Fanny baru bisa tidur ketika jarum jam menunjukkan jam empat pagi. Membuatnya terlambat bangun dan terlambat dalam segala hal, termasuk pertemuannya dengan Julia Raviv.

Benedict Canale menghentikan langkahnya saat ia tiba di depan sebuah kafe yang berada di lantai satu Hotel Mulia. Ia memastikan penampilannya benar-benar rapi dan menyiapkan permintaan maaf kepada Julia yang sudah menunggu kedatangannya lebih dari satu jam dari perjanjian mereka. Benedict mengikuti pelayan kafe yang menunjukkan meja reservasi Julia dan ia melihat dua orang wanita yang duduk berhadapan di meja itu.

"Pagi, Tante."

"Pagi, Ben." Julia menunjukkan raut wajah serius tanpa Benedict tahu alasannya tetapi ia tidak menanyakan hal itu melainkan menurut saat Julia memintanya duduk di satu-satunya kursi yang tersisa di meja itu. Ia berniat mengecup pipi Fanny tetapi ia urung melakukannya saat menyadari tatapan dingin dari pacarnya itu, kemudian perhatiannya teralihkan kepada lima macam kue yang ada di meja mereka.

Julia menyadari kebingungan Benedict, "Tante pesan banyak, Ben."

Benedict mengangguk, "Maaf karena saya terlambat, Tan."

"Siapa tahu dengan kami menunggu kedatangan kamu Fanny berubah pikiran, bukan?" Julia tersenyum tipis dan ia menatap sekilas kancing manset blusnya hari ini, "She said you guys broke up, tetapi tentu saja saya tahu itu hanya bualannya saja karena saya tahu kamu menyayangi putri saya, Ben."

Benedict mengerjapkan matanya dengan cepat saat Julia melanjutkan, "I'm sure you wouldn't do something rude like that, Ben."

....

"Mungkin aku lupa mengatakannya kemarin, tapi aku yang memutuskannya, Ma." Fanny akhirnya bersuara untuk pertama kali sejak ia duduk di kursi ini bersama ibunya, "I dumped him."

Julia Raviv yang sebelumnya berusaha menata kesabarannya sejak pagi tadi kemudian menatap Fanny seolah-olah putrinya datang dari dunia lain. Ia mendesis sebal, "Fanny, sebenarnya apa yang kamu inginkan?" katanya dengan penekanan.

"So there's no reason for continue this wedding." Fanny mengeluarkan sesuatu dari saku celananya dan meletakkan benda itu didepan Benedict. "Seharusnya aku mengembalikan benda ini di tempat yang lebih layak daripada disini – but I can't do this anymore," gumamnya dengan pelan sehingga hanya Benedict yang bisa mendengar kata-kata darinya.

"Ini alasan yang kamu berikan ke Mama?" tanya Julia dengan tatapan menyelidik.

"Mama memintanya dan aku memberikannya."

Julia menatap intens Fanny untuk mencari kebohongan di mata putrinya tetapi ia tidak bisa menemukan apapun sehingga ia bertambah kesal. Julia kemudian berkata kepada Benedict, "Apa ada sesuatu yang sedang kamu tunggu, Benedict? Saya yakin pekerjaan kamu bisa mencukupi kebutuhan kalian bukan setelah menikah."

....

Estefany Raviv menatap mata ibunya yang terlihat angkuh, "Ma, tolong jangan memaksa kami."

"Memaksa?" Julia membuat raut wajah terkejut karena ia yakin Fanny hanya menggunakan segala cara untuk menolak pernikahan yang menjadi targetnya untuk menjalin hubungan dengan keluarga Presiden. "For your sake, and for Benedict too."

Endless LullabyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang